Pilpres 2019 yang Aman dan Damai

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 16 Juli 2018 10:19:56 WIB


HAMPIR sekitar dua ratus juta pemilih akan menentukan siapa putra bangsa terbaik untuk menjadi presiden, 2019 mendatang. Secara fakta, masyarakat Indonesia kini hanya punya dua pilihan, mau pilih Joko Widodo-Ma'ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sadiago Uno. 

Sebagai negara maritim dengan gugusan pulau-pulau, data pemilih tersebar sangat luas dari barat sampai ke timur. Yang uniknya, negara Indonesia berpenduduk dengan berbagai karakter prilaku yang dipengaruhi oleh budaya masing-masing daerah.  

Secara administratif,  jumlah desa/kelurahan di Indonesia  mencapai  80.000-an. Pada wilayah sebanyak itulah pemilih berada, dengan total 500.000-an atau setengah juta TPS yang terdistribusi secara merata. 

Sementara pemilih yang tersebar diberbagai pulau tersebut akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin atau presiden. Bahkan, suara pemilih sangat berperan dalam menetukan keberlangsungan NKRI untuk lima tahun kedepan. 
 
Setiap masyarakat pemilih tentu akan saling mengajukan argumentasi terhadap kriteria capres 2019 yang akan dipilihnya. Sedangkan bagi capres sudah barang tentu pula akan mengajukan visi-misinya untuk menarik simpati masyarakat pemilih. Jelas akan terjadi adu arkomentasi sesama capres dan sesama pendukung.

Secara data statistik, jumlah pemilih 195.000.000-an atau hampir  200 juta. Jumlah TPS 500.000an atau setengah jutaan. jumlah desa/ kelurahan 80.000an. Jumlah kecamatan 7.000an. Jumlah kabupaten dan kota 514. Jumlah provinsi 34 daerah.

Pemilihan presiden di Indonesia memakai sistem demokrasi sebagai cara atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah. 

Kalau kita berbicara sejarah tentang pemilihan presiden, bagi masyarakat Indonesia telah pernah mencoba menerapkan bermacam-macam demokrasi. Hingga tahun 1959, dijalankan suatu praktik demokrasi yang cenderung pada sistem Demokrasi Liberal, sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang bersifat individualistik. 

Kemudian pada tahun 1959-1966 diterapkan Demokrasi Terpimpin, yang dalam praktiknya cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998 diterapkan Demokrasi Pancasila. 

Model ini pun tidak mendorong tumbuhnya partisipasi rakyat. Berbagai macam demokrasi yang diterapkan di Indonesia itu pada umumnya belum sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, karena tidak tersedianya ruang yang cukup untuk mengekspresikan kebebasan warga negara.

Jika ditinjau berdasar pengalaman sejarah, tidak sedikit pula penguasa yang cenderung bertindak otoriter, diktaktor, membatasi partisipasi rakyat dan lain-lain. Mengapa demikian? Karena penguasa sering merasa terganggu kekusaannya akibat partisipasi rakyat terhadap pemerintahan. Partisipasiitu dapat berupa usul, saran, kritik, protes, unjuk rasa atau penggunaan kebebasan menyatakan pendapat lainnya. Sesudah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan memilih, kebebasan berpolitik dan lain-lain semakin bebas.

Bahkan, Freedom House pada Tahun 2006 memasukkan negara RepublikIndonesiasebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Puja-puji atas demokrasi terus mengalir dari berbagai kalangan, lembaga-lembaga prosedural demokrasi terus kita sempurnakan dan dibangun. lembaga legislatif dari system satu kamar (unicameral) dirubah menjadi system dua kamar (bekameral). System yang sentralistik diganti menjadi desentralistik seiring dikuatkannya otonomi daerah.

Namun langkah di atas belum sepenuhnya menjadi pijakan bersama dalam membangun kehidupan berwarganegara yang civilized. Fenomena politik yang menyeruak sekarang ini belakangan mengarah pada arus balik yang cenderung mempertanyakan  kembali demokrasi dibanding dengan otoriter untuk mensejahterakan rakyat. Demokrasi sekarang ini dianggap oleh sebagian menjengkelkan. Cara yang ditempuh memusingkan, hasil yang diraih jarang memuaskan.

Penerapan Demokrasi dinilai sebagian kalangan tidak memberikan kesejahteraan tetapi justru melahirkan pertikaian dan pemiskinan. Rakyat yang seharusnya diposisikan sebagai penguasa tertinggi, ironisnya selalu dipinggirkan. Keadaan itulah yang menjadikan demokrasi gampang mendatangkan banyak kekecewaan. Kondisi buruk diperparah elite politik dan aparat penegak hukum yang menunjukkan aksi-aksi blunder. Banyak perilaku wakil rakyat yang tidak mencerminkan aspirasi pemilihnya, bahkan opini publik sengaja disingkirkan guna mencapai aneka kepentingan sesaat. Banyak kasus-kasus yang amat mencederai perasaan rakyat sehingga mudah ditampilkan dan mengundang kegeraman.

Kondisi itu dikuatkan dengan pernyataan  mantan Wapres Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa demokrasi cuma cara, alat atau proses, dan bukan tujuan. Demokrasi boleh di nomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Apakah ini kejenuhan dan kemuakan terhadap demokrasi? Jika elit Politik diselimuti gejala ketidakpercayaan terhadap demokrasi bagaimana dengan rakyat yang terlanjur percaya pada janji-janji mereka?

Di tengah eforia kebebasan, kepentingan sempit sangat mungkin menjadi penumpang gelap. Atas nama kebebasan setiap kepentingan mendapat tempat aktualisasi tanpa peduli hak asasi orang lain. Aturan main diabaikan untuk mencapai puncak kekuasaan yang mereka pahami sebagai realitas yang inheren dalam politik. Kedepannya, kita berharap, agar pemilihan presiden 2019 mendatang, tak hanya aman dan sukses, tetapi juga melahirkan pemimpin yang betul-betul memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak dan bukan untuk kepentingan kelompoknya semata.  (Penulis wartawan tabloidbijak dan dikutip dari berbagai sumber)