MIMPI BERKUASA MEMBANGUN PADANG

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 23 Juni 2015 02:58:50 WIB


 Ini misalnya saja, aku jadi walikota Padang. Ini permisalan pikiranku. Kalau akan menjadi masalah buatmu, maafkan aku satu dulu.

       Permisi tuan, sekali lagi, membenar aku ha,  misalkan aku jadi walikota Padang. 

       Begitu siang dilantik, aku tidur dulu. Karena sudah ada komitmen dengan wakil walikotaku, bahwa dia bertugas dari mulai Subuh hingga Magrib, sedangkan aku selepas maghrib hingga masuk Subuh. Kami dua shift. Aku dan wakilku sepakat melayani warga 24 jam.

 

Hal yang pertama aku lakukan adalah rapat tengah malam dengan sejumlah staf yang penting-penting saja dulu. Rapat tengah malam adalah rapat yang jujur. Maksudnya kalau staf mengantuk tengah malam sambil rapat itu biasa, tapi kalau staf mengantuk rapat siang hari; itu cimpurin namanya. Ohya, sebagai seorang yang mengerti dan paham dengan kebutuhan, maka rapat tengah malam ini tak boleh dilaksanakan pada hari kamih patang jumahaik atau malam jumat.  Aku tak mau memimpin kalau akan termakan pula hak orang dek ulah rapat, kan tidak asik itu. Sunnah yang akan ditinggalkan, berdosalah kita.

 

Ohya, Jumat aku jadikan hari libur, selebihnya kerja.

 

Isi rapat adalah membahas penyelamatan sekitar 500 ribu lebih jiwa masyarakatku yang terancam tsunami.  Apalagi pasca Nepal dihoyak gempa, lah bersijadi pula isu gempa besar itu menghoyak aku dan warga kotaku. Hingga gacarku bangkit pula kembali olehnya. Oleh isu 'kalera' itu. Maaf aku bercarut, karena perutku merumas oleh ulah isu galadir itu. 

 

 Akan bagaimana juga lagi, aku ini korban 'kejiwaan' isu gempa. Rumahku di pinggir pantai. Terdengar jelas debur ombak kemari. Sedikit gempa menghoyak, jantungku mau akan  karam , namuh tanggal sarawa dek lari dibuatnya. Itu dulu benar, sebelum aku jadi walikota. Karena pada akhirnya aku memilih tinggal di tempat yang agak tinggi. Tak tanggung-tanggung, aku bawa anggota keluarga berpindah massal ke kota Bukittinggi itu benar. 

Selesai urusan kejiwaanku. 

 

Baiklah, setelah mengopi, kubuka rapat ini dulu ndak...

Dan ingat, staf penjilat itu hanya akan bikin aku jijik. Staf berpuisi boleh. Staf penjilat kalau coba-coba pula meniru-niru bawaanku, caraku, apa-apa yang ada padaku, mengikur-ngikur tak berketentuan kepadaku, langsung saja aku hambus anak  telinganya sampai pekak.

 

Tim sukses yang dulu pernah berjasa padaku asal permintaannya tak aneh-aneh dan tak merugikan kepentingan warga yang aku cinta, pasti akan aku perturutkan kandaknya itu. Kalau akan ikut-ikut serta pula mempengaruhi kebijakanku, tentu akan aku kelesat burukkan di muka orang banyak. Ndak ke malu dia?

 

Biniku, tak boleh ikut-ikut campur pula urusan kebijaksanaanku. Urusannya soal D3 plus,  sajalah; Duit,Dapur dan Dharmawanita dan Kasur. Kerja pokoknya beranak ke beranak sajalah dan sekaligus membesarkan anak. Kalau ia ikut campur, aku gaham dengan cara mengatakan  akan berbini lagi. Ndak ke sakit hatinya tu?  Cara berbedak, berlipstik tak boleh tebal-tebal benar. Baju tak boleh ancak-ancak, bersulam-sulam mahal itu;aku larang orang rumah aku itu. Soalnya, baju rakyatku masih banyak yang cabik-cabik, buruk dan lusuh...Ha tak boleh pula bergelang gadang atau bercincin permata, kecuali batu akik. Bolehlah itu. 

