Sekali Lagi, Indeks Kebahagiaan

Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 27 Oktober 2015 17:29:14 WIB


Data indeks kebahagiaan yang dirilis Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Barat kembali menimbulkan diskusi hangat dan polemik. Berita Resmi Statistik No 13/2/13 Th. XVIII tanggal 5 Februari 2015 itu ditanggapi dari berbagai sudut pandang dan berbagai persepsi oleh masyarakat, baik umum, kalangan perguruan tinggi, juga politisi.

Beberapa hari lalu data tersebut juga ditanggapi serius oleh tokoh Sumatera Barat yang berdomisili di rantau, yaitu Prof. Ahmad Syafii Maarif. Beliau menuliskan analisanya dalam bentuk artikel yang bertajuk “Pilkada di Sumatera Barat Tahun 2015”. Artikel tersebut diterbitkan di Harian Republika dan Republika On Line tanggal 18 Agustu 2015`

Pada alinea ke 2 artikel tersebut Prof. Syafii Maarif menulis : “Pertahana Irwan kelahiran Yogyakarta 20 Desember 1963 selama lima tahun jadi gubernur menyisakan fakta ini: dari sisi tingkat kesejahteraan masyarakat, Sumbar terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB.” Ditambahkan lagi pada alinea yang sama: “Sebagai seorang tokoh PKS, kata orang Irwan lebih banyak mengurus kepentingan partainya dari pada Rakyat Sumbar. Memang Ranah Minang lagi bernasib sial, sulit sekali memunculkan pemimpin pro-rakyat yang mau berjibaku membebaskan propinsi ini dari belitan dan lilitan kemiskinan.”

Dalam artikel tersebut dikatakan tingkat kesejahteraan masyarakat Sumatera Barat terjun bebas menjadi urutan ke tiga setelah Papua dan NTB. Namun sayangnya tidak disebutkan referensi apa yang beliau gunakan dalam mengemukakan data tersebut. Jika sumber referensi yang beliau gunakan adalah data Biro Pusat Statistik (BPS) Sumbar, maka mungkin informasi yang dimaksud adalah Indeks Kebahagiaan Sumatera Barat tahun 2014 yang dirilis BPS pada tanggal 5 Februari 2015.

Berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Sumatera Barat tersebut indeks kebahagiaan masyarakat Sumatera Barat tahun 2014 adalah sebesar 66,79 persen pada skala 0 -100. Ada 10 aspek kehidupan esensial yang diukur dalam survai tersebut. Diantara aspek yang diukur adalah Keharmonisan Keluarga diperoleh nilai 78,87 , Kondisi Keamanan 77,03, Keadaan Lingkungan 74,48, Hubungan Sosial 73,10 sedangkan Indeks Kebahagiaan untuk Ketersediaan Waktu Luang 69,42, Kesehatan 67,65, Pekerjaan 64,21, Kondisi Rumah dan Aset 63,92, Pendapatan Rumah Tangga adalah 61,43, Pendidikan 57,04.Rata-rata dari ke sepuluh aspek tersebut adalah 66,79.

Dari data di atas terlihat ada 5 parameter yang memperoleh nilai cukup tinggi, sedangkan 5 parameter lainnya memperoleh nilai relatif rendah. Pemahaman dan terjemahan yang berbeda-beda dari data inilah yang menimbulkan polemik dan diskusi hangat. Ada yang menerjemahkan bahwa ini adalah bukti bahwa pembangunan di Sumatera Barat gagal, kondisi Sumatera Barat saat ini sedang terpuruk, peringkat kesejahteraan masyarakat terjun bebas, sampai menjurus kepada gagalnya kepemimpinan dan buruknya kinerja Gubernur (Pemerintah Sumatera Barat) Sumatera Barat dan serentetan analisa panjang lainnya.

