JANGAN PERMAINKAN HIDUPMU!
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 23 Juni 2014 08:37:20 WIB
Kelumpuhan pikiran bukanlah mati rasa, namun rasa yang tak terpikirkan; adalah kecelakaan hidup yang sungguh tragis. Kebarangkalian yang teragukan karena kemungkinan tersungkup kabut yang merinai bukanlah kesalahan mata yang tergelincir memandang. Ia terkadang menjadi noktah yang tak terisi, kemudian kekosongan melimpah dalam ketaksanggupan menampung. Saat itulah bayang-bayang lari menjauhi badan kehidupan, ia tak menjadi tak jujur.
Hidup bukanlah semata permainan dari suatu sunyi terjajar ke ruang sepi yang lain, kemudian berkhidmat kepada pertanyaan-pertanyaan yang menggigilkan. Bukan sebuah ketakutan benar yang membuat kita tercanggung sehingga lidah gamang menyimpulkan rasa, melainkan persembunyian yang tak tersuruk yang membuat kita gagau pada jumlah kenyataan yang tak terhitung yang terkadang memaksa kita bersorak pada kenisbian yang bernabi kilau keserakahan yang tak kunjung selesai.
Mengapa pula kita harus enggan meyassinkan langit tua yang ringkih dalam kesekaratan di ujung nafas penghabisan dalam detak yang kian lama kian lunak lalu mendiam sendiri. Sudah sekuyup ini, hujan deras masih dianggap embun yang tak membasahkan. Mengapa dingin yang mengetuk-ngetuk tulang bagaikan seorang musisi gila memainkan lagu-lagu kematian yang menari-nari di ruang entah masih juga kita anggap musik yang indah?
Kematian bukan kesuraman semata, ia adalah mimpi yang cerdas. Lilin yang meleleh bukan cahaya, mungkin saja ia adalah bagian dari doa yang sangat menyedihkan. Selagi cahaya lilin itu masih nyala, butiran kristal bagai air mata yang jatuh meleleh, lalu membeku adalah nyanyian jiwa penghabisan dari jiwaku, jiwa kita, mungkin juga jiwanya dari jiwa itu!
Ketika kita mengumpulkan segala perkiraan-perkiraan dari sesuatu yang terpikirkan hingga sesuatu yang lenyap dari pikiran, lalu kita lemparkan segerombol rasa, di saat itu langkah ringkih tersiksa dan terpaksa menyusuri jalan-jalan yang penuh dengan pecahan kaca botol minuman keras yang dilempar seorang pemabuk tadi malam; bagaikan lukisan abstrak, luka menjadi jejak yang cukam !
Hidup itu ada. Bahkan mungkin bukan sekedar ada. Namun sekedar hidup yang ada adalah mirip pantun sekedar pelepas tanya.Bila hidup dilepaskan dari segala pertanyaan-pertanyaan dan kita biarkan seumpama air hulu merayapi muara dan kadang-kadang menggerus bibir tebing yang pasrah, saat itulah kita hanya menjadi air saja yang berkodrat pada 1 muara, bukan 2.
Bukankah hidup itu adalah 1 pilihan dari 2 yang ada.
Bagaimana hendak memilih ketika pikiran dan hati gelap. Bukankah pikiran dan hati adalah tabir pembuka kegelapan untuk menjawab banyak persoalan-persoalan kehidupan. Bagaimana meyakini dan mempercayai jawaban di saat mana kita sendiri malas berupaya mencari tahu karena pikiran dan hati acap benar kita pensiunkan secara dini?
Terkadang kita sudah terjebak sendiri dengan kegemaran mencumbui kesulitan, kerumitan, kesempitan yang membuat kita terperangkap dalam langit bertudung tempurung. Mengapa kita takut berpikir? Bukankah pikiran yang terpikirkan itu adalah perintah kehidupan.
Hidup adalah anggapan.
Hidup adalah kematian.
Kematian yang membuat kita benar-benar hidup!
Mati dulu baru kau hidup.
Hidup itu adalah soal yang dua saja.
Pertama; Tuhan memberikan pertanyaan.
Kedua; manusia memberikan jawaban.
Kini, mari kita hidup.
Buka jendela hatimu. Biar masuk cahaya.
Melihat dengan pandangan, jangan dengan mata.
Berpikir dengan akal dan hati, jangan dengan langkah sesuka hati.
Kemudian, buka kamarmu. Masuk ke bilik itu tanpa ragu. Sakralkan segalanya. Tak boleh ada ragu, tak boleh gagu. Suara yang berlafas di hati kita dalam mat dan ketukan alam, adalah nyanyian sunyi yang paling indah. Tak ada lagi garis pembatas frekuensi, biarkan air mata meleleh, tapi bukan untuk doa kematian, ini adalah panggung; bukan panggung penggemar duniawi.
Dan aku pun merasa bernyanyi untukNya
Musik yang ditabuh 'malaikat' itu adalah mat yang aku harap dalam nadaNya.
Untuk itu, usah cemas, usah takut, ada Tuhan di dekat kita!
Ayo, belajar "hidup!" Pinto Janir)