Percepatan Anti Korupsi bagi Aparatur Sipil Negara

Percepatan Anti Korupsi bagi Aparatur Sipil Negara

Artikel Badan Pendidikan dan Latihan(Badan Pendidikan dan Latihan) 27 Maret 2016 19:07:33 WIB


Oleh : Alfian Jamrah

Widyaiswara Ahli Madya Bandiklatprov Sumbar

 

Abstract

 

       Tindak pidana korupsi adalah salah satu dari tiga tindakan subversif yang sangat menghantui pemerintah dan masyarakat Indonesia, dua lainnya adalah tindak pidana penyalahgunaan narkoba dan tindak pidana teroris.  Namun korupsi membawa dampak yang sangat besar bagi keuangan negara dan tingkat kesejahteraan masyarakat.  Kini korupsi telah merongrong bangsa ini hingga ke akar-akarnya sehingga bisa membuat negara jadi bankrut.  Maka para koruptor dapat disebut sebagai penjajah dari dalam negeri atau penjajah saudara sendiri.

       Pemerintah telah melaksanakan berbagai macam kegiatan untuk percepatan pemberantasan korupsi, bukan sekarang saja tetapi telah sejak tahun 1950-an dengan membentuk bermacam-macam lembaga ad-hoc pemberantasan korupsi.  Terakhir adalah lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memback-up peran Kejaksaan dan Kepolisian.  Kemudian Pemerintah juga telah menjatuhkan hukuman berat dan pemiskinan para koruptor guna menimbulkan efek jera bagi calon pelaku lainnya.  Ironisnya tindak pidana korupsi tidak berkurang, tapi malah terus berkembang.  Ibarat gunung es, ternyata lebih besar isinya di bawah air daripada yang terlihat di permukaan.

       Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah salah satu unsur terpenting dalam menggerakkan pemberantasan tindak pidana korupsi dan memasyarakatkan sikap anti korupsi.  Hal ini disebabkan posisi ASN yang sangat strategis sebagai pemegang kekuasaan dan punya wewenang mengatur keuangan negara.  Maka diharapkan pemberantasan korupsi dan anti korupsi dimulai dari diri ASN sendiri.  Kemudian baru menularkannya pada unsur lainnya.

 

Keywords : Anti Korupsi, Aparatur Sipil Negara, Tunas Integritas

 

 

 

  1. Kedudukan Penting ASN

       Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pada 15 Januari 2014, yang bertujuan untuk melahirkan aparatur pemerintah yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat. Kemudian juga diharapkan untuk dapat membentuk ASN yang mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

       Namun peraturan sebelumnya masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang, sebagaimana termaktub pada pasal 139 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014.  Peraturan sebelumnya adalah : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.  Artinya  dengan lahirnya undang-undang tentang ASN tersebut akan dapat membentuk pegawai pemerintah yang lebih berkualitas, benar-benar dapat mengayomi dan memberikan pelayanan pada masyarakat.

       Untuk mewujudkan tujuan Nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukn kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” , maka dibutuhkan Pegawai ASN yang profesional.  Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan pelayanan publik, tugas pemerintahan dan tugas pembangunan tertentu.  Ketiga tugas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan  Pegawai ASN,
  2. Tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan,
  3. Tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi  dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan ksejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

Dari tiga macam tugas tersebut pada dasarnya ASN adalah sebagai pelayan masyarakat atau yang memberikan pelayanan pada masyarakat disamping sebagai abdi negara dan pegawai pemerintah.  Sebaliknya ASN bukanlah pihak yang dilayani dan bukan yang mengambil keuntungan dari pelaksanaan tugasnya.

       Menurut Undang-Undang Nomor   5 Tahun   2014 tentang Aparatur Sipil Negara disebutkan bahwa Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah   dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah.  Pegawai Aparatur Sipil Negara  (Pegawai ASN) diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau  diserahi  tugas  Negara  lainnya  dan  digaji  berdasarkan  peraturan perundang-undangan. 

