Pendidikan dan Kebebasan Pikiran
Artikel () 23 Mei 2018 15:54:15 WIB
Harian Kompas edisi 3 Mei 2018 memuat artikel opini yang ditulis Muhammad Nur Rizal dengan judul “Memutus Rantai (Re)Kolonialisme”. Rizal memulai tulisannya dengan bercerita bagaimana Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa untuk memutus rantai kolonialisme di Indonesia dengan melakukan perlawanan dalam bentuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan keterbelengguan pikiran.
Di Taman Siswa, setiap orang harus menikmati Pendidikan yang berpusat pada kodratnya sendiri atau kodrat masing-masing, yaitu manusia yang mandiri, mampu mengatur hidupnya, tidak terperintah oleh manusia lain. Dengan ini maka manusia Indonesia tidak hanya merdeka fisik, tapi juga merdeka nalar dan batin.
Menurut Rizal, apa yang diajarkan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa kini tidak ditemui lagi dalam pendidikan Indonesia terkini. Sejak orde baru, pendidikan lebih mengarah kepada mematikan kemerdekaan nalar dan batin. Sekolah diseragamkan dan diajak untuk menghafal. Dan itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri.
Rizal mengkritisi kurikulum pendidikan yang terpusat dan menyarankan agar diserahkan kepada masing-masing daerah. Karena pendidikan seharusnya memberikan solusi terhadap apa yang terjadi di sekitar peserta didik. Di samping itu, sudah saatnya anak-anak diberikan kesenangan membangun kecakapan mereka dalam belajar dengan memanfaatkan informasi, dan bukan menghafal informasi.
Apa yang disampaikan Rizal ini memang sebuah kritik positif. Di sebuah kesempatan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berbicara dalam sebuah forum yang membahas pendidikan. Anies menyatakan bahwa Ki Hajar Dewantara pernah membuat sebuah buku yang cukup tebal tentang pendidikan. Dan isi buku tersebut kini sudah dipraktikkan di Finlandia. Negara yang dianggap pendidikannya sudah sangat maju dan memberikan kenyamanan kepada anak didik dan juga para guru.
Satu hal yang saya tekankan dalam tulisan ini adalah betapa kebebasan pikiran yang mencerminkan kemerdekaan nalar dan batin merupakan sebuah modal berharga yang seharusnya bisa disampaikan oleh orangtua kepada anak-anaknya. Mengapa demikian? Karena di milennium ketiga ini yang dibutuhkan anak-anak adalah kemerdekaan pikiran sehingga mereka bebas berekspresi dan kemudian mampu mandiri.
Saat ini Indonesia akan menghadapi bonus demografi. Dan orang usia muda jumlahnya akan lebih banyak dari orang usia tua. Maka membicarakan tentang kemandirian yang dikaitkan dengan kebebasan pikiran yang merdeka nalar dan batin merupakan sebuah isu penting bagi orang usia muda. Karena banyak dijumpai orang usia muda tidak memiliki kebebasan pikiran, kemandirian, kemerdekaan nalar dan batin, sehingga menyebabkan mereka tidak memiliki semangat hidup yang tinggi. (efs)
Referensi: Kompas, 3 Mei 2018
ilustrasi: freefoto.com