Abad informasi dan dampaknya terhadap pemahaman sosial keagamaan ummat

Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 13 April 2017 13:10:39 WIB


Oleh : Wakidul Kohar

Abad informasi dan pembaharuan

            Abad informasi ditandai dengan kemajuan pada alat komunikasi dan informasi dan sejumlah ideologi, bahwa  informasi adalah suatu yang sangat penting dan vital dalam kehidupan manusia.  Tegasnya abad informasi , sedang menggiring dari masyarakat transisi setelah industri menuju dunia jasa informasi.  Saat orang mengakses informasi dan "menternakkan informasi" sebagai kebutuhan dan sebagai lahan pekerjaan untuk kelangsungan kehidupan. Abad informasi identik dengan milinium ke tiga, dalam artikata meninggalkan abad 20, abad yang menyisasakan kesan sebagai abad perang dan darah, di samaping sebagai abad ilmu pengetahuan.

            Jelasnya apa perubahan yang terlihat, pada jangka waktu semalam, sore harinya menikmati akhir abad dua puluh, pagi harinya menikmati milinium baru. Ataukah mungkin bangsa ini, juga masyarakat Minangkabau perubahan ini dirasakan dengan menonton dunia terbalik layar kaca.? Atau hanya  perasaan biasa bahwa perubahan itu akan tetap terjadi?  Sebagai jawabannya bahwa manusia, alam dan kehidupan tidak akan berubah dalam waktu seketika dan tiba-tiba. Perubahan memerlukan proses dan logika tersendiri, terlebih masyarakat  Sumatera Barat telah mempunyai nilai-nilai sosial budaya yang telah melembaga.

            Namun demikian ada bentuk kebiasan ummat  sejak masa lalu, yaitu mereka mengantungkan secercah harapan  bahwa akan terjadi perubahan ketika berlaunya abad  dan datangnya abad yang baru. Jelasnya bahwa  perubahan bila ada pada abad ini, telah didahului oleh perubahan  pada abad sebelumnya, minimal adalah harapan dan keinginan. Karena kehidupan manusia saat ini lahir dari kehidupan sebelumnya.  Dalam perspektif Islam bahwa perubahan terkait dengan pembaharuan, jelasnya dengan  adanya perubahan abad akan ada pembaharuan terhadap pemahan agama, yang dilakukan oleh para reformernya. Logika ini agaknya dilandasi oleh argumen normatif yaitu hadis Nabi SAW:

            "Sesungguhnya  Allah akan mengutus  dalam setiap  seratus tahun  pada umat ini, seseorang yang akan mereformasikn agama."

            Hadis di atas memberikan informasi, bahwa setiap pergantian abad baru akan ada pembaharu, tetapi kapan munculnya pembaharu tersebut , apakah mereka muncul pada waktu pagi hari, kerena telah mempersiapkan pada sore harinya sebelum abad baru datang. Sekali lagi perubahan membutuhkan proses, para pembaharu akan muncul sebagaimana yang terjadi di Sumateraba Barat pada masa lalu, kerena dipersiapkan dan mempersiapkan diri jauh sebelumnya. Hal inilah agaknya  sejalan dengan sabda rasululah saw,  bahkan akan ada  sekelompok umat yang senantiasa  mengakan agama Allah di setiap zaman.

            Pembaharuan  pemahaman keagamaan yang dilakukan oleh para pembaharu meliputi,  pembaharuan cara beriman kepada Allah, serta peningkatan dan komitmen berdakwah untuk kepentingan  agama Islam. Dengan demikian pada dasarnya  perubahan dan pembaharuan  adalah sesuatu yang terjadi pada setiap abad. Persoalannya apakah perubahan itu terjadi  pada abad hijiriyah atau masehi?. Mengingat dalam Islam hitungan masehi berdasarkan peredaran matahari juga penting, di antaranya, perhitungan  masuk sholat, sedang abad hijriyah juga penting yang berkaitan dengan hitungan puasa dan haji. Yang terpenting adalah mengambil maanfaat terhadap  moment pada pergantian abad baik Masehi ataupun Hijriyah. Karena penjelasan normatif Islam bersifat umum. Dan memberikan ruang gerak dan corak pemikiran dan penafsiran.