 

" Coba awak bayangkan--sebagai walikota baiknya aku berawak--tak enak bila beraden atau berwa-ang---apa jadinya bila warga kota selalu terancam dalam kecemasan. Maaf menyebut, ketika kita hendak bercinta, bercinta dalam debar yang mencemaskan, bukan dalam debar yang menggelorakan, akan apa yang terjadi. Bercinta apa pula namanya itu, menanggalkan terburu-buru, melekatkan terburu pula. Generasi buru-buru nanti jadinya. Baru akan memulai, terbayang goyang sedikit; pikiran kacau.Semua jadi layur. Tak ada yang tegak. Kalaupun menjadi, kita bercinta dalam kekhawatiran , dalam kecemasan, dalam kegamangan. Beranak orang rumah, anak yang terproses dalam kegamangan tentu akan berpotensi pula menjadi bayi-bayi penggamang yang tumbuh menjadi generasi pencemas. itu yang aku tak mau.". 

 

Lalu; 

" Guru pergi mengajar. Guru mengajar dalam kekhawatiran. Anak belajar. Anak belajar dalam kecemasan. Orangtua bekerja, orang tua bekerja dalam cemas dan was-was. Para pedagang menggalas, mereka menggalas dalam gamang. Awak di kelas  terbayang gempa tiba. Awak sedang di kantor terkilas rasa-rasa  gempa mau  datang. Awak sedang berjual beli, gempa rasa-rasa akan  menghoyak pula. Apa jadinya itu? Teringat anak bini, teringat keluarga. Pecah konsentarsi jadinya. Dan, dalam kekhawatiran mengajar belajar, akan bagaimana mutu pendidikan. Dalam kekhawatiran, akan bagaimana kinerja? Dalam hati rusuh, mana akan laku gelas....Pada akhirnya, pendidikan merosot. Kinerja, tahayak. Gelas tak laku. ekonomi kota buruk!" 

Gawat. Chaos berat nanti kotaku. Chaos kejiwaan. Aku mana  pula mau, kotaku dan warganya pada galau semua, tenggenlah aku!

 

Itu kecemasan aku sebagai walikota baik secara pribadi maupun secara kepemerintahan. 

 

Tak ada pilihan lain, aku sebagai walikota berkewajiban memberikan kenyamanan pada seluruh warga kota. 

Pertama; bila tak memungkinkan mendinding laut atau membuat jalan setinggi entah untuk menghambat tsunami itu, aku akan sarankan membangun ruko ke ruko saja yang berjejer dari Muara hingga Pasirjambak. Aku jadikan Padang sebagai kota ruko sepanjang pantai. 

Kemudian, beragak pada pengalaman terdahulu, pada gempa yang sudah-sudah...ketika terjadi gempa semua jalan-jalan macet. Orang berkelibut pintam, bak dunia mau kiamat saja rasanya nagari dibuatnya. 

 

Solusinya, Mulai dari Muara hingga Pasirjambak, aku buat jalan-jalan besar berpetak-petak mengarah ke jalan BY Pass semua. Soal pembebasan tanah aku serukan pada masyarakat tak ada istilah ganti rugi, yang ada adalah istilah ganti-untung. Aku tidak akan memangur para ninik mamak, para tuan tanah, para pemilik tanah, para pemilik tanah ulayat. Aku minta berkerelaan. 

 

Jangan tanya dulu, soal biayanya dari mana; aman itu. Aku akan kampanye keliling dunia mencari dana bantuan. Aku akan bersafari kemana-mana asal dana bantuan dapat; demi ratusan ribu nyawa. Nanti aku minta-minta pulalah pada Pak Presiden agak satu. Ha, kebetulan Pak Hediyanto--sahabat lama kita kan jadi Dirjen Bina Marga, aku mintalah pendapat beliau. Aman itu. 

 

        Kalau jalan sudah terbangun, begitu gempa menghoyak, ndak menghoyaklah...nan warga-wargaku sudah bisa melucus mulus  lari ke tempat yang tinggi. Tak perlu berlari sampai terpancar-pancar kejamban segala. Bila perlu sambil bersiul-siul dengan lari-lari ketek sambil mengangguk-anggukkan kepala. Nan jelas tak satupun tercermin wajah panik wargaku, karena sudah siaga bencana yang membudaya.  Ba-a gak ati? Ada masuk itu? 

