Sukuk Tabungan dan Sukuk Ritel

Sukuk Tabungan dan Sukuk Ritel

Artikel () 12 September 2016 03:33:22 WIB


Beberapa waktu lalu pemerintah menawarkan surat berharga dalam rangka mendukung pembangunan kepada masyarakat luas. Kali ini surat berharga yang ditawarkan sesuai dengan prinsip syariah. Jika surat berharga yang ada sebelumnya dikenal dengan obligasi, maka surat berharga dengan sistem syariah ini disebut sukuk.

Pada tahun 2016 ini pemerintah mengeluarkan sukuk ritel dan sukuk tabungan. Sukuk tabungan adalah surat berharga yang terakhir dikeluarkan. Beda sukuk tabungan dengan sukuk ritel adalah jumlah nominal yang dapat dibeli oleh individu atau masyarakat. Pada sukuk tabungan, dengan uang 2 juta rupiah seseorang sudah bisa memiliki sukuk tabungan. Imbal hasil yang ditetapkan adalah setara dengan margin 6,9 persen, dan pajaknya sebesar 15 persen. Jika kita memiliki tabungan di bank, baik syariah maupun konvensional, bagi hasil atau bunga yang didapatkan akan dikenakan pajak sebesar 20 persen. Maka sukuk tabungan ini pajaknya lebih kecil dari tabungan biasa.

Sedangkan sukuk ritel, jumlah nominal yang dapat dibeli oleh individu adalah minimal 5 juta rupiah. Imbal hasil yang ditetapkan adalah di kisaran 8 persen, dan pajaknya sebesar 15 persen. Pajaknya lebih kecil dari pajak deposito maupun tabungan yang sebesar 20 persen. Masa berlaku sukuk ritel adalah selama 3 tahun, dan sukuk tabungan selama 2 tahun. Bagi yang ingin menyimpan dananya selama 3 atau 2 tahun sekaligus berinvestasi, maka sukuk ritel dan sukuk tabungan bisa menjadi alternatif.

Sukuk ritel dan sukuk tabungan adalah instrumen investasi yang bisa dimiliki oleh individu, lebih khusus lagi adalah mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah. Sukuk ritel diterbitkan setiap tahun sekali. Sedangkan sukuk tabungan baru tahun 2016 ini diterbitkan.

Berdasarkan pemberitaan di Bisnis Indonesia (6/9/2016) permintaan sukuk tabungan melebihi target indikatif Rp2 triliun, yaitu Rp2,59 triliun. Upaya pemerintah memperluas basis investasi di kalangan menengah bawah bisa dikatakan cukup berhasil.

Jika dilihat dari jumlah nominal yang dibeli oleh investor dan persentasenya, jumlah Rp2 juta hingga Rp50 juta jumlahnya sebesar 47 persen dari total investor. Rp52 juta hingga Rp100 juta sebesar 18 persen. Rp102 juta hingga Rp500 juta sebesar 27 persen. Dan Rp502 juta hingga Rp1 miliar sebesar delapan persen. Total investor yang membeli sukuk tabungan dari 31 provinsi di Indonesia adalah 11.338 investor, di mana 5.329 investor individu membeli sukuk tabungan dalam rentang Rp2 juta hingga Rp50 juta.

Sukuk atau surat berharga syariah negara (SBSN) per September 2016 nilainya sudah mencapai Rp158,4 triliun. Jika digabung dengan total surat berharga negara (SBN) bruto sebesar Rp533,8 triliun, maka porsi SBSN ini sudah mencapai 29,7 persen.

Untuk tahun 2016, pemerintah mengeluarkan savings bond ritel (SBR), sukuk ritel (SR), sukuk tabungan (ST), dan obligasi negara ritel (ORI). Keempatnya adalah SBN ritel yang diterbitkan pemerintah dengan tujuan memperluas basis kepemilikan oleh individu.

