GERAKAN WISATA GERAKAN BERSAMA

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 17 Maret 2015 03:17:14 WIB


Pokok yang tak boleh dianggap remeh dalam wisata adalah aman dan nyaman. Seindah apapun alamnya, bila lingkungannya tak ramah, maka alam yang indah menjelma menjadi alam yang mencemaskan. Jangan harap, para wisatawan akan beramai-ramai berkunjung menikmati lokasi yang indah bilamana di sana tak terjamin tertib lingkungan.

               Tragedi Badut di Jam Gadang yang ditulis oleh salah seorang pengunjung yang juga seorang jurnalis telah menyebar ke berbagai “dunia”. Bila satu oknum badut saja dianggap dapat merusak cita rasa dan citra wisatawa berkunjung ke kota Bukittinggi, bagaimana bila sekiranya ternyata masih ada perusak yang lain yang dapat mengusik kenyamanan kita.

               Saya menulis ini, karena saya cinta pada kota ini. Di sini saya dan keluarga menghirup udara. Di kota ini anak-anak saya tumbuh dalam segala kreativitas. Dan dalam impian saya, kota wisata ini harus benar-benar menjadi tanah impian dalam otak dan benak banyak orang. Dan bagaimanapun juga, pariwisata adalah sumur devisa yang tak pernah kering. Hebat pariwisata Bukittinggi, niscaya akan membawa dampak kemakmuran untuk semua.

               Apapun yang merusak cita rasa harus disingkirkan dari kota ini. Karena wisata adalah hal ihwal yang menyangkut “perasaan” maka dari itu, ayo kita tenangkan dan kita senangkan perasaan pengunjung.

               Alasan orang pergi berkunjung untuk berwisata adalah untuk bersenang-senang. Harga sebuah kesenangan tak bisa diukur dengan uang. Karena ia menyangkut rasa itu tadi. Asal hati senang, orang tak berpikir soal berapa uang yang harus dikeluarkan. Karena benar adanya, mereka berwisata adalah mereka yang siap menghabiskan uang untuk bersenang-senang bukan untuk kesal.

               Sederhana saja cara untuk menyenangkan wisatawan ke kota kita. Mulai dari hal-hal yang sederhana tapi berkesan. Karena, layanan wisata adalah layanan jasa, maka yang harus dijaga adalah “perasaan” itu tadi.

               Kita mulai daro soal perparkiran. Masalah parkir di kota ini seperti masalah klassik. Masalah yang sudah tua. Masalah yang seakan-akan tak terselesaikan. Padahal, ada dinas-dinas terkait yang mengawasi soal itu.

               Tertibkan perparkiran. Tertib biaya, tertib lokasi. Jangan ada lagi ada yang minta ongkos parkir hingga sepuluh ribu atau lima ribu rupiah bagai. Untuk itu, Pak Walikota harus tegas dan “keras” meminta pertanggung-jawaban anak buahnya yang mengurus masalah perparkiran. Bila perlu, adakan pelatihan pada sejumlah orang untuk “bagaimana” menjadi tukang parkir yang santun.

               Lalu, tukang parkir tersebut harus diberi pengetahuan kepariwisataan. Dengan demikian, mereka juga sekaligus sebagai pemandu wisata. Yang lebih penting, mereka sadar apa arti kunjungan wisata bagi perekonomian kita. Kita lengkapi mereka dengan kartu identitas, baju seragam. Lalu, di bajunya diberi label “ Parkir Wisata”.

               Pada tiap areal wisata pasang papan maklumat. Isinya : “ Bila anda kecewa ulah tukang parkir, catat nama mereka, laporkan ke Walikota nomor hape xxxxxxxx”. Jadi, soal parkir-parkiran langsung bisa terawasi oleh Pak Wali kita.

               Kemudian soal macet! Macet adalah klasikal konflik kota yang sedang tumbuh. Bila jumlah kendaraan tak sesuai dengan ruas dan panjang jalan, maka sehebat apapun kita mengatur lalu lintas, yang macet pasti tak akan terlenyapkan.

               Apa solusinya?

               Tak ada pilihan lain, adalah membangun jalan baru. Bila jalan baru tak memungkin lagi berada secara langsung di atas tanah, bikin jalan di atas awang-awang. Atau jalan layang. Satu jalan layang membelah Pasar Aurkuning akan belum cukup mengatasi persaoalan lalu lintas masa depan di kota wisata yang menurut penelitian para ahli dunia; udaranya paling bersih di atas dunia.

               Biayanya dari mana? Dari APBD kota, atau propinsi, tentulah tak memungkinkan. Satu-satunya cara adalah meyakinkan pemerintah pusat untuk membangun jalan layang di sekitar kota yang tingginya tak akan melebihi puncak Jam Gadang.

               Yakinkan Pemerintah Pusat bahwa kota Bukittinggi adalah salah satu identitas wisata Indonesia.  

               Dengan keyakinan dan sungguh-sungguh serta kerja keras dalam niat yang bagus, tak ada sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Saya yakin itu!

               Masalah lain yang dapat merusak kenyamanan kota wisata adalah soal telah menjelmanya jalan-jalan sekitar Jam Gadang dan lingkaran Monumen Bung Hatta menjadi arena balapan liar anak muda. Kita tahu, bahwa kawasan itu adalah kawasan hunian wisata.

               Seakan-akan geng motor dan balapan liar leluasa saja memekakkan anak gendang telinga pengunjung kota. Tidur menjadi tak nyaman di kawasan ini. Itu buruk bagi dampak wisata.

               Jalan keluarnya adalah razia rutin, baik Satpol PP maupun polisi kita. Razia tak hanya musiman. Bila perlu, selama 7 hari dan 24 jam di kawasan itu ditempatkan petugas berwajib yang mengawasi jalur “wisata” ini.

               Saya yakin, soal bunyi knalpot yang memecah gendang perasaan itu akan terpecahkan segera.Sehingga Bukittinggi benar-benar menjadi kota wisata idaman wisatawan.

               Dan soal lain adalah soal etika pedagang. Para pelaku perdagangan, terutama soal kuliner harus segera beriya-iya. Para pedagang kuliner harus segera berhimpun diri. Dirikan Forum Komunikasi Pedagang Kuliner Bukittinggi. Bikin kode etik pedagang kuliner. Kalau ada yang melanggar kode etik tersebut, lakukan “amputasi sosial”. Terserah, apa sanksi sosial yang akan dijatuhkan pada pedagang kuliner yang melanggar kode etik. Bila perlu, bikin “adat” baru. Adatnya yakni, para pelanggar didenda. Hasil denda untuk operasional forum.

               Adatnya manusia paling tak suka dikicuh atau merasa terkicuh. Semua harga galeh harus standar. Tiap pedagang wajib menaruhkan daftar harga dagangannya yang “disahkan” secara bersama oleh forum itu tadi.

               Saya yakin, Gerakan Wisata di kota Bukittinggi akan menjadi budaya wisata bagi para penduduknya. Gerakan wisata adalah gerakan bersama; tak hanya gerakan milik pemerintah saja! Mari kita beramah-ramah, bersantun-santun dan berbersih-bersih, biar wisatawan bertahan lama di kota ini! (Pinto Janir)