       Dalam menjalankan perannya sebagai pelayan publik  yang  diberikan  pemerintah  kepada masyarakat, sehingga sering  dijadikan indikator keberhasilan suatu sistem penyelenggaraan  pemerintahan.  Reformasi Nasional tidak akan ada artinya apabila pelayanan publik ternyata masih buruk. Apalagi dalam rangka mewujudkan good governance dimana akuntabilitas  menjadi  salah  satu  prinsip  yang  harus  dikedepankan  dalam penyelenggaraan  pemerintahan  oleh  ASN  secara prima yang tidak bisa ditunda-tunda.

       Selama ini tingkat kepercayaan  masyarakat  pada  ASN cenderung negatif (malas, korup, kurang melayani, tidak produktif, dan lain sebagainya) membutuhkan reformasi/perubahan terhadap pola pikir yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. Reformasi birokrasi membutuhkan reformasi mendasar yang harus dilakukan terlebih dahulu, yakni reformasi pola pikir (mindset) yang terbentuk karena  peristiwa masa lalu yang sangat membekas, baik bersifat positif maupun negatif.  

       Oleh  karena  itu  ASN  harus  selalu  mengedepankan  konsep  diri, antara lain 1.Bekerja sebagai Ibadah, 2.Menghindari sikap tidak terpuji, 3.Bekerja secara profesional, 4.Berusaha meningkatkan kompetensi dirinya secara terus menerus,  5.Pelayan dan pengayom masyarakat, 6.Bekerja berdasarkan peraturan yang berlaku, 7.Tidak rentan terhadap perubahan dan terbuka serta bersikap realistis, 8.Mampu bekerja dalam tim, dan 9.Bekerja secara professional.

 

 

 

 

  1. Penyebab Tindak Pidana Korupsi

       Korupsi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan :  “penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keperluan pribadi”.  Sedangkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pengertian korupsi adalah : “Tindakan melanggar hokum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.

       Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bankrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Mulai dari lingkungan sekolah sudah banyak ditemui praktek-praktek korupsi, seperti yang paling sederhana adalah mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang pembangunan sekolah.

       Korupsi berasal dari bahasa Latin : corruptio atau corruptus. Dari bahasa Latin itulah turun ke bayak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt,  Perancis yaitu corruption, dan Belanda yaitu corruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. Kata korupsi juga  berarti buruk, rusak, suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.

       Menurut Abdullah Hehamahua, salah seorang Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyebab terjadinya korupsi di Indonesia adalah  :

  1. Sistem penyelenggaraan negara yang keliru, seharusnya prioritas pembangunan itu bidang pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan difokuskan di bidang ekonomi. Padahal semua negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki uang, SDM dan teknologi. Konsekuensinya semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya menghasilkan penyebab korupsi yang kedua,
  2. Kompensasi PNS yang relatif rendah disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi maka secara fisik dan kultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga sekitar 90% PNS melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),
  3. Pejabat yang serakah dan pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan kapitalistik yang mendorong para pejabat untuk menjadi kaya secara mendadak,
  4. Law enforcement tidak berjalan karena pejabat penegak hukumnya sendiri ada yang korup, bagaimana mungkin akan menegakkan hukum yang berarti menghukum dirinya sendiri,
  5. Hukuman yang ringan terhadap koruptor dan oknum aparat penegak hukum bisa  dinegosiasi sehingga tidak menimbulan efek jera bagi koruptor,
  6. Pengawasan yang tidak efektif,
  7. Tidak ada keteladanan pemimpin,
  8. Budaya masyarakat yang kondusif terhadap KKN yang telah tumbuh kembang.

