Kebijakan yang Bermartabat Antisipasi Kerusakan Lingkungan
Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 06 Februari 2017 11:12:15 WIB
Kebijakan yang Bermartabat Antisipasi Kerusakan Lingkungan
Oleh Yal Aziz
Serangkaian bencana alam, seperti banjir, dan tanah longsor, sepatutnya menggugah kesadaran kita akan arti penting menjaga lingkungan. Pelanggaran tata ruang dan wilayah, tata guna dan alih fungsi lahan, memberi andil besar atas kemeluasan bencana di sejumlah wilayah di Sumatera Barat.
Apa yang dikatakan pakar bidang lingkungan hidup dari Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Dr Ardinis Arbain tentang banjir perlu juga dianalisa secara ilmihan dab kanjain mendalam, agar masyarakat terhindar dai bencana yang menimpanya setiap tahun.
Menurut Dr Ardinis Arbain, banjir bisa diatasi dengan teknologi penyerapan air selain membangun sarana drainase di sepanjang jalan utama kota.Kenapa? Karena prinsip teknologi penyerapan air atau Zero Q Policy adalah keharusan setiap bangunan untuk tidak menambah debet air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Idealnya, setiap bangunan menyerap air hujannya masing-masing. Pprinsip Zero Q Policy ini sesuai dengan PP No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Nasional di pasal 106.
Banjir disebabkan oleh air yang tidak meresap ke tanah karena terlalu banyak melimpas ke selokan, sungai dan sistem drainase yang tak mampu menampung air hujan. Karena itu, sangat penting dikembangkan teknologi penyerapan air untuk masing-masing bangunan.
Prinsip ini dapat diterapkan dengan cara biopos (biopori plus pengomposan) untuk perumahan kota, lubang galian (jogangan) untuk perkampungan yang masih memiliki pekarangan luas, desain teknologi sumur resapan dan sumur injeksi untuk perkantoran dan pertokoan. Seharusnya ditambah juga dengan kebijakan mengenai tata cara membangun rumah maupun bangunan lainnya, layaknya bangunan tidak semua lahan ditutupi beton. Luas bangunan yang tertutup tembok dengan luas bidang yang tidak ditutupi tembok harus punya rasionya.
Selain itu, di setiap daerah harus mempunyai 30 persen ruang terbuka hijau. Jika dinilai ruang terbuka hijau di kota Padang telah berkurang, tidak lagi mencapai 30 persen.
Kemudian, lemahnya penegakan hukum dalam mengawal kebijakan di sektor itu, memunculkan banyak penyimpangan dan pelanggaran yang memicu kerusakan lingkungan di sekitar kita. Kawasan konservasi, sabuk hijau, resapan, tangkapan dan sumber mata air yang mestinya tidak terjamah oleh tangan-tangan manusia, berubah menjadi kawasan perumahan, gedung, dan industri. Pemerintah dan pemangku kebijakan seolah- olah tidak berdaya.
Sejumlah pihak menyebut ada pelanggaran izin, namun yang memprihatinkan hal itu justru dilakukan oleh elite dan pembuat kebijakan yang seharusnya berada di garda terdepan penegakan kebijakan.
Lemahnya penegakan hukum ini tidak bisa dibiarkan. Kemeluasan banjir patut menjadi momentum perenungan. Mengapa kebijakan itu tidak bisa ditegakkan? Mengapa aparat lemah dan banyak pelanggaran? Mengapa ada penolakan warga atas kebijakan-kebijakan yang sesungguhnya untuk kepentingan warga dan masyarakat? Penolakan itu membuat kebijakan yang dikeluarkan tidak bermartabat, membuat pemerintah terkesan lemah dan tidak berwibawa.
Patut disadari, tidak mudah menelurkan kebijakan yang bermartabat dan berwibawa. Perumusannya komprehensif, menimbang berbagai faktor yang terjalin saling bertaut.
Para pejabat dan pemangku kebijakan dituntut dekat dengan rakyat, berkomunikasi, berkonsultasi, dan bernegosiasi sehingga masyarakat juga merasa menjadi pemilik kebijakan itu. Masyarakat sasaran kebijakan ditempatkan bukan sekadar objek melainkan subjek yang diuwongke.
Sepintas yang dikedepankan memang aspek popularitas, berupa penerimaan masyarakat. Namun kebijakan populis ini akan lebih bermartabat manakala mampu menggabungkan aspek teknis dan pragmatis untuk mengoptimalkan hasil dan target.
Percuma membuat kebijakan yang populis tetapi mengabaikan aspek-aspek teknis, sehingga sulit diimplementasikan. Percuma juga kebijakan yang matang teknis namun mendapat penolakan masyarakat sasaran. Kita melihat tidak sedikit kebijakan Pemerintah Kota Semarang yang resisten di tingkat warga dan gagal secara teknis.
Pemimpin sulit menelurkan kebijakan bermartabat, apalagi meramu formula populisteknokratis. Jika pemimpin dan elite enggan memecahkan persoalan ini, program-program vital termasuk pengendalian banjir berpotensi gagal. Kerusakan lingkungan akan semakin hebat. Banjir dan tanah longsor makin meluas. Masyarakat pun akan merana dan sensara. (Penulis waratwan tabloidbijak.com)