 

Kalau dana pembangunan proyek besar itu tidak dapat, untuk menyelamatkan warga, aku akan berupaya semaksimal mungkin untuk jadi walikota yang adil, yang taat, yang taqwa, yang tidak dzalim yang tak munafik. Hanya dengan cara itu aku mengelakkan segala bencana. Sebab aku masih yakin, kalau nagariku berbencana saja berketerusan, itu wajib aku pertanyakan pada diri sendiri, apa dan bagaimana perbuatanku pada rakyatku, apakah aku dzalim? Kalau aku sudah adil seadil-adilnya, tapi bila nagariku berbencana juga baru, aku akan bertanya kepada Tuhan..."Tuhan, bukankah aku sudah adil memimpin, tapi mengapa negeriku bergempa juga baru? Hentikan bencana itu Tuhan...!". Ya, kalau aku sudah menjadi pemimpin yang adil aku merasa berhak meminta kepada Tuhan supaya menghentikan gempa dan segala bencana.

 

Kepada warga, tak saja kuberlakukan Perda Maksiat--bukan perdanya yang maksiat--maksudnya siapa pelaku maksiat disanksi---tapi juga aku perlakukan Perda Bercarut---maksudnya haram bagi warga kota Padang bercarut pungkang baik di tengah balai maupun di tengah mana saja. Tidak boleh bercarut dan membuang carut sembarang tempat, kalau akan terpaksa juga bercarut, berbisik sajalah pelan-pelan untuk bercarut itu. Bisikkan ke anak telinga orang yang dipercarutkan itu. Awas, jangan sampai terdengar ndak. Berperkara kita nanti jadinya.

 

Aku akan jadikan kotaku sebagai kota santun. Kota puisi. Rakyatnya gemar berkata indah. Walikotanya menyapa rakyat dengan puisi, rakyat membalas dengan pantun. Begitu juga staf-stafku; wajib berbahasa puisi haram menjilat. 

 

Aku ingin kotaku bersih. Tak bersampah di jalan tak bersampah di hati. Makanya, korupsi aku larang keras. Tidak sebatas slogan. Tidak boleh main-main dalam proyek. Tidak ada komisi-komisian. Aku tidak akan pernah mintak komisi pada kepala-kepala; proyek harus benar-benar bersih, bukan aku tahu bersih menerima. tak ada itu cerita, tim sukses tidak akan pernah aku beri peluang main api proyek. Kalau dia menokok, aku tokok kepalanya duluan. Kalau ketahuan olehku aku suruh jaksa memanggangnya. Biar keling dia, menyingkat batang tubuhnya. Matilah. 

 

kalau ada kepala-kepala yang terniat hatinya sekedar memberi rokok dan kopi kepadaku, aku terima dengan senang hati. Lebih dari itu; berang akulah! 

Aku dan hidupku harus hidup dalam makan gaji saja. Yakin aku itu, sebagai walikota tantu gajiku sudah jauh dari cukup. Jangankan jadi walikota, jadi seniman saja hidupku masih bisa agak-agak pas tanggung. Buktinya, selama jadi seniman dulu mana pernah rokokku terpuntung dan kopiku terdadak....

 

Nah...

 

Siaran tivi yang berkekerasan aku blokir. Aku minta pihak KPID menghentikannya. Begitu juga dengan sinetron-sinetron yang kecil-kecil saja sudah bercium-ciuman aku stop itu, tak aku lanjutkan. Termasuk dengan sinetron yang membawa-bawa binatang itu bagai, aku larang dengan arogan. Aku ingin jadikan kotaku sebagai puisi terindah...bukan kota bercarut-carut !

 

Dan tiap tugasku berakhir, karena kesepakatan aku dengan walikota adalah, aku walikota hingga Subuh, maka akan aku ajak warga ramai-ramai solat Subuh berjamaah. 

 

Nilai-nilai religius, pasti aku nyalakan ke hati warga. 

 

Aku memang walikota malam, tapi aku akan tutup segala hal ihwal yang berbau hiburan malam. Tak akan masuk gai pajak dek ulah 'sorak malam' itu tak anti lah. Yang aku hidupkan adalah kuliner-kuliner malam. Lontong tugari, Uda Ayang akan aku minta sebagai penasehat/staf ahli walikota dalam bidang perkulineran malam. 

 

Aku haramkan jalan-jalan buruk di tengah permukiman warga. Lampu-lampu tak boleh mati. Aku serukan pada seluruh warga, mari terangkan lampu rumah masing-masing, lampu orang jangan dihambus pula. 