       Kemudian unsur-unsur subjektif pelaku korupsi tersebut yang terjadi selama ini adalah : 1.Setiap orang perorangan atau termasuk korporasi. (Pasal 1 angka 3 UUPTPK), 2.Penyelenggara Negara atau pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau judikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 1 UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN)

       Sedangkan penyelenggara Negara adalah : 1.Pejabat Negara dalam Lembaga Negara, 2.Menteri, 3.Gubernur atau wakil pemerintah pusat di daerah, 4.Hakim, di semua tingkat pengadilan, 5.Pejabat Negara yang lain : Dubes, Wk Gubenur, dan Bupati/Walikota, dan 6.Pejabat yang memiliki fungsi strategis, yang rawan praktek KKN), yaitu : direktur/komisaris, dan pejabat struktural lainnya di BUMN/BUMD, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan perguruan tinggi, pejabat eselon I, jaksa, panitera pengadilan, serta pimpinan dan bendaharawan proyek (pasal 2 UU No 28 tahun 1999).

       Di samping itu subjek pelaku korupsi adalah Pegawai Negeri yang meliputi :

  1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU Tentang Kepegawaian. Pasal 1 angka 1 UU No 8 Tahun 1974 jo UU No 43 Tahun 1999 : Setiap WNI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan , diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UU No 8 Tahun 1974 jo UU No 43 Tahun 1999 : Pegawai Negeri terdiri dari : 1). PNS Pusat dan PNS Daerah, 2). Anggota TNI, dan 3). Anggota POLRI
  2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU Hukum Pidana;
  3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
  4. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah ; atau
  5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. (Pasal 1 angka 2 UUPTPK)

Sedangkan korporasi sebagai pelaku korupsi mencakup pula :

  1. Kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi baik yang berbentuk badan hukum ;
  2. Kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi yang bukan berbentuk badan hukum;
  3. Kumpulan orang yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum
  4. Kumpulan orang yang terorganisasi yang bukan berbentuk badan hukum
  5. Kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum
  6. Kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang bukan berbentuk badan hukum

       Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 memberikan ketentuan subjek dan objek tindak pidana korupsi. Undang-Undang ini juga merumuskan definisi korupsi secara gamblang yang telah dijelaskan dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut korupsi dirumuskan dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis delik tindak pidana korupsi, yang dikelompokkan dalam 7 (tujuh) kelompok. Ke tujuh kelompok tindak pidana korupsi tersebut ialah : 1.Kerugian keuangan negara, 2.Suap menyuap,  3.Penggelapan dalam jabatan, 4.Pemerasan, 5.Perbuatan curang, 6.Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Gratifikasi.

       Selain 30 (tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) juga memuat 6 (enam) tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.  Sedangkan keenam tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi ialah : 1.Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, 2.Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan tidak benar, 3.Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, 4.Saksi atau akhli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, 5.Orang yang memegang rahasia jabatan, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, 6.Saksi yang membuka identitas pelapor.

  1. Dampak Perilaku Tindak Pidana Korupsi

       Dampak perilaku dari tindak pidana korupsi dapat menjadi sebuah kesadaran  sehingga menimbulkan keinginan yang kuat untuk menghindari perbuatan korupsi.  Bahkan lebih jauh lagi juga dapat membangun kepedulian untuk mengajak dan membangun sistem lingkungan berintegritas, agar semakin banyak orang yang terhindarkan dari tindak pidana korupsi.  Setiap ASN diharapkan mampu menyadari dampak perilaku  dari tindak pidana korupsi, yaitu dengan cara : 1.Menjelaskan berbagai dampak dari perilaku dan tindakan korupsi, 2.Memahami pengertian korupsi, 3.Mengenali delik-delik tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia, 4.Mempunyai niat, semangat dan komitmen melakukan pemberantasan korupsi, dan 5.Membuat impian Indonesia yang terbebas dari korupsi.

       Di balik semua kerusakan-kerusakan yang terjadi selalu ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi, seperti antara lain : 1.Fenomena tentang kerusakan hutan dan lingkungan, 2.Fenomena tentang bangunan yang cepat rusak, 3.Fenomena penegakkan hukum yang tidak dapat tergak dan berlaku adil, 4.Fenomena layanan yang lama, sulit dan birokrasinya panjang, 5.Fenomena merebaknya narkoba, 6.Fenomena negara dengan sumber daya alam yang melimpah namun tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, dan lainnya.

