KEMBALI KA SILEK
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 11 Desember 2015 18:49:47 WIB
Catatan Pinto Janir
Bila ada yang mengatakan bahwa silek Minang hanya tinggal bunga, kita harus bertanya dulu, bunga yang dimaksudkan itu bunga yang kembang atau bunga yang tak sempat berbuah karena layu.
Tinggal bunga?
Mungkin itu artinya, silek Minang yang berkembang sekarang tak ‘semasak’ silek minang pada masa dahulu ke dahulu itu. Ketika guru silek memiliki 5 ilmu (kepandaian), guru ini menurunkan ke muridnya 4.Ketika murid menjadi guru, ia turunkan ke muridnya 3. Hingga akhirnya yang turun 1 kepandaian. Ketika murid memiliki satu kepandaian, ia turunkan ¾ kepandaian. Pada akhirnya, silek itu ‘lenyap’ yang tinggal bunga.
Dan untuk menggali ‘makam’ silek Minang yang terkubur, untuk melestarikan silek Minang itu, perlu adanya dilaksanakan sesegera mungkin kegiatan yang bertajuk “ Musyawarah Pandeka se Alam Minangkabau”.
SILAT DAN ALAM TERKEMBANG MENJADI GURU
Hati, akal dan pikiran membentuk ruang. Ia mewarnai masa atau peradaban. Alam mempengaruhi peradaban. Kebudayaan adalah kearifan yang mengaca kepada alam itu sendiri, sehingga ia menjadi apa yang disebut dengan “Alam Terkembang Menjadi Guru”.
Seni beladiri silat adalah bagian dari karakteristik bangsa Indonesia. Ia mengakar di tengah kehidupan masyarakat nusantara. Ia menjelma membentuk sesuatu yang sangat mentradisi. Kemudian menjadi bagian dari budaya. Silat adalah salah satu khasanah budaya Indonesia.
PENDEKAR DAN RIWAYAT PERJUANGAN BANGSA
Pendekar adalah penggiat beladiri seni silat. Silat bukan hanya sekedar kekuatan otot, melainkan kekuatan hati dan pikiran yang membentuk akal yang berkecendrungan memberlakukan kebenaran-kebenaran. Silat adalah salah satu kepandaian praktis untuk ‘hidup’. Karena ia memuat nilai-nilai mempertahankan diri dari segala ancaman. Silat berperan besar dalam kehidupan sosial dan spritual. Dalam kehidupan sosial, ia media perekat silaturahmi umat. Dalam zona spiritual, silat berfilsafat pada; lahir mencari kawan, bathin mendekatkan diri (mencari) Tuhan.
Untuk nusantara, pendekar ikut berperan besar mewujudkan dan berjuang untuk tegaknya negara kita tercinta, yakni Republik Indonesia. Hampir pada tiap daerah di Indonesia memiliki para pendekar melegenda yang ikut dalam perjuangan bangsa dan berkuah darah untuk Indonesia merdeka.
KETIKA SILAT TRADISI TERCERABUT DARI AKARNYA
Zaman makin tajam, peradaban makin maju. Bagai sebuah pisau, zaman menyayat. Bagai sebuah roda, ia berputar kencang sekali; kadang tak terikuti bila keinginan menaklukkan kebutuhan. Bila nafsu (keinginan) menjadi panglima, ia menjadi bisa atau racun. Tapi, bila manusia dipimpin oleh akal, maka ia menjadi obat penawar racun zaman yang mematikan atau meruntuhkan ketahanan manusia dari perlakuan-perlakuan yang mengingkari kehidupan sosial dan kajian spiritual.
Seiring zaman, silat tradisi mulai tercerabut dari akarnya sendiri, ia nyaris seperti terbiarkan tumbuh dari akar yang lain. Kita khawatirkan silat tinggal nama. Namanya saja yang silat, tapi akarnya sudah beda sehingga memunculkan putik-putik atau buah yang tak lagi seperti silat-silat yang tumbuh terdahulu di bumi Indonesia.
KUNGFU IDENTIK DENGAN CHINA
JEPANG IDENTIK DENGAN KARATE
INDONESIA HARUSNYA IDENTIK DENGAN SILAT
Ketika mana, China identik dengan kungfu, Jepang identik dengan karate, Indonesia juga semestinya harus identik dengan Silat.
Indonesia harus kembali bersilat. Silat yang benar-benar mengakar kepada tradisi dan gerak silat yang murni (orisinal) yang diturunkan tetua silat adalah sesuatu yang harus digali,dicari,dilestarikan kembali.
Silat harus identik dengan Indonesia, salah satu caranya menjaga kemurnian silat dari campur tangan dan pengaruh beladiri impor atau asing. Untuk itu, kita harus kembali pada silat tradisi, silat murni; bukan silat yang dipertandingkan dalam berbagai laga resmi. Karena, hakekat silat bukan untuk mencari atau menentukan siapa yang kalah atau siapa yang menang, tapi adalah mencari atau menegakkan siapa atau apa yang benar.
IA HANYA PERAHU DAUN BERPENDAYUNG ANGIN LALU ! catatan Pinto Janir
Ketika dia mengalami panik politik, ceracaunya mulai sesat. lebih-lebih ketika ia tahu wilayah hatinya makin menyempit, pikirannya mulai mengecil. Jurusnya mulai jurus mabuk, jurusannya seruduk sana seruduk sini; hingga ia terduduk dan sampai lupa pada diri sendiri.
Kali ini ia merasa punya hati karena tanpa ia sadari air matanya jatuh tak teduh-teduh. Sampai kering. Sampai pedih. Ketika tangisnya berhenti, mengedip pun ia tak mampu.
Kini ia jalang. Matanya terbudur. Hatinya mengerut. Jalannya pincang, padahal kakinya rata. Mungkin buminya yang senjang.
Yang tak pernah ia mengerti,bagaikan sebuah daun yang jatuh ia dendam pada angin, karena angin telah meniup inginnya. Dan ia belum siap menjadi daun jatuh di tanah yang kering. Kalaupun terpaksa ia siap-siapkan dirinya, ia minta pada angin untuk membujuk awan datang kemari . datanglah hujan. genangi tanah yang kering ini; dengan air, bukan dengan tangis.
Hujan benar-benar tiba. Ia yang telah menjadi daun, benar-benar hanyut. Kemudian ia ingin menjadi perahu, karena dia atas badan dirinya ada semut merah dan bangkai lalat hijau.
Ya, kini ia telah menjadi perahu daun berpenumpang semut dan bangkai. Pendayungnya, angin lalu. Muara yang ia tuju adalah tak tahu. Ia ingin benar sampai di laut di muara apa saja.
Tak peduli ia, yang penting ke laut !Ada apa di laut?
Laut adalah cakrawala yang luas. Ia penolak bangkai. Kalau ia turunkan bangkai di sini, ia belum sampai hati. Karena lalat itu pernah menolongnya dulu hingga berdarah-darah menjilati sampai lidahnya pasa. Apa yang bisa terjilat, ia sapu dengan lidahnya.
Biarlah laut yang menolaknya.
Kini ia berpikir bagaimana cara meninggalkan semut merah yang dulu pernah ia suruh-suruh untuk menggigit orang hingga pedih hingga gatal.
Bagaimana?
Ia terlalu sering menyerang kebaikan orang lain. Kini ia menyesal di tengah arus deras...karena ia hanya perahu daun berpendayung angin lalu...