Dampak Globalisasi bagi kehidupan masyarakat di Ranah Minang

Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 11 April 2017 12:51:30 WIB


Oleh : Wakidul kohar

Globalisasi dan universalisme

            Globalisasi adalah istilah yang sering digunakan oleh manusia  modern. Salah satu pengertian globalisasi adalah sesuatu yang mendunia, artinya  menjadikan sesuatu yang menyangkut seluruh aspek dalam level dunia, atau juga dapat dikatakan bahwa globalisasi adalah  kesamaan gaya hidup diseluruh  dunia, sehingga globalisasi menpunyai sifat menghilangkan  batas-batas negara, kebudayaan, nilai dan ideologi. Karena sifat globalisasi tersebut, munculah  desa-desa baru di dunia  dalam arti antropologis dan bukan geografis.  Globalisasi mempunyai muatan kesamaan ekonomi, keuangan, politik dan kebudayaan. Jelasnya,  bahwa globalisasi adalah ideologi atau faham, yaitu faham dengan model baru, atau tern baru dan memaksa zaman untuk berubah, sebagai sifatnya tadi yaitu ingin segala sesuatunya mengobal, atau mendunia dalam ideologi yang sama.

            Globalisasi telah berjalan, dengan demikian sebenarnya umat Islam terutama ummat Islam di Sumatera Barat, sedang menyaksikan dan terlibat  dalam resolosi global umat manusia. Umat Islam sebenarnya sedang berubah. Berubah dalam hal kelembagaan sosial keagamaan, pakaian dan juga prilaku.

            Bila globalisasi adalah sesutau yang mendunia, agaknya  mempunyai kedekatan dengan arti universalisme dalam kajian Islam, akan tetapi tidak persis sama. Dalam Islam ada istilah kesemestaan atau sesuatu yang bersifat global. Bahkan ajaran Islam  untuk umat secara global, begitu juga nabi Muhammad saw pun di utus untuk alam semesta yang tentunya bersifat global. Dengan demikian sebenarnya Islam pun mempunyai terma tersendiri dalam globalisasi, yaitu universalisme. 

            Dengan demikian sebenarnya dalam Islam ada terma yang berkaitan dengan globalisasi, akan tetapi mempunyai muatan yang berbeda dengan globalisasi secara umum. Globalisasi yang sedang melanda  dunia sekarang ini, tidak dapat dimungkiri karena seruan Barat. Dapat dipastikan  seruan tersebut sangat terkait dengan penglobalam secara idelogi dan kebudayaan. Sedangkan kendaran globalisasi adalah kemajauan tenologi komunikasi, untuk menyebarkan informasi yang berisi nilai-nilai yang telah didesainnya. 

            Globalisasi yang diserukan Barat terkait dengan  penglobalan "kebaratan". Semua aspek tertunpu kepada dunia Barat, menyangkut ekonomi, dengan mendirikan IMF, dan keuangan dengan berdirinya Bank dunia, serta penyebaran kepada penyatuan kebudayaan. Jelasnya globalisasi tersebut menyangkut pemaksaan atau lebih tegasnya adalah penjajahan secara ideologi dan kebudayaan.

            Berbeda dengan Islam, universalisme identik  lebih dekat dengan arti globalisasi, membawa misi persamaan kemanusiaan, prinsip egaliteralisme, nilai- nilai  keadilan,  dan kemanusiaan, dan tetap pada prinsip kebudayaan yang benar. Inilah sebenarnya yang merefleksikan para pengamat di era global, bahwa budaya yang akan bertahan bukan budaya yang menang, tetapi budaya yang benar. 

Aspek negatif   globalisasi

Pertama, benturan  dan konflik kebudayaan Globalisasi yang sedang berjalan disamping memberikan manfaat bagi manusia, terutama aspek teknologi komunikasi, juga disisi lain mempunyai dampak negatif dalam sejarah kehidupan manusia, tanpa kecuali di ranah minang.  Problem yang muncul adalah benturan kebudayaan, atau dikenal dengan Clash Civilization. Dalam arti kata bahwa ketika Barat menanamkan ide-idenya, keseluruh dunia menjadi budaya Global, maka bangsa-bangsa lain yang mempunyai budaya yang berbeda mengalami konflik. Pada akhirnyua terkadang setelah terjadi benturan budaya, akan berlanjut pada benturan fisik kemanusian yang sangat mengerikan. Hal ini pernah terjadi pada sebuah negara tentang pembersihan satu etnis, karena perbedaan budaya.

            Benturan budaya tersebut di Indonesia, telah nyata, dimana  bangsa Indonesia, sebagian telah tercerabut oleh akar budaya sementara budaya yang dianut belum terbentuk. Kondisi ini juga dialami oleh masyarakat Sumatera Barat, yang konon berpegang teguh pada falsafah adat basandi syara,’ Syara’ basandi kitabullah.  Sehingga yang terlihat lihat adalah  budaya global superparsial yang identik dengan westernisasi. Lebih jauh dari benturan kebudayaan adalah kekacauan idelogis ( ideological Confution), disebabkan karena agama-agama yang sebenarnya menjadi idelogi bagi penganutnya,  belum menemukan sistesis yang tepat dengan  modernitas serta globlalitas dengan konstruk dewasa ini. Hingga pada akhirnya hingga saat ini masih terjadi tarik-menarik yang belum kunjung selesai antara idelogi yang  ada dengan masyarakat  agama.

Kedua, sistem informasi yang tidak sebangun ( Asymmetries of Information)

            Tiga lembaga yang sangat berpengaruh dalam era globalisasi adalah  IMF, Bank Dunia, dan WTO. Dalam kinerjanya  atau kiprahnya  telah memunculkan problem yang dikenal dengan ketidakadilan informasi terhadap dunia berkembang, dunia timur, dan tertama dunia-dunia Islam. 

            Joseph . E. Stiglitz,  menyoroti dalam karyanya,  Globalizatin and Ist Discontents, bahwa telah terjadi ketidakseimbnagan informasi dari tiga lembaga  multi leteral ini. Dia membuat ilustrasi bahwa, dalam kehidupan sehari-hari seorang penjual mangga pasti lebih tahu dari pada pembelinya, mana yang busuk dan tidak, Demikian juga penjual  mobil bekas, pasti penjual lebih tahu dari pembeli. Jadi, informasi tidak sama atau tidak sebangun  bagi para pelaku pasar.  Dengan ketidak seimbangan informasi ini tentunya berimplikasi kepada kehidupan sosial, dimana semua negara terpaksa tergantung pada tiga lembaga tersebut, dan harus  menurut apa kemauan mereka, bukan kemauan  negara-negara yang sangat ketergantungan. Lebih tegasnya lagi Stiglitz, mengatakan bahwa  telah terjadi manipulasi informasi oleh tiga lembaga tersebut, dan mereka adalah pejundang globalisasi.

                        Setelah melihat apa globalisasi dan masalah yang mengintarinya dan globalisasi dalam perspektif Islam, bagaimana seharusnya umat Islam bersikap terhadap globalisasi, untuk menuju Islam yang universal  di ranah minang, yaitu islam yang rahmatal lil ‘alamin. Sehingga masyarakat Minang tidak terjebak pada sektarian atau terikat faham kelompok atau organiasasi sehingga hanya memberikam rahmat bagi kelompoknya, tetapi menebar kebencian terhadap kelompok lain. Semoga.