Antara Oportunis Negatif dan Idealis
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 23 Juni 2015 03:01:03 WIB
Dia dan pikiran idealisnya dulu adalah masa lalu. Pada masa sekarang, dia dan pikirannya adalah kepentingan pribadi yang mengharu. Ia pemburu.Pemburu pengakuan. Bukan pengakuan massa atau masa, tapi pengakuan dari orang yang berkuasa. Sikap dan pikirannya seperti emas, padahal tak lebih dari suasa saja.
Sebenarnya, ia adalah kegelisahan yang rapuh. Itu yang membuatnya semakin senjang ; tapi ia berusaha tampak seperti lurus atau seimbang. Bila langkah pikirannya terendus pincang, lekas-lekas ia tunjuk lantai. Lantai melantun; tepat bersarang di kelambuainya. Ia terpekik meradang. Katanya, itu bukan jeritan; tapi dendang. Orang bilang, itu senjang dari hatinya yang pincang!
Ada dua telur tuanya. Yang satu sudah menjadi telambang, yang satu lagi sudah agak busuk. Telurnya yang agak busuk ini yang sering ia pandang-pandang. Tiap pagi, siang atau petang, ia angkat seorang. Mengangkat kebusukan itu berat; tak jarang ia libatkan orang lain.
Ketika telurnya ia angkat dengan tongkat usangnya, ia lupa mengisi uncang-uncangnya sendiri. Telur terangkat memang, namun apa daya uncang-uncangnya membuyur. Kerinyutnya, seperti kulit limau masik.
Ia klimaks sendiri!
Tanpa alasan, ia percaya saja, kalau suatu saat telur busuk atau telambangnya itu akan berubah menjadi batu akiak.
Pikiran dari seorang tak datar dari pengangkat telur itu kini sedang menunggu bulan purnama.Berharap cahaya bulan menjadi aroma pengharum pikiran dan sikapnya yang busuk. Semua ia darmakan, untuknya yang mulai grogi menghadapi kecerdasan telur yang lain yang terangkat sendiri.
Sebetulnya ia tak konyol-konyol amat, ia pejuang kebutuhan. Bukan kebutuhan ideologi bukan pula kebutuhan biologi tapi adalah kebutuhan yang berlembar-lembar yang bisa ditukar kapan saja dengan keinginannya. Maaf menyebut, kebutuhan biologinya sederhana, yakni asal menempel. itu baginya lebih dari cukup untuk sekadar keluar!
Kebutuhan ideologinya, lembaran yang ditempelkan dari tangan orang yang langsung masuk ke uncang-uncangnya yang tak berpelindung.
Kini pikirannya yang senja itu sedang mendudukkan bola malam.
Nanti pada pukul nol-nol ia kosongkan pikirannya. Dihadapan dua telur, berkemenyan harapan ia dududk bersila di atas punggung istrinya yang berkeridas sambil membacakan mantra-mantra pengangkat telur busuk!
Tongkat di tangan istri
telur dimantrai
bila tongkat tak terangkat
telur pecah pula
bagawa!
Ssst!
Untuk menjadi hebat, tak perlu menjadi ‘budak’ penjilat. Tunjukkan saja sesuatu itu dengan kesungguhan, dengan kemampuan, dengan keterampilan dan dengan segala pengabdian yang tulus, maka kita akan hebat sendiri. Tak perlu menjadi seorang oportunis negatif; tetaplah menjadi seorang idealis yang senantiasa berbuat dengan akal dan pikiran-pikiran....maka itulah jalan ‘karir’ yang benar!(Pinto Janir)