Padahal pada alinea ke dua bab Pendahuluan Berita Resmi Statistik No 13/2/13 Th. XVIII tersebut dijelaskan sebagai berikut: “Kebahagiaan merupakan hal yang dirasakan dan dipersepsikan secara berbeda oleh setiap orang, karena itu pengukuran kebahagiaan merupakan hal yang subjektif. Dalam hal ini kebahagian menggambarkan indikator kesejahteraan subjektif yang digunakan untuk melengkapi indikator objektif. “

Artinya persepsi seseorang tentang kebahagiaan bersifat subjektif, tergantung daerah, individu dan latar belakangnya. Di daerah A misalnya, rata-rata masyarakat di sana sudah merasa bahagia jika telah memperoleh pendidikan rata-rata SLTA. Tapi di Sumatera Barat masyarakatnya masih belum merasa puas meski telah berhasil menyelesaikan pendidikan S1, karena harapan mereka adalah bisa menyelesaikan pendidikan S2 atau S3. Di daerah B misalnya lagi, masyarakatnya sudah puas dengan bisa makan dengan lauk tahu dan tempe, tapi di Sumatera Barat masyarakatnya belum puas dan bahagia jika setiap hari tidak makan dengan lauk ikan, ayam atau daging sapi.

Karena persepsi yang berbeda dan subjektif inilah yang membuat indeks kebahagiaan suatu daerah tidak bisa dibandingkan atau diranking satu sama lain. Selain itu satu indikator indeks kebahagiaan saja tidak cukup untuk menilai apakah daerah tersebut sudah sejahtera atau belum sejahtera. Indeks Kebahagiaan ini juga belum bisa digunakan untuk memvonis suatu daerah mengalami kemajuan atau kemunduran karena data Indeks Kebahagiaan baru tahun ini dirilis, jadi tidak ada data pembanding tahun sebelumnya.

Bahwa kesejahteraan masyarakat Sumatera Barat tidak terjun bebas, justru meningkat, malah membaik dari tahun ke tahun dapat dilihat dari data statistik berikut: 1. Pendapatan per kapita penduduk meningkat dari Rp 17.290.000 per tahun pada tahun 2010 menjadi 32.600.000 pada tahun 2014, 2. Angka kemiskinan terus turun dari 79,44 % pada tahun 2010, 8,99 % pada tahun 2011, 8 % pada tahun 2012, 7,56% pada tahun 2013 dan 7,41 % pada tahun 2014. Angka pengangguran turun dari 7,14 % pada tahun 2011, 6,41 % pada tahun 2012, 6,41 % pada tahun 2013, 6,32 % pada tahun 2014 dan 5,99 % pada tahun 2015. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik dari 73,78 pada tahun 2010, 74,28 pada tahun 2011, 74,70 pada tahun 2012 dan 75,01 pada tahun 2014.

Data-data ini menunjukkan kenyataan yang berbeda dengan indeks kebahagiaan. Data resmi BPS ini juga menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak terpuruk, justru sebaliknya makin membaik dari tahun ke tahun. Selain itu Pemprov Sumbar juga telah memperoleh 201 penghargaan atas prestasi yang telah dicapai.

Tentang pernyataan Buya Syafii Maarif: “Sebagai seorang tokoh PKS, kata orang Irwan lebih banyak mengurus kepentingan partainya dari pada Rakyat Sumbar,” tidaklah beralasan. Sesuai dengan aturan partai, semenjak menjadi Gubernur, Irwan Prayitno langsung melepaskan jabatan strukturalnya di PKS, berbeda dengan sejumlah kepala daerah lain yang tetap menjabat ketua partai atau jabatan lainnya. Ia adalah seorang pekerja keras, sehari-hari ia bekerja dari rata-rata dari subuh hingga jam 12 malam. Sabtu dan Minggu juga digunakan sebagai hari kerja, terutama untuk rapat-rapat. Kunjungan langsung ke masyarakat tak terhitung jumlah. Untuk daerah-daerah terpencil yang tidak bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat ditempuh dengan sepeda motor trail, ada juga yang hanya bisa ditempuh dengan perahu, Irwan pun tak segan berkunjung ke sana. ***