Kebebasan Pers Tanpa Aturan = Kejahatan
Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 09 Juni 2018 15:19:11 WIB
MENJAMURNYA media secara tak terkendali menyebabkan tumbuhnya jurnalisme anarkis di Indonesia. Fakta dan data tentang kondisi ini jelas mengancam kemerdekaan pers, dan bertolak belakang dengan keinginan para wartawan yang berjuang tentang kebebasan pers di zaman Orde Baru.
Kini, berdasarkan data Dewan Pers, selama 2017 indeks kemerdekaan pers naik dari tahun 2016 dengan indeks 68.95, sedangkan 2015 hanya 63.44. Untuk angkanya masih dalam perhitungan, tapi dari 2016 indeks kemerdekaan naik.
Kenapa jurnalisme Anarkis dinilai mengancam kebebasan pers? Karena baik wartawan maupun medianya, hanya berpihak kepada kepentingan politik tertentu, bukan pada kepentingan publik. Wartawannya pun kerap tidak menerapkan aturan kode etik jurnalistik dalam melakukan kegiatan peliputan.
Para jurnalis ini menjadi anarkis karena mereka tidak ada aturan, bahkan menentang aturan yang telah dilakukan Dewan Pers tentang pendataan jumlah media.
Kemudian, media anarkis tersebut, selain tidak menerapkan kode etik jurnalistik, media tersebut juga tidak lolos verifikasi oleh Dewan Pers. Bahkan media tersebut tidak mampu membayarkan gaji wartawannya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dampak dari munculnya jurnalis anarkis ini atau media abal-abal ini, akan terjadi penyalahgunaan profesi wartawan dan kondisi ini akan berdampak pada tingkat kepercayaan publik terhadap media dan sejumlah pemberitaan. Akhirnya masyarakat tidak percaya. Ini yang justru membahayakan kondisi kebebasan pers sendiri, padahal nilainya sangat mahal.
Kemudian, berdasarkan keterangan Ketua Dewan Pers Yosep Prasetyo, kini pihaknya sudah menerima 400 aduan pelanggaran kode etik jurnalistik sepanjang 2017. Pelanggaran itu dilakukan oleh sejumlah media dan wartawan. Jumlah tersebut menurun dibanding tahun sebelumnya, sebanyak 650 aduan.
Data dan fakta pengaduan ke Dewan Pers ini, terbanyak bila dibandingkan negara lain. Di Finlandia saja hanya ada 3 atau 4 saja.
Mantan Ketua Dewan Pers Prof. Bagir Manan pun menilai kebebasan pers seharusnya juga mengedepankan sisi yang bermanfaat bagi publik dan tidak 'kebablasan'. Kebebasan pers juga ditandai dengan adanya keterbukaan, namun harus melihat aturan yang ada.
Kebebasan pers bukan menjadi sebuah alasan jika pers menjadi bebas dan seenaknya dalam menjalankan aturan yang berlaku, kebebasan pers harus tetap ada dalam ruang lingkup pematuhan aturan yang berlaku, bisa disebut juga bebas dalam batasan.
Penganut faham liberal sekalipun tetap memaknai kebebasan (liberalisme) dengan memberikan ruang yang cukup bagi pembatasan-pembatasan tertentu. Kebebasan yang dimaksudkan kaum liberalist adalah suatu kebebasan yang dibatasi oleh hukum, bukan keadaan anarkhi. Hukum secara luas haruslah dipahami sebagai kumpulan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik yang dibukukan maupun yang tidak tertulis.
Kebebasan pers itu bisa menjurus ke wujud ekstrem. Misalnya, tiap warga dianggap bebas menerbitkan media apa saja, termasuk yang mengeksploitasi seks. Penerbitan semacam Playboy dan Popular, yang mengumbar aurat dianggap sah-sah saja. Toh memang ada segmen pembaca tertentu yang menggemari dan mengonsumsinya.
Contoh lain, sejumlah media Eropa beberapa waktu lalu pernah memuat karikatur Nabi Muhammad SAW dalam format yang melecehkan. Hal ini dilakukan di bawah payung ”kebebasan pers” dan ”kebebasan berekspresi,” yang dianggap sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia.
Dari fakta ini semacam inilah terdapat perbedaan antara media Islam dan media lain. Bagi media Islam, pengertian “kebebasan pers” dan “kebebasan berekspresi” bukanlah kebebasan yang liar, bukan kebebasan demi kebebasan itu sendiri. Melainkan, kebebasan yang luas dalam berkreasi melalui media, sebagai sarana dakwah dan wujud pengabdian kepada Allah SWT.
Pelayanan kepentingan publik, yang sudah jadi kredo jurnalisme universal, adalah bagian dari pengabdian kepada Allah SWT. Jadi, tidak ada ceritanya media Islam memuat konten yang cabul, pelecehan terhadap Rasulullah, dan lain-lain, yang justru menjauhkan pembacanya dari ajaran Islam.
Kata kuncinya, kebebasan pers tanpa aturan, yang dilandasi dengan nilai yang hidup ditengah masyarakat, samahalnya dengan kejahatan. (berbagai sumber dan penulis wartawan padangpos.com)