PENINGKATAN PARTISIPASI DAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF
Artikel () 30 Mei 2015 05:56:48 WIB
Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, sehingga Pemerintah menetapkan pijakan politis yang membuka peluang bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi aktif di dalam pembangunan termasuk pembangunan politik yang berwawasan gender. Sementara fakta menunjukan bahwa peran perempuan Indonesia secara progresif banyak menduduki posisi-posisi penting, walaupun persentasenya lebih kecil jika dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam bidang politik, penetapan target keterwakilan (kuota) sebesar 30% bagi perempuan dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah pada pemilihan Umum tahun 2004, merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik peserta pemilihan umum. Kebijakan affirmative ini berupaya dipenuhi, walaupun perhatian dan orentasi politik perempuan terutama di daerah masih bias dianggap kurang
Masih rendahnya jumlah perempuan di panggung politik merupakan isu yang seringkali diperdebatkan. Mayoritas para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan dalam partai politik, kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setuju akan perlunya peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini menjadi topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal masih sangat rendah. Secara historis perjalanan perempuan di dalam parlemen tidak pernah melebihi angka 18 persen di DPR. Untuk Keterpilihan Legislatif Perempuan di Provinsi Sumatera Barat pada Pemilu 2014 lalu hanya 7,38 persen perempuan yang duduk di DPRD, kenyataan ini masih jauh dari kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif.
Rendahnya keterwakilan perempuan di Legislatif menimbulkan pertanyaan yang mendasar bagi kita, mengapa hal itu terjadi ?, sedangkan di daerah Sumatera Barat kaum perempuan itu yang merupakan ikon dari Bundo Kanduang selama ini mendapat tempat yang penting dalam pengambilan keputusan, baik dalam masyarakat adat , nagari, dan masyarakat secara komunal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Faktor pertama adanya persepsi yang sering dipegang bahwa arena politik adalah untuk laki-laki, dan bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Faktor ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Faktor keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partai-partai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi wanita di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999. Selain persoalan diatas, masalah-masalah berikut bisa ditambahkan antara lain: Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan wanita: Sering dirasakan bahwa sungguh sulit merekrut perempuan dengan kemampuan politik yang memungkinkan mereka bersaing dengan laki-laki. Perempuan yang memiliki kapabilitas politik memadai cenderung terlibat dalam usaha pembelaan atau memilih peran-peran yang non-partisan. Faktor-faktor keluarga: Wanita berkeluarga sering mengalami hambatan-hambatan tertentu, khususnya persoalan izin dari pasangan mereka. Banyak suami cenderung menolak pandangan-pandangan mereka dan aktifitas tambahan mereka diluar rumah. Kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat keterlibatan yang tinggi.
Meningkatkan keterwakilan politik perempuan berarti juga meningkatkan keefektifan mereka dalam mempengaruhi keputusan- keputusan politik yang akan dapat menjamin hak-hak kelompok perempuan dan masyarakat luas, serta mengalokasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Secara yuridis, perempuan yang akan terjun di dunia politik sudah mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu dengan terbitnya; (1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1965 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 46 Sistem Pemilu, Kepartaian, Pemilihan Anggota Badan Legislatif, Sistem Pengangkatan di Bidang Eksekutif dan Yudikatif harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan.
Tak ketinggalan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Pasal 13 Ayat (3) tentang Partai Politik yang sudah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat (2) pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan, Ayat (5) kepengurusan parpol tingkat nasional disusun dengan menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan dan Pasal 20 kepengurusan parpol tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART parpol masing-masing; (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 65 Ayat (1) tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD yang sudah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD Pasal 8 Ayat (1) Huruf (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat. Selanjutnya Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD Pasal 55 bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan dan Pasal 56 Ayat (2) di dalam daftar bakal calon diatur setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon (zipper).
Di dalam upaya memenuhi kuota 30% perempuan untuk calon anggota legislatif, secara empiric dan faktual terdapat kendala yang menyebabkan keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat sangat rendah yakni masih adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunianya laki- laki, masih sedikitnya perempuan yang terjun kedunia politik dan rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik, serta dukungan partai politik yang belum besungguh-sungguh terhadap perempuan.
Perempuan yang akan terjun ke dunia politik, harus mempersiapkan diri agar mampu bersaing dengan laki-laki. Untuk itu kaum perempuan harus aktif di dalam kepengurusan partai politik, dan membekali diri dengan memenuhi kapasitas, kompetensi dan kualifikasinya sebagai warga politik dengan tetap dalam koridor kesempurnaan jati diri perempuan.