perlindungan anak berkebutuhan khusus
Keluarga Berencana () 28 April 2013 14:43:49 WIB
Perlindungan Anak Berkebutuhan Khusus
Berdasarkan data Susenas 2003 (cek BPS 2009 terbaru, ada di prof irwanto ) penyandang cacat di Indonesia 1,48 Juta (0,7% dari jumlah penduduk di Indonesia). Jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) ada 21,42% dari seluruh penyandang cacat di Indonesia. Dari Tabel Proyeksi Data tingkat Sekolah Dasar Luar Biasa Indonesia (Sumber Pusat Data Informasi Pendidikan-Balitbang, 2004) ( data diperbaharui th 2006-2007)dapat dilihat bahwa di tahun 2010, diperkirakan ada 30.487.727 peserta didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyyah (SD+MI), dan 35.980 peserta didik ada di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Perkiraan pada tahun 2015, akan ada 31.828.508 peserta didik di SD+MI, 39.881 peserta didik di SDLB. Dari persentase penyandang cacat berumur 5 tahun keatas menurut tipe daerah dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2003, di daerah Pedesaan+perkotaan 43, 31 % tidak/belum bersekolah, 25,08 % tidak/belum tamat SD, 16,58% sampai SD, 7,36% di tingkat SMP dan 6,67% di tingkat Sekolah Menengah keatas (SM+). Data tentang keberadaan penyandang cacat atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di dunia pendidikan mencerminkan keberadaannya yang semakin menurun. Tidak saja jumlah kuantitasnya, tetapi kualitas hidup dan pelayanan pendidikan yang diberikan juga masih sangat jauh dari memadai. Kondisi kecacatan yang bervariasi, berbeda antar kecacatan maupun inter kecacatan, membuat kebutuhan setiap anak penyandang cacat juga berbeda serta memerlukan perhatian dan perlindungan yang layak.
Hampir setiap anak di dalam pendekatan belajarnya memerlukan pendekatan khusus. Memang tidak akan cukup untuk mengetahui atau mengenali hanya kondisi fisik/kesehatan, psikologis dari anak-anak yang beragam kebutuhan ini, akan tetapi diperlukan pemahaman tentang apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin, pemilihan bentuk pendidikannya, hak hidup bermasyarakat, perlindungan dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga dapat menjadi warga negara yang mampu hidup mandiri, bertanggung jawab serta berpartisipasi dalam pembangunan negara ini.
Pada kenyataannya, proses perlindungan bagi ABK perlu dilakukan sejak dini, bahkan sejak bayi masih berada di dalam kandungan ibunya. Kesehatan fisik, jiwa/mental dan nutrisi dari ibu hamil akan sangat berpengaruh dalam mengurangi risiko terjadinya kecacatan pada bayi yang dikandungnya. Identifikasi dini dari risiko gangguan dan hambatan perkembangan seorang bayi yang baru lahir seharusnya dapat dikenali oleh para tenaga kesehatan. Dari identifikasi awal, dapat kemudian dilakukan penanganan dan layanan selanjutnya, yang harus diberikan secara lebih komprehensif, mencakup intervensi perkembangan motorik-fisik, kesehatan, sosial-emosional, komunikasi dan pendidikan yang sesuai dengan tahap perkembangan, usia dan kebutuhan pendidikannya.
Layanan dan perlindungan pada ABK seringkali terkendala, karena berbagai masalah seperti kurangnya pengetahuan dan informasi, keadaan sosial ekonomi yang buruk yang tidak memungkinkan untuk ABK memperoleh layanan yang dibutuhkan, serta ketidakpedulian banyak pihak akan kebutuhan dan hak hidup layak ABK. Tidak mengherankan bila kehidupan ABK tidak dapat bertahan lama, terlantar, terabaikan, tidak memiliki kualitas hidup yang memadai untuk dapat hidup secara mandiri, tidak memperoleh bantuan, terapi, intervensi, dan pendidikan yang sesuai kebutuhannya. Selain itu penyiapan ABK didunia pendidikan seringkali tidak disertai dengan persiapan untuk memasuki dunia kerja, sehingga ABK tidak punya akses pada kehidupan kerja dan sosial kemasyarakatan, bahkan setelah melalui suatu pelatihan dan pendidikan yang memadai sekalipun.
Proses layanan dan perlindungan bagi ABK memerlukan koordinasi dan sinkronisasi dari berbagai pihak terkait. Sejak terdeteksinya ABK di dalam keluarga, orang tua/keluarga memiliki tanggung jawab untuk melakukan aktivitas yang dapat mengurangi hambatan yang lebih buruk dalam fase pertumbuhan dan perkembangan ABK. Untuk itu mereka memerlukan bantuan dari berbagai pihak, yang mencakup kepedulian dan uluran tangan dari masyarakat, termasuk program pendidikan anak usia dini (PAUD), Posyandu, Pos kesehatan desa (Poskedes), Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren), Unit Kesehatan Sekolah (UKS), yang kemudian dapat membantu ABK memasuki berbagai bentuk intervensi termasuk pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Persiapan dari dunia pendidikan ke dunia kerja, pengembangan karir ABK akan membutuhkan perhatian dari berbagai pemangku kepentingan di masyarakat sehingga ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengalokasikan 1% (satu persen) dari SDM dari setiap Instansi/perusahaan, memberikan kesempatan kerja bagi individu berkebutuhan khusus, dapat terpenuhi.
Berdasarkan permasalahan dan kebutuhan dari anak/individu berkebutuhan khusus, maka diperlukan kebijakan dan strategi perlindungan bagi anak/individu berkebutuhan khusus agar mereka menjadi warganegara yang juga dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan Negara Indonesia.