Ojek Online dan Taksi Online
Artikel () 23 September 2017 21:38:17 WIB
Beberapa waktu lalu di Bukittinggi dilakukan penutupan kantor Gojek. Gojek dan Gocar diprotes karena dianggap ilegal dan mengganggu keberadaan ojek offline. Beberapa waktu lebih lama lagi, di Padang dilakukan protes oleh sopir angkot yang juga memprotes keberadaan taksi online. Dan yang paling baru adalah penutupan kantor Gojek di Padang karena tuntutan pendemo yang berasal dari kalangan sopir angkot.
Keberadaan ojek online dan taksi online jauh hari sebelumnya juga sempat diprotes oleh sopir taksi offline dan ojek offline di Jakarta. Di daerah lain seperti di Jawa Tengah juga terjadi protes terhadap munculnya angkutan online. Umumnya yang diprotes oleh pelaku offline adalah bahwa pelaku online tidak memiliki izin atau syarat resmi seperti para sopir offline. Selain itu, keberadaan pelaku online dianggap mengambil rezeki pelaku offline.
Era online memang sudah tiba. Kini akibat belanja online meningkat menyebabkan toko-toko offline tutup satu persatu. Dari toko konvensional hingga toko modern, termasuk toko dengan skala besar sekalipun. Era online menawarkan kemudahan, dan mungkin juga keamanan dan kenyamanan.
Seorang pebisnis online dalam akun media sosialnya (facebook) bercerita bahwa toko jam tangan milik ayahnya tutup akibat sepi pembeli. Kemudian ayahnya mencoba memindahkan isi toko ke garasi rumah dan mulai berjualan secara online. Hasilnya menggembirakan, pesanan terus menerus berdatangan. Tadinya sang ayah tidak mau mengikuti ulah anaknya yang berbisnis secara online. Namun akhirnya sang ayah mencoba berbisnis secara online dan mendapatkan keuntungan atau kehidupan baru di situ.
Kembali ke transportasi online, ada penyebab yang mendorong konsumen menyukai ojek online. Yaitu ojek akan datang ke rumah konsumen. Konsumen tidak perlu jalan kaki menuju pangkalan ojek. Selain itu tarif ojek online dianggap lebih objektif dan konsumen merasa diuntungkan. Berbeda dengan ojek pangkalan yang dianggap oleh sebagian konsumen menerapkan tarif yang lebih mahal.
Demikian pula dengan taksi online. Taksi online akan datang ke konsumen menjemputnya. Tarif taksi online pun lebih objektif dan konsumen merasa terlindungi. Lalu, apakah taksi offline kebalikannya? Tidak juga. Tetapi sulit mengubah persepsi konsumen. Karena konsumen memiliki pemikiran juga dan semakin punya pilihan, mana yang mau diambil.
Lalu, bagaimana mengatasi hal demikian? Karena ternyata di Sumbar keberadaan ojek dan taksi online sudah diprotes oleh pelaku offline. Apalagi sejak Mahkamah Agung membatalkan peraturan Menteri Perhubungan tentang tarif kendaraan online. Pemprov Sumbar yang dikabarkan sedang menggodok rancangan peraturan daerah tentang kendaraan online pun akhirnya tidak melanjutkan pembahasan karena menunggu kembali aturan dari pemerintah pusat.
Jadi, Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 26/2017 tentang penyelenggaraan transportasi berbasis aplikasi dianulir oleh Mahkamah Agung (MA). Karena dianggap bertentangan dengan UU No. 20/2008 tentang UMKM dan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Di beberapa negara, keberadaan transportasi online sudah diatur. Di Inggris diberlakukan standar untuk para pengemudi online pada September 2016. Di Singapura dibuat aturan agar penyedia trasnportasi online menjalankan pelayanan standar pada Februari 2017. Di Malaysia pengemudi taksi online wajib memiliki lisensi pada Agustus 2016. Di Amerika Serikat di 64 kota dan 42 negara bagian diberlakukan aturan agar pengemudi taksi online memiliki lisensi yang sesuai standar keamanan. DI Filipina pemerintah mengakui Uber dan perusahaan sejenis sebagai transportasi umum, namun tetap menerapkan syarat perizinan untuk pengemudi dan kendaraan online pada Mei 2015. DI Kanada Uber dan sejenisnya dilegalkan pada Januari 2017 dengan mewajibkan pengemudi online melakukan registrasi.
Di satu sisi memang perlu win-sin solution agar pelaku ojek dan taksi, baik offline maupun online bisa hidup berdampingan tanpa saling merebut lahan orang lain. Dan di sisi lain konsumen memerlukan pelayanan yang baik yang bisa membuat mereka nyaman dan tidak merasa dirugikan. Menurut saya, pelaku offline sudah waktunya mengubah cara pelayanan mereka yang selama ini sudah banyak dikeluhkan oleh konsumen. Namun karena sebagian pelaku tersebut merasa konsumen tidak ada pilihan lain maka mereka tidak mau mengubah cara melayani konsumen. Maka, ketika hadir pelaku online yang memberikan kenyamanan dan kepastian tarif kepada konsumen, konsumen pun beralih.
Untuk itu ke depannya, perlu ada terobosan kebijakan dari pemerintah pusat terkait pengaturan transportasi online ini. Karena jika melihat kepada Filipina, pemerintahnya justru menganggap keberadaan transportasi online bisa membantu mengurangi kemacetan. Sedangkan di sini, akibat tidak adanya pelayanan standar oleh angkutan offline seperti angkot, menyebabkan perilaku sebagian sopir angkot dikritik oleh para penumpang dan pengguna jalan. Sehingga jika penumpang angkot semakin sedikit jumlahnya, sangat mungkin akibat perilaku sebagian sopir angkot tersebut yang tidak bisa memberikan standar pelayanan minimal layaknya angkutan umum.
Dan, tidak semua fungsi angkot bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Misalnya, sebagian ojek online dipakai oleh kaum ibu untuk mengantar anak mereka ke sekolah. Atau ojek online digunakan untuk memesan makanan. Demikian pula, ojek online tidak akan mematikan keberadaan angkot karena rute angkot yang sudah ada tetap sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan akan trasnportasi umum. Dan boleh jadi, ini momentum bagi organisasi terkait untuk membenahi anggotanya agar lebih manusiawi dan bisa memberikan layanan yang baik kepada penumpang.
Semoga ada solusi yang baik untuk seluruh pihak terhadap isu ini. Karena sebenarnya keberadaan transportasi sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Dan masyarakat sudah pasti menginginkan kenyamanan. (efs)
Ilustrasi: freefoto.com
Referensi: Tabloid Kontan Edisi 4-10 September 2017