 

Preman-preman tak boleh ada. Yang tukang-tukang pungut uang asam, akan aku ganti dengan uang jeruk. Maksudnya, yang biasa memungut pitih tak berketentuan, aku cari-carikan modal usaha dari berbagai CSR yang ada, aku suruh mereka --setidak-tidaknya membuat kadai jus jeruk. Mengasah batu akik malam-malam aku larang. itu berisik.Mengasah batu akik, hanya boleh siang hari saja. 

 

Kalau soal CSR yang agak-agak gadang itu aku mintalah kepada Bukit Indarung. Yakin aku, diberinya itu, bukankah selama ini kita sudah terbiasa makan 'abu"?

 

Tukang cacak, tukang palak tak boleh ada di pasar.Pasar harus bersih dan nyaman. Tidak boleh aring. 

 

Soal pendidikan, soal lapangan pekerjaan, soal perumahan kost, soal angkutan, terminal, air ledeng dan hal ihwal yang menyangkut hajat orang banyak, akan menjadi perhatian khusus bagiku. 

 

Karena kotaku berbatas dengan Bukitbarisan daerah kabupaten Solok, aku akan berpikir pula mengangsur-angsur memindahkan pusat kota ke kaki bukit barisan itu. Memang untuk mewujudkan gagasan, konsekwensinya ya harus kerja keras. tak boleh penakut.Tak boleh penggacar. Tak boleh mabuk dek jurus pencitraan saja. Haram hukumnya itu bagiku. Aku kalau bekerja itu ya bekerja. Tidur ya tidur. Jelas hitungannya. Lama itu 5 tahun. Banyak yang bisa disudahkan, kalau kita mau. Sekali lacut, lalu semua itu, kalau niat saya ya benar-benar untuk jadi walikota...

 

Aku walikota penyapa, aku walikota pelapau, aku walikota pesurau, aku walikota pebatu akik...begitulah adanya. Dan aku Walikota untuk semua. Untuk seluruh warga.  Untuk perwakilan untuk seluruh warga itu,  aku akan berupaya memelihara sungut, jambang dan janggut!

 

Olala, nilai budaya dan tradisi tentu aku hidupkan pula. Maka wajib seluruh sekolah memiliki sasaran silat dan surau. 

Dan yang lebih penting aku akan beriya-iya terus dengan wakil walikotaku.  Kami tidak akan dipecah oleh pitih atau proyek atau hal ihwal yang menaikkan pitam sesama kami. Tidak boleh itu. Kami beriya-iya sajalah berdua, nan jabatan tak akan dibawa mati, nan harata tak akan dibawa ke kubur...buat apa benar diperkarakan soal jabatan ini. 

 

Tapi aku tekankan kepada wakilku bahwa kita tetap berdua sampai 2 kali periode, dia tetap jadi walikota siang aku tetap pengendali malam di kota Padang. 

 

Mangkanya aku tak akan pernah berjanji pada rakyatku bahwa aku hanya akan sekali periode saja menjadi walikota. Jauh hari akan aku sampaikan secara tegas dan jujur dan berpuisi; bahwa aku ingin berketerusan hingga 2 periode. 

Kalau rakyat setuju, pilih kami.

Kalau tidak? Apa juga lagi.  Sekali lurus jadi walikota, apa pula itu. Awak sedang ketuju; rakyat tak mau. Urus sajalah kota ini olehmu...kau kira mudah mengurus kota ini ha? Uruslah sorang heh...jangan ajak-ajak serta pula aku..! Bila marasai kota ini nantik di tanganmu, tanggunglah jawab di akhirat. Rasai..!

 Tak untung ke mujur namanya itu. Biarlah aku bangun lagi, aku jadi seniman saja kembali. 

Selamat pagi kotaku; aku Pinto Janir sajalah kalau begitu! Soalnya, merumas juga aku nantik kalau ditanya Tuhan, selama kamu jadi walikota apa yang kamu perbuat untuk umatmu? Kalau aku salah jawab, marasai aku kena siksa. Makin tinggi jabatanku, makin banyak pertanyaan Tuhan kelak. Makin banyak duitku, makin bersijadi pertanyaan ilahi. Biarlah aku jadi seniman saja, tak banyak pertanyaan yang aku hadapi. Hidupku beruang pas, tak berlebih, tak sayut-sayut benar dari senin ke kemis. Ah, menyesal aku bermisal-misalkan diri jadi Walikota tadi....

 

Minta maaf lah aku dulu kepada warga yang sudah ikut-ikutan pula membaca...

 

Sori ya, aku tidak sengaja berpikir! (Pinto Janir)