SPIRIT CINTA INDONESIA

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 23 Juni 2014 08:38:36 WIB


"Aku hanya seorang penyair yang berkurajaan pada kata-kata dan bertahta di atas kursi imaji yang menarikan lagu-lagu ilusi. Terkadang aku hanya sepotong ranting yang ingin tetap gagah mempertahankan daun supaya jangan jatuh ditiup angin lalu"

 

Sahabat, sejak sore tadi rinai tak reda-reda. Bukittinggi kota kita yang indah ini makin dingin saja. Tapi hatiku hangat sahabat, sehangat salammu pada rakyat yang menyambut kita ketika menemui mereka dulu.

 

Aku nikmati saja rokok berbungkus-bungkus ini. Makin lebat hujan tiba, makin seperti petus aku menghisapnya. Dan ada segelas kopi panas yang sedang kunikmati bercawan sayak tua peninggalan masa lama.

 

Sahabat, aku tak pernah merasa kemerdekaan 'tidurku'  terampas untuk memperjuangkan ideologi dan cita-cita kita.

 

Tidur siangku juga telah menolak bila didatangi mimpi-mimpi. Mimpi siang itu telah dipanggang matahari dan secangkir kopi; biarlah bulan yang menghiasi impian.

 

Sahabat, aku tidak bisa membantumu dengan selaut materi. Jangankan selaut materi, seriak saja aku tak punya. Yang aku punya hanya sedikit pikiran  dan tenaga serta 'waktu tidurku' ...hanya itu sahabat.

 

Terkadang, untuk memperjuangkan cita-citamu yang besar dalam ideologi kita itu, aku merasa kecil untuk bisa membantu.

 

Aku bukan siapa-siapa, aku hanya seorang penyair yang berkurajaan pada kata-kata dan bertahta di atas kursi imaji yang menarikan lagu-lagu ilusi. Terkadang aku hanya sepotong ranting yang ingin tetap gagah mempertahankan daun supaya jangan jatuh ditiup angin lalu.

 

Tak ada ruang yang tak kita tembus. Laut, darat, udara bahkan belantara; kita rancah dengan bersenjatakan itikad baik seraya menyandang berkeranjang-keranjang cita-cita dan ideologi dalam semangat gerakan tradisi dalam jihad ahlus sunnah wal jamaah.

 

Kita tetap tersenyum, walaupun terkadang sebenarnya kita  tak mampu menyembunyikan lelah.

 

Ketika pada sebuah perjalanan menembus malam ke ujung selatan Sumatera Barat itu, baru selepas Palupuah masih jauh daerah Bonjol, lelahmu memaksa matamu untuk tidur di atas mobil yang membawa kita ke ruang pertemuan menemui masyarakat yang menunggu kita.

 

Di atas mobil dalam percakapan sendiri, aku sibuk menggurat-gurat pikiran di atas kertas elektronik, hingga subuh tiba; kita berhentu di surau lama untuk subuh bersama-sama. Ketika naik kembali ke atas mobil, giliranku yang tidur sampai kita tiba di tujuan, sementara kebiasaanmu dari dulu seusai solat subuh bukan tidur kembali, tapi langsung bangkit dan berkuras untuk berperang melawan panas garangnya matahari. Sering benar kau berkata padaku: “ Da Pinto kalau sudah Subuh tu jan tidua, bekoh rasaki dicotok ayam. Awak harus dahulu baranjak dari pintu rumah sabalun matoari mancogok. Jangan tukar siang jadi malam dan malam jadi siang; itu kecelakaan hidup namanya…!”

 

Nasihat bagusmu itu dunsanak aku dengar, dan terngiang kini saat  aku menulis surat ini padamu, malam ini.

 

Ah, hujan tampaknya sudah lelah juga, ia telah agak berhenti sedikit.

 

Sahabat, aku tak bisa menyurukkan kekaguman padamu. Pada prinsipmu. Pada kegigihanmu untuk memperjuangkan orang banyak.

 

Aku tahu, betapa kau tak hanya sekedar memikirkan dirimu yang bertarung di dapil Sumbar 2 yang kusebut-sebut sebagai dapil neraka ; karena rata-rata para petarung lama ikut lagi untuk merebut kursi Senayan.  Bertarung dengan orang-orang yang memiliki “kekuasaan” itu tidak mudah. Tapi tidak ada kata yang sulit, atau tidak ada yang terlalu sulit bila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras serta berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukankah begitu sahabat?

 

Mau 6 jumlah kursi yang tersedia, mau 2 jumlah kursi yang tersedia, tapi bila upaya cukup dan doa sempurna; yakinlah kemenangan itu menjadi hak, dan ia amanah dari “langit!”.

 

Semangatmu aku suka. Berpikirmu yang pintar, itu yang luar biasa. Santunmu tak berpematang. Kepada siapa saja, hormat dan kesantunanmu itu aku pujikan juga.

 

Kau bergerak dalam lingkar aura positif yang menyambut dengan hangat; sehingga senyum rakyat yang kita temui menjadi mesin pemacu yang tiada pernah berhenti berjuang dalam jihad itu sekalipun langit kan runtuh!

 

Katamu, segala sesuatu yang bergerak dari hati dan karena hati, adalah bahasa Ilahi yang indah. Saat itu, atas gerakan apa saja, perbuatan apa saja yang membuat kita menggarik, yang berlaku adalah keikhlasan. “ Bekerja dalam ikhlas untuk kebaikan bagi orang banyak itu, sungguh amboi indahnya!” ujarmu suatu hari seraya membaca buku-buku tua di ruang pustaka di rumah gadangmu itu. (Pinto Janir)