Pentingnya Semangat Keihlasan Guru

Artikel () 23 November 2016 14:35:14 WIB


Pentingnya Semangat Keihlasan Guru

Oleh : Arzil

Setiap orang pasti sepakat kalau seorang guru harus menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat. Bukahkah guru itu digugu dan ditiru. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru juga harus sejati dan revolusioner.

Artinya, yang perlu disoroti di sini juga semangat guru dalam mengemban tugas mulianya.Terlebih terkait dengan adanya wacana baru, bakal ditariknya pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten kota kepada provinsi.

Dengan kata lain, adanya wacara tersebut, mau tak mau faktor ini akan mempengaruhi jiwa dari sang pengajar. Salah satu misalnya, bila selama ini mereka dengan sikap teladan yang dimiliki mengajar pada salah satu SMA/SMK hingga belalasa tahun lamanya, namun dengan wacana pengalihan pengelolaan itu, bisa-bisa diantara mereka pindah mengajar pada sekolah lain serta pada daerah lain pula.

Ini disebabkan kewenangan mereka bisa mengajar pada suatu sekolah diatur oleh provinsi, dan bukan lagi pemerintah kabupaten kota. Pengalihkelolaan SMA/SMK bukan tanpa dasar. Yang menjadi dasarnya yaitu huruf A lampiran Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi “pemerintah provinsi mengelola pendidikan menengah dan pendidikan khusus.”

Lalu penjelasan Pasal 22 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016, yaitu yang dimaksud dengan ‘Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan bidang pendidikan’ adalah Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan bidang pendidikan, sub urusan manajemen pendidikan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dan pendidikan khusus.

Pasca disahkannya undang-undang tersebut, Kemdikbud pun sudah melakukan berbagai persiapan pengalihan pengelolaan SMA/SMK dari pemkab/pemkot ke pihak provinsi.

Sebaliknya, terlepas dari persoalan wacana pengalihan pengelolaan itu, diharapkan peran dan fungsi guru tidak pula luntur atau lari dari kodratnya, yakni sebagai seorang pendidik. Semangat guru dalam mengemban tugas mulianya justru terus dibangkitkan.

Agar dengan adanya semangat itu, tetap didapatkan prediket guru sejati dan punya semangat keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik anak bangsa. Jangan memposisikan diri sebagai guru “aspal” yang berorientasi pada “rupiah” belaka, yang muncul akibat wacara pengalihan pengelolaan kewenangan SMA/SMK tersebut.


Era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya diperoleh dari tugasnya sebagai guru di lembaga pendidikan. Di sisi lain munculnya wacana pengalihan pengelolaan semakin menjadikan guru salah niat dalam mengajar.

Padahal wacana tersebut seharusnya menjadikan guru lebih kreatif, inivatif, dan profesional dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan sekedar mengejar rupiah. Oleh karena itu, hal ini harus segera diluruskan.

Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru yang pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan semangat bagi siswanya. Inilah yang disebut dengan “kemampuan puls-plus” yang jarang dimiliki oleh guru.

Bahkan banyak guru killer yang ditakuti siswanya, guru yang selalu memakai metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis), guru yang mengajar ala kadarnya, banhkan guru yang centil/gatal kepada sisiwinya, dan masih banyak contoh lainnya. Inilah yang perlu dibenahi, jangan sampai guru aspal merusak pendidikan di negara ini.

Apakah cukup dengan itu, guru menjadi penentu pendidkan di negara ini? Tentu tidak, yang tak kalah urgen adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh dengan motivasi tinggi dengan semangat memajukan pendidikan Indonesia. Dan menurut asums saya, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.

Pertama, dia selalu mengajar penuh rasa ikhlas tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh kesejahteraan, tetapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.

Kedua, memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Artinya, bagai mana mungkin siswa akan bersikp disiplin kalau gurunya tidak. Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tidak sekedar menjadi manusia berilmu, akan tetapi juga beriman dan beramal. Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekedar “menjadi apa” (to be), tapi yang lebih penting adalah “berbuat apa” (to do).

Inilah yang harus ditanamkan kepada siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan aspal. Maka dari itu jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan aspal. Bagaimana menurut Anda? (***)