MERANTAU

MERANTAU

Artikel () 29 Agustus 2016 16:27:23 WIB


MERANTAU

Oleh : Teguh Gunung Anggun

 

Sebagaimana kari India, rendang pun merupakan kuliner yang mengembara bersama pemiliknya. Kari menyebar lewat pedagang India, dari masa lalu dan buruh - buruh India yang dipekerjakan Inggris diseluru perkebunnya di tanah jajahan, mulai dari Malaysia hingga Afrika pada abad ke – 19. Rendang menyebar kemana – mana lewat orang Minang yang konon mulai merantau sejak abad ke – 6.

Moctar Naim dalam buku Merantau, Pola Migrasi Suku Minang (1984) mencatat, perantau Minang bergerak dari pusat Minagkabau di Luhak Nan Tiga, yakni Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota ke sepanjang pesisir barat Sumatera dan pesisir timur. Adapula yang merantau hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia. Ketika merantau masi dalam konteks mencari daerah koloni dan daerah dagang.

Gelombang merantau yang bersifat individu baru terjadi pada abad ke -19 dan 20 seiring berkembangnya daerah perkotaan di pesisir Sumatera. Apalagi Belanda membangun jaringan jalan serta komunikasi yang memudahkan perantau Minang pergi merantau dari kampungnya ke Kota. Para perantau datang tidak hanya berdagang tetapi juga bersekolah.

Gerakan merantau maka makin masif sejak pengakuan RI dan kembalinya Ibukota dari Jogyakarta ke Jakarta tahun 1950. Saat itu muncul kebutuhan Staf dan Pegawai untuk mengisi kementrian dan departemen, biro serta perkantoran pemerintah. Orang –orang Minang sejak abad ke – 19 mengecap akses pendidikan terbaik di Nusantara seperti hal nya, orang Kato, Toba, Mandailing, Toraja dan Minahasa berbondong – bondong datang ke Jakarta untuk mengisi posisi Birokrat, Ulama dan Guru.

Ketua BKKBN sekaligus Ketua Yayasan Pembangunan Lintau Buo Fasli Djalal bercerita, ayahnya termasuk orang Minang yang ikut merantau pada periode itu untuk menjadi guru agama. Pada saat itu perantau Minang juga banyak terserap pada perusahan – perusahan negara hasil nasionalisasi. Ada pula yang menjadi dokter ahli hukum dan pengusaha.

Puncak gerakan merantau terjadi pasca pemberontakan PRRI tahun1958. Pemerintah pusat memadamkan pemberotakan tersebut dan menduduki Kota – kota di Sumatera Barat “ Siapa pun (Orang Minang) dicurigai dan di awasi gerak geriknya oleh tentara. Akses bekerja sebagai Birokrat ditutup.

Dari pada hidup tertekan dikampung, akhirnya anak muda sampai orang tua yang berpendidikan pergi meninggalkan Minangkabau, “ kata Gusti Asnan.“ Kalau pada periode sebelumnya orang merantau untuk mengasah hidup, yakni menuntut ilmu dan mengabdi pada Negara, setelah PRRI orang Minang merantau untuk melanjutkan hidup” tambahnya.

Itu sebabnya apapun pekerjaan dirantau orang Minang selalu mengincarnya. Meski sebagian dari mereka menjadi pedagang agar bisa hidup lebih merdeka. Tahun 1970 – an , kata Muhamad Nur, pekerjaan disektor informal yang digemari antara lain menjadi tukang jahit di Jakarta. Mengapa ? sebab menjahit kerika itu masih dianggap menjadi barang mewah di kampung – kampung. “ Kalau perantau sudah bisa untuk membeli mesin jahit sudah dianggap hebat”, kata Mahmud.

Perantau Minang banyak yang terjun ke bisnis tekstil. Tidak heran hingga kini mereka mendominasi pusat – pusat pedagangan tekstil di Jakarta, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jati Negara dan Pasar Benhil. Ada pula yang terjun ke bisnis percetakan, Hotel, barang antik, keuangan, dan yang paling membuka warung Nasi Padang. (Elfindra, Ayunda, Saputra : Minang Enterpreneurship, 2010).

Migrasi secara besar – besaran membuat jumlah penduduk Sumbar turun sangat drastis. Data Sensus 1930 menunjukan, penduduk Sumbar yang tinggal diluar kampung halamanya ketika itu mencapai 211.000 orang yang tersebar di Jambi, Riau, Sumatera Timur dan Malaysia (tidak termasuk Negeri Sembilan). Tahun 1977 angka itu melonjak menjadi 44 %.

Berdasarkan sensus 1971, jumlah penduduk yang tersisa di Sumatera Barat saat itu 2.788.388 orang. Artinya, jumlah penduduk dari Sumbar tidak jauh dari angka itu. Mereka tersebar di sejumlah daerah terutama Jabodetabek. Tahun 2000, jumlah penduduk yang ber etnis Minang di Jabodetabek mencapai 429.205 orang. Sepuluh tahun kemudian, jumlah mereka bertambah jadi 529.888 orang. (TGA).