Abad informasi, dan pemahaman sosial keagamaan

            Tulisan ini bersifat "tentatif", dan terbuka kemungkinan  perspektif yang lain, ketika mencermati serta melihat kondisi umat Islam di abad informasi baik secara umum di Indonesia dan di Sumatera Barat. Secara sederhana posisi umat Islam tersebut :

Pertama, ummat Islam secara comonsence mayoritas miskin informasi, bahkan mungkin sebagian ulama dan inteletual Islam disamping  miskin informasi juga mengalami delima di abad ini . Mereka miskin informasi  di tengah kekayaan khazanah informasi Islam. Baik informasi yang ada dalam doktrin Islam, maupun hasil pemikiran para ulama dan ilmuan. Umat Islam masih miskin informasi  dalam artikata  miskin mental  untuk memburu informasi, yang berkaitan dengan  bagaimana menuju keberhasilan pembangunan,  sosial, ekonomi dan politik, dan pendidikkan ahlak.  Miskin mental  dalam mencari  informasi, bukan sekedar  pada masyarakat awam, tetapi juga  pada wilayah para pelajar dan mahasiswa, sehingga mahasiswa khususnya pada kajian Islamic studies miskin mental berilmu, dalam artikata tidak sepenuhnya memberikan apresiasi terhadap ilmu yang digelutinya. Padahal saat ini mengakses informasi merupakan kebutuhan mutlah

Kedua, menjadi konsumen informasi, dan bukan produsen infrormasi, dikala penguasaan informasi menjadi begitu vital  di abad informasi. Pada hal Islam  pada awalnya adalah  merupakan tumpuan peradaban manusia ketika itu. Atau tepatnya Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia. Para ulama dan intelektual ketika itu adalah orang-orang yang suka  terhadap Ilmu apa saja. Di saat itu telah terjadi integrasi keilmuan. Para ulama, ilmuan dan penguasa Islam membawa ummat Islam kepada bentuk umat yang mencintai ilmu dan kaya informasi.( Knowledge –based Society, information-rich community.)

            Dari dua kondisi di atas  apakah sebenarnya yang menyebabkan umat Islam pada posisi demikian. Ada dua alasan ;

Pertama, di antara para ulama dan ilmuan merasa tidak aman dengan perubahan di setiap abad. Karena tidak merasa aman yang muncul kemudian adalah komunikasi defensif, rival dari komunimasi supportif terhadap beberapa informasi yang sebenarnya ada manfaatnya untuk Islam. Abad informasi adalah abad yang mau tidak mau membuat pemikiran dan pemahaman manusia berubah, dan minimal adanya berubahnya cara berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Karena konsepsi berubah dalam kehidupan sosial, maka sebenarnya  problem masyarakat informasi semakin komplekitit. Dapat dibayangkan  apa yang terjadi bila pada ummat Islam ulama dan ilmuan kekurangan informsi dan menutup diri dari perubahan. Persoalan yang lebih mengkhawatirkan adalah geger budaya, sebagai penyakit adabtasi terhadap perubahan mereka beralasan  kembali kepada ajaran murni. Padahal ajaran Islam memberikan peluang untuk kemajuan dan perubahan.

Kedua, elitisme dan ekslusifisme  kajian Islam.

            Umat Islam mengakui bahwa, bila urusan tidak diserahkan pada ahlinya maka tunggulah saat kehancuranyya. Hal ini memang benar tetapi apakah kelompok lain tidak boleh memberikan konstribusinya? Realitas menunjukkan bahwa dalam kajian Islam, betapa mahasiswa dakwah dan komunikasi tidak mengerti sedikitpun ilmu tarbiyah dan keguruan, dan apa yang dimengerti oleh mahasiswa tarbiyah tidak diketehui oleh mahasiswa juruan Budaya, dengan alasan tidak mau tahu dan bukan termasuk bidang dan urusannya. Ini disebabkan karena pandangan miopik, cara pandang dekat, tidak bisa memanpandang jauh.

            Memang di akui untuk mengeluarkan sebuah teori dan produk fatwa, harus orang yang ahlinya, tetapi tidak menutup kemungkinan  orang lain mengetahuinya dan mengkaji dalam perpektif yang berbeda. Inilah yang sebenarnya mempermiskin informasi, karena berfikir yang selalu terkotak-kotak, sehingga kelompok lain tidak merasa perlu informasi tersebut.