MANUSIA SERAKAH TAHTA
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 25 Maret 2014 04:02:34 WIB
Manusia yang serakah dengan tahta terkadang berkecendrungan memaksakan keadaan. Duit yang bertumpuk ia yakini bisa menjadi mesin untuk mengubah keadaan. Karena mangkusnya sebuah "pencitraan" maka si 'Atuik' bisa menjadi si 'Atut".
Sebelumnya, ia memang bukan siapa-siapa. Dia bukan seorang aktivis sosial.Dia bukan seorang organisatoris. Dia bukan tokoh masyarakat di lingkungannya. Dia bukan seseorang yang menjadi tempat bertanya bagi banyak orang dalam mencari dan menemukan atau menunjukkan solusi bagi persoalan sosial massa. Bukan. Bahkan, rumahnya berpagar tinggi, pintunya acap tertutup ketimbang terbuka. Bila hendak menghubunginya melalui HP, itupun tak mudah. Nomor yang diangkat hanya nomor-nomor orang tertentu yang sudah tercatat di memori HP-nya itu. Rakyat badarai, ah mana bisa!
Dibilang tokoh, ia memang tokoh. Yakni tokoh yang sukses menggalas atau berdagang. Ia memang tokoh, yakni tokoh yang sukses dalam bidang usaha atau kontraktor semata. Ia benar-benar tokoh, tokoh pebisnis yang sukses bukan tokoh masyarakat.
Harapannya, dengan menjadi anggota dewan terhormat, ruang dan kesempatannya untuk mengembangkan sayap apa saja akan semakin lebar dan besar sehingga bisa merancah 'langit' apa saja. Harapan buruknya, dengan 'kekuasaan' kerajaan bisnisnya aman! Atau, dengan kekuasaan, ia meraih kebanggaan. Ya hanya kebanggaan belaka, sebagai ajang gagah-gagahan*doang*.
Niat yang meleset, itu yang membuatnya nanti sakit atau tersakiti oleh kenyataan.
Ada kabar lain di seputaran pencalegan kita.
Keluarga mereka disebut sebagai keluarga 'calon-calon orang terhirmat' yang akan duduk di lembaga legislatif. Tampaknya keluarga ini telah disiapkan untuk menjadi anggota dewan di mana-mana. Anak tertua di dapil sana, anak tengah di dapil situ, si bungsu di dapil yang itu. Lalu, dia di dapil tetap, dan istrinya di dapil yang lain. Luar biasa. Bapak dan anak beranak, istri dan suami mencaleg rami-rami. Asik juga menyaksikannya.
Lain daripada itu,ada cerita yang lebih lain, yakni kisah ia yang dulu memang orang berpangkat.Orang berjabatan di pemerintahan. Tapi, masa jabatan itu kan