Sosialisasi

Nilai rata-rata pembelian sukuk tabungan (ST) di tahun 2016 ini adalah Rp228 juta. Sedangkan nilai rata-rata pembelian obligasi ritel Indonesia (ORI) sebesar Rp554 juta. ORI adalah SBN yang menerapkan bunga, berbeda dengan ST yang menerapkan prinsip syariah.

Dengan melihat perbandingan ST dan ORI, kita bisa menyimpulkan bahwa peminat SBSN masih lebih sedikit dibanding peminat ORI. Namun dari segi potensi, ST maupun SR berpeluang tumbuh lebih besar seperti halnya pertumbuhan perbankan syariah.

Yang perlu digencarkan adalah sosialisasi. Sosialisasi selama ini di satu sisi mungkin sudah dilakukan secara maksimal oleh pihak-pihak terkait. Namun sosialisasi tersebut belum bisa diterima oleh masyarakat secara maksimal, terutama masyarakat yang menginginkan transaksi keuangannya berbasis prinsip syariah.

Selama ini, jika dibandingkan investasi keuangan syariah dengan pangsa pasar perbankan syariah, pelaku investasi keuangan syariah jumlahnya masih lebih kecil dibanding pelaku di pasar perbankan syariah. Dan pelaku di pasar perbankan syariah sejauh ini jumlahnya dibanding jumlah umat Islam di Indonesia masih sedikit.

Sementara itu, pelaku atau nasabah bank syariah sendiri juga masih banyak yang belum mengetahui berbagai akad atau jenis transaksi yang ada di bank syariah. Nasabah yang hanya mengkhususkan dirinya dalam menabung, juga belum tentu paham bagaimana akad yang ada dalam tabungan seperti akad mudharabah dan wadiah. Mereka hanya tahu bahwa menabung di bank syariah akan ada bagi hasil. Namun mereka tidak tahu bahwa tabungan mereka dengan akad mudharabah atau wadiah, bagaimana bagi hasil didapat. Jika motivasi dasarnya hanya baru sebatas menghindari bunga atau riba, memang patut dihargai, namun sebenarnya tidak cukup berhenti di situ saja.

Bagi nasabah yang lebih melek lagi, mereka akan menggunakan deposito di bank syariah karena bagi hasil yang didapat lebih besar dari bagi hasil tabungan. Dan bagi yang lebih melek informasi lagi, mereka akan menaruh dananya di sukuk ritel atau sukuk tabungan, di mana di sini pajak sukuk ritel dan sukuk tabungan (15 persen) untuk bagi hasilnya lebih rendah dari deposito maupun tabungan (20 persen).

Dengan mengetahui hal seperti ini, maka bisa dilihat bahwa untuk mereka yang sudah berinteraksi langsung di sektor keuangan syariah, seperti nasabah bank syariah, belum mendapatkan informasi maupun sosialisasi yang memadai mengenai tranksaksi di sektor keuangan syariah.

Akibatnya kemajuan atau dinamika sektor keuangan syariah masih belum memberikan pengaruh yang besar. Meskipun di satu sisi terjadi pertumbuhan yang menggembirakan di sektor keuangan syariah, namun di sisi lain sosialisasi yang dilakukan masih belum bisa mengejar besarnya pertumbuhan di sektor keuangan syariah ini.

Maka, ke depannya harus ada pihak tertentu yang memikirkan bagaimana sosialisasi terhadap sektor keuangan syariah ini setiap tahun semakin meluas di masyarakat dan mampu memberikan kesadaran tentang pentingnya berinvestasi di sektor keuangan syariah sebagai bagian dari partisipasi dalam pembangunan.

Sosialisasi sukuk ritel dan sukuk tabungan juga mesti digencarkan karena pemerintah sudah membuka diri kepada masyarakat terutama individu kelas menengah ke bawah untuk ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan dengan memiliki sukuk ritel dan sukuk tabungan yang merupakan salah satu bentuk investasi yang aman dan dilindungi serta dijamin pemerintah. (efs)

Foto: Print Screen Koran Bisnis Indonesia edisi 6 September 2016