Ketika BPJS Defisit

Ketika BPJS Defisit

Artikel () 02 Desember 2017 23:06:13 WIB


BPJS sebenarnya ada dua, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Yang sering diberitakan media adalah BPJS Kesehatan. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan selama ini aman-aman saja tidak mengalami gejolak. BPJS Ketenagakerjaan arahnya lebih kepada persiapan dana pensiun sehingga memang tidak menimbulkan kegaduhan. Sedangkan BPJS Kesehatan selalu ramai jadi perbincangan, baik di media maupun kehidupan masyarakat.

BPJS Kesehatan pun pernah mendapatkan berita yang salah ketika MUI diberitakan menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah, bahkan ada yang menyebutnya haram dan riba. Padahal ketika dikonfirmasi ke MUI, hanya ada catatan yang bukan merupakan fatwa atau pendapat resmi kelembagaan. Dan catatannya itu pun semacam poin-poin perbaikan.

Kabar yang tengah ramai saat ini adalah BPJS Kesehatan tengah menghadapi defisit. Defisit yang tengah dihadapi akibat biaya menanggung penyakit katastropik, yaitu penyakit fatal berbiaya tinggi.

Berdasarkan data yang dipublikasikan Koran Tempo edisi 28 November 2017 yang bersumber dari Advokasi BPJS Watch defisit BPJS Kesehatan tahun 2014 sebesar Rp3,3 triliun, Tahun 2015 Rp5,7 triliun, Tahun 2016 Rp9,7 triliun, Tahun 2017 Rp8,5 triliun (perkiraan).

Masih dengan data dari Koran Tempo, nilai klaim penyakit katastropik tahun 2016 adalah sebagai berikut: Jantung Rp7,485 triliun, Kanker Rp2,35 triliun, Gagal Ginjal Rp2,592 triliun, Stroke Rp1,288 triliun, Talasemia Rp485,193 miliar, Sirosis Hati Rp232,958 miliar, Leukimia Rp183,295 miliar, Hemofilia Rp119,64 miliar, sehingga totalnya Rp14,692 triliun.

Koran Tempo juga mengulas bahwa di tengah defisit BPJS kesehatan ternyata ada 10 juta peserta yang menunggak pembayaran iuran. Hal semacam ini perlu juga pengaturan yang lebih adil, agar ketika BPJS membayar klaim biaya pengobatan di satu sisi maka di sisi lain peserta bisa tertib memabayar iuran. Karena kita juga perlu berlaku adil dalam melihat hal ini.

BPJS Kesehatan sudah terbukti banyak menolong masyarakat. Dan bahkan beberapa pemerhati menganggap BPJS Kesehatan di Indonesia adalah salah satu asuransi atau jaminan kesehatan terbaik yang ada di dunia.

Hal yang membuat BPJS Kesehatan mengalami defisit adalah karena tidak adanya lagi subsidi pemerintah seperti di era Askes untuk penyakit katostropik selama tahun 2004-2013. Untuk menyikapi hal demikian BPJS Kesehatan berupaya melakukan terobosan seperti ide pembagian biaya (cost sharing) dengan pemerintah untuk delapan penyakit katostropik yang sudah disebutkan di atas. Dan BPJS Kesehatan sendiri seperti yang diberitakan di Koran Tempo (28/11) berkomitmen tidak menurunkan kualitas pelayanan maupun meningkatkan iuran peserta. Hal ini perlu diapresiasi. Karena semangat seperti ini memperlihatkan bahwa ada empati yang tinggi dari BPJS Kesehatan kepada peserta BPJS Kesehatan, terutama masyarakat yang kebanyakan berpenghasilan menengah ke bawah.

Sementara itu di Koran Tempo edisi 30 November 2017, BPJS Kesehatan melalui juru bicaranya menyampaikan bahwa iuran yang ditetapkan masih di bawah nilai keekonomian. Berdasarkan kajian, nilai aktuaria iuran untuk manfaat pelayanan kesehatan kelas III adalah Rp53.000. pemerintah menetapkan sebesar Rp25.000 agar tidak membebani masyarakat. Pemerintah berkomitmen tidak menaikkan iuran peserta.

Maka untuk menyiasati defisit dana BPJS Kesehatan ada beberapa opsi seperti: dana cadangan sebesar 20 persen dari total nilai aset yaitu Rp12 triliun, penyertaan odal negara Rp3,6 triliun pada 2017, pajak dan cukai rokok Rp5 triliun, penggunaan imbal hasil obligasi yang dibeli BPJS Ketenagakerjaan (contoh: tahun 2016 imbal hasil mencapai Rp5,8 triliun), dan subsidi APBN untuk 92,2 peserta bantuan iuran (PBI) dengan jumlah total Rp25,5 triliun pertahun.

Semoga Pemerintah, DPR RI dan BPJS Kesehatan bisa mencari jalan keluar untuk menanggulangi defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Dan juga BPJS Kesehatan atau pemerintah mungkin perlu mengkampanyekan hidup sehat agar peserta BPJS Kesehatan hidupnya makin sehat dan semakin berkurang jumlah orang yang perlu dibiayai. Karena walau bagaimanapun hidup sehat jauh lebih enak. Dan satu lagi, perlu penyamaan paradigma terhadap pembayaran iuran peserta bagi mereka yang memang tidak pernah atau jarang sakit bahwa mereka tidak rugi akibat tidak ke dokter atau dirawat di rumah sakit. Justru harus merasa beruntung dan banyak bersyukur bahwa selama ini mereka dikaruniai kesehatan oleh Allah SWT. (efs)

Referensi:

Koran Tempo, 28 November 2017

Koran Tempo, 30 November 2017

BPJS: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

ilustrasi: freefoto.com