       Beberapapa akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh sikap korup adalah sebagai berikut :

  1. Korupsi mengurangi efisiensi biaya penyelenggaraan negara karena banyaknya pos-pos anggaran yang digerogoti oleh para koruptor untuk keuntungan pribadi,
  2. Korupsi menyebabkan kenaikan biaya administrasi. Seberapa jauh pelipatgandaan biaya tambahan tergantung pada kemampuan pasaran. Orang-orang yang sekaligus menjadi wajib pajak dan dipaksa untuk memberi sogokan, menjadi berlipat ganda membayar untuk suatu jasa negara,
  3. Jika korupsi terjadi dalam bentuk komisi, akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum. Ini merupakan pengalihan sumber-sumber kepentingan umum untuk keperluan perorangan. Contohnya, seorang pejabat pemerintah menyetujui suatu proyek atau kontrak dengan harga tertentu, tetapi menerima komisi 10% sebagai balas jasa penyetujuan kontrak tersebut, maka dana yang terpakai untuk kepentingan umum tinggal 90% karena yang 10% telah menjadi keuntungan pribadi,
  4. Korupsi berpengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintah, karena korupsi dapat menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai yang tinggi sehingga moral dan akhlak merosot karena sebagian orang tidak lagi mengindahkannya,
  5. Korupsi menurunkan martabat pejabat dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap tindakan adil pemerintah,
  6. Korupsi menyebabkan keberpihakan pejabat pada kepentingan orang yang memberikan sogokan dan kurang keberpihakannya kepada kebenaran dan kepetingan masyarakat,
  7. Korupsi bisa menimbulkan fitnah, dakwaan-dakwaan serta sakit hati yang mendalam, sebab orang-orang yang tidak mau berbuat korupsi boleh jadi akan dituduh di depan umum oleh temannya sendiri sang koruptor yang sesungguhnya,
  8. Korupsi mempengaruhi keputusan karena dipertimbangkan berdasarkan uang pelicin dan bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat.

 

 

  1. Niat, Semangat dan Komitmen Anti Korupsi ASN

       Aparatur Sipil Negara adalah garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, karena ASN yang berhubungan lansung dengan penggunaan keuangan negara.  Dapat atau tidaknya korupsi diberantas atau dikurangi tergantung dari niat, semangat dan komitmen setiap ASN sebagai penyelenggara negara. Untuk percepatan pemberantasan korupsi tersebut, maka ASN berfungsi sebagai tunas integritas atau cikal bakal yang yang akan tumbuh untuk menerapkan anti korupsi.

       Tunas integritas adalah terjemahan dari konsep yang berprinsip bahwa manusia sebagai faktor kunci perubahan.  Dan pendekatan yang seutuhnya terkait manusia sebagai makhluk dengan aspek jasmani dan rohani, serta sebagai makhluk sosial yang harus berintegrasi dengan lingkungannya.  Maka pembangunan integritas perlu dimulai dari upaya membangun integritas individu yang selaras dengan integritas organisasi dan bangsa.

       Faktor manusia sebagai kunci perubahan  mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia dipandang sebagai pembenahan permasalahan akhlak/moral.  Konsep manusia sebagai faktor kunci keberhasilan bukan berarti menafikan faktor lainnya, apalagi jika memperhatikan korupsi  yang telah menjadi kejahatan yang luar biasa, maka perlu dilakukan pemberantasan secara terintegrasi.  Maka pembenahan akhlak/moral berarti membangun integritas individu dan budaya anti korupsi serta membangun sistem berintegritas.

       Setelah mempelajari bagian ini, maka peserta diharapkan mampu : (1) Menjelaskan tunas integritas dalam pemberantasan korupsi, (2) Menentukan nilai anti korupsi yang paling signifikan bagi peserta dan instansi tempatnya bekerja.  Maka konsep tunas integritas ini memastikan tersedianya manusia-manusia yang melakukan upaya peningkatan integritas diri dan lingkungannya dengan membangun sistem yang kondusif.

