Menengok Pemilihan Presiden di Prancis
Artikel () 21 Mei 2017 17:57:30 WIB
Tahun ini Prancis melaksanakan pemilihan presiden secara langsung. Tepatnya 23 April 2017. Tak seperti biasanya, kali ini ada kisah yang bisa dijadikan pelajaran bagi kita. Bahwa di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Salah satu kandidat calon presiden (capres) bernama Emmanuel Macron. Ia mendirikan partai En Marchel pada tahun 2016 dengan sederhana ketika deklarasi pendirian. Dengan disaksikan 200an orang yang merupakan teman dan keluarganya di tempat kelahirannya Amiens yang berjarak sekitar 120 km dari Paris.
Karena sederhana dan tanpa dukungan media, ada yang mengatakan bahwa partainya akan mendapatkan kegagalan. Waktu mendirikan partai, Macron masih menjadi menteri. Empat bulan setelah itu ia mengundurkan diri sebagai menteri.
Dari tiga kandidat capres Prancis, Macron adalah calon yang tak dianggap. Karena dua calon lainnya memiliki nama besar seperti Le Pen dan Francois Fillon. Namun hasil pilpres putaran pertama Macron keluar sebagai pemenang yang akan ikut putaran kedua pada 7 Mei 2017.
Macron disebut sebagai orang yang tidak memiliki pengalaman menjadi anggota parlemen dan pemain baru di dunia perpolitikan Prancis.
Namun cara Macron melakukan kampanye menyebabkan ia mampu meraih kemenangan. Ia mendatangi pintu-pintu rumah masyarakat menanyakan apa saja keluhan mereka. Tidak kurang dari 25 ribu wawancara dihasilkan dengan memiliki detil. Cara ini disebut Koran Tempo (26/4/17) sebagai mengikuti jejak Barack Obama pada tahun 2008.
Ada satu hal yang mungkin patut dijadikan teladan dari Macron ini. Yaitu ia tidak anti Islam. Bahkan pernah mengecam larangan berhijab di universitas. Hasil exit poll pada putaran pertama, Macron memperoleh 23,7 persen suara, disusul Le Pen 21,9 persen dan Fillon 19,7 persen.
Pada pemilu putaran kedua, Macron menang. Ia menjadi presiden Prancis. Salah satu penyebab kemenangan Macron adalah di waktu debat kandidat terakhir, Le Pen lebih banyak menyerang pribadi Macron dibanding memperomosikan program-programnya.
Kemenangan Macron dianggap sebagai hasil pemilu yang cukup penting bagi Prancis dan Eropa. Karena jika Le Pen menang maka Prancis akan segera keluar dari Uni Eropa dan juga melepas mata uang Euro, serta menutup perbatasan Prancis.
Selain itu, Prancis saat ini dalam kondisi pengangguran cukup tinggi, keamanan yang dianggap mengkhawatirkan, dan ekonomi yang stagnan.
Jika melihat sedikit sisi pribadi Macron, kisah cintanya bisa dibilang di luar kebanyakan orang pada umumnya. Ia menikahi gurunya yang berusia lebih tua 24 tahun dibanding Macron. Mungkin kisah cinta ini boleh jadi menjadi penyebab mengapa Macron bisa dibilang menghargai masalah penggunaan jilbab bagi wanita muslim di Prancis. Karena ia sendiri memiliki cinta yang tulus kepada wanita yang lebih tau 24 tahun darinya.
Macron sendiri masih mudah, usianya 39 tahun. Ia pernah menjadi bankir dan menteri ekonomi. Dengan terpilihnya ia sebagai Presiden Prancis, kiprahnya dinanti oleh masyarakat Prancis dan juga Uni Eropa.
Dengan pendekatan kepada masyarakat yang persuasif dan mendengarkan masukan dari masyarakat serta menghargai hak-hak wanita, di antaranya masalah jilbab, Macron menjadi penyejuk suasana bagi umat Islam sedunia yang kini tengah dilanda kegusaran akibat kondisi mereka di berbagai belahan dunia yang masih tertimpa ketidakadilan. (efs)
Referensi:
Koran Tempo, 26 April 2017
Republika, 8 Mei 2017
Ilustrasi: freefoto.com