       Peran ASN sebagai tunas integritas yang diharapkan adalah :

  1. Menjadi jembatan masa depan kesuksesan organisasi, peserta menjadi kumpulan orang yang selalu terdepan untuk memastikan tujuan organisasi tercapai,
  2. Membangun sistem integritas, berpartisipasi aktif dalam pembangunan sistem integritas sehingga semua peluang korupsi dan penyimpangan lainnya dapat ditutupi,
  3. Dapat mempengaruhi orang lain, khususnya mitra kerja untuk berintegritas tinggi

      Setiap individu dan organisasi perlu mencapai keutuhan pribadi, pilar dan bangsa yang tercermin dalam implementasi nilai-nilai luhur bangsa dalam kehidupan sehari-hari.  Hal ini juga termasuk dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam organisasi, sehingga tujuan organisasi maupun pribadi tercapai dengan cara-cara yang bermoral/berakhlak.  Para tunas integritas tidak didorong untk membentuk budaya baru atau mengambil budaya dari luar Indonesia, tetapi melakukan re-framing budaya yang telah ada, yaitu menggeser dari kutub negatif ke kutub positif.  Dalam hal ini tetap memelihara kebiasaannya atau perilakunya secara otomatis.

       Para tunas integritas, selain didorong memiliki keikhlasan  dan kebijakan yang tinggi, juga diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan sebagai berikut :

  1. Re-framing kultur atau budaya agar perubahan budaya dapat lebih mudah dan cepat, serta tidak perlu  energi besar.  Atau dengan intilah semacam potong generasi.  Maka dibuka pelung pada seluruh elemen bangsa agar menjadi generasi yang berdiri paling depan dalam pemberantasan korupsi,
  2. Utilisasi Fenomena, yaitu perilaku otomatis bagi perubahan diri, keluarga, organisais dan bangsa, serta lebih jauh lagi dengan menciptakan peradaban yang lebih baik.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama para pakar telah melakukan identifikasi nilai-nilai dasar anti korupsi yang telah menghasilkan 9 (sembilan) nilai anti korupsi, yaitu : 1. Jujur, 2. Peduli, 3. Mandiri, 4. Disiplin, 5. Tanggungjawab, 6. Kerja keras, 7. Sederhana, 8. Berani, 9. Adil.  Sembilan macam nilai tersebut dapat disingkat dengan JULI MANDI WARAS SEBEDIL.

       Dalam sembilan nilai-nilai tersebut, maka diharapkan memilih tiga nilai-nilai dasar yang dianggab paling sesuai dan dapat diterapkannya pada diri, keluarga, kantor, lingkungan dan masyarakat.  Sembilan nilai adalah batas maksimal fokus manusia, dan akan semakin tenang dan mampu menginternalisasikannya dengan baik.  Sedangkan hasil maksimal sesuai gelombang otak ketenangan manusia apabila ada tiga hingga satu nilai yang lebih fokus.

       Selanjutnya setiap ASN hendaknya memiliki integritas yang kuat sebagai suatu proses sosial yang ditujukan untuk mengatasi korupsi di lingkungan kerjanya masing-masing.  Dengan demikian salah satu upaya perubahannya dapat dilakukan melalui tiga proses perubahan tersebut.  

  1. Kesediaan, yaitu kesediaan terhadap integritas (integrity compliance) adalah ketika individu bersedia menerima pengaruh untuk berintegritas dari orang lain atau dari kelompok lain, dikarenakan ia berharap untuk memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut.  Kesediaan semacam ini biasanya tidak berasal dari hati kecil atau hati nurani seseorang, tapi lebih merupakan cara untuk sekedar memperoleh reaksi positif, pujian dan dukungan.  Perubahan perilaku terkait integritas dengan proses kesediaan tidak dapat bertahan lama dan biasanya hanya tampak selama tersedia reaksi positif dari perilaku integritas.
  2. Identifikasi, yaitu identifikasi integritas terjadi apabila individu meniru integritas seseorang atau kelompok lain dikarenakan integritas sudah sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bentuk hubungan yang menyenangkan antara dia dengan yang memberikan pengaruh terkait integritas.  Proses identifikasi tidak hanya terjadi pada tatanan individu, tetapi bisa juga terjadi dalam usaha memelihara hubungan individu dengan kelompoknya, yang mengharapkan agar sama-sama berintegritas. Identifikasi dapat terjadi sekalipun integritas yang ditiru itu belum tentu sesuai dan memuaskan bagi individu yang bersangkutan.
  3. Internalisasi, yaitu internalisasi integritas terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap dan berperilaku dengan penuh integritas dikarenakan integritas tersebut sesuai dengan apa yang dipercayainya dan sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya.  Individu yang menenrima pengaruh integritas menjadi berintegritas dengan penuh kepuasan.  Kepuasan menjalani integritas membuat mereka dapat bertahan dari berbagai resiko dan akan tetap merasakan kebahagiaan atas pilihan berintegritas.  Pemahaman tentang pentingnya internalisasi integritas yang lebih permanen bertahan dalam diri seseorang, membuatnya mempunyai keinginan kuat untuk mempelajari beragam teknik yang diperlukan untuk melakukan internalisasi integritas.

Maka diharapkan semua ASN dapat menjadi pionir-pionir yang akan menggerakkan pemberantasan korupsi kantor tempatnya bertugas dan di lingkungannya masing-masing.  Inilah langkah-langkah penting yang dapat dilakukan setiap ASN untuk mempercepat menghapus semua tindak pidana korupsi, dan ASN-lah sebagai faktor yang sangat menentukan.

 

  1. Simpulan

            Dari tulisan ini dapat diambil beberapa butir kesimpulan sebagai berikut :

  1. Tindak pidana korupsi saat ini telah menjadi penyakit kronis yang meruyak menjalan ke seluruh tubuh pemerintahan.  Praktek korupsi tidak hanya dilakukan oleh kalangan pejabat tinggi, tetapi juga diperbuat oleh ASN pimpinan tingkat menengah dan bawah, bahkan juga oleh staf,
  2. Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi telah merusak tatanan budaya masyarakat yang membuat jatuhnya kredibilitas bangsa, menjadi penyakit yang turun temurun sehingga jadi sulit untuk diatasi,
  3. Mata rantai tindak pidana korupsi telah harus diputus sesegera mungkin agar tidak menjadi warisan bagi generasi selanjutnya   Indonesia telah harus melakukan reformasi total dalam penyelenggaraan keuangan negara agar penyakit korupsi tidak meruyak dan bisa dimatikan,
  4. Aparatur Sipil Negara adalah unsur utama dan terpenting dalam gerakan percepatan anti korupsi, karena ASN lah yang memegang kekuasaan dan kewenangan atas keuangan dan kekayaan negara.  Keterlibatan unsur lain dalam tindak pidana korupsi tentu tentu tidak dapat dipisahkan dari peran penting ASN itu sendiri,
  5. Setiap ASN hendaknya telah menjadi tunas integritas dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan membangun sikap anti korupsi.  Tunas integritas anti korupsi bukan hanya untuk membentengi diri sendiri, tetapi juga mempengaruhi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi.  Artinya ASN lah yang menyebarkan bibit-bibit positif anti korupsi di lingkungan kerjanya dan dalam kehidupan masyarakat.

 

Bahan Bacaan

Chaerudin, S.H., MH, Syaiful Ahmad Dinar, S.H. MH, Syarif  Fadilah, S.H., MH, Tindak Pidana Korupsi , Reflika Aditama, 2008,

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, 2006,

Ismantoro Dwi Yuwono, Para Pencuri Uang Rakyat, Daftar 59 Koruptor Versi KPK 2003 -2008,Pustaka Timur 2008,

Lilik MUlyadi, S.H. M.H. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Penerbit Alimni, 2007,

Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Rajawali Press, 2005,

R. Wiyono, S.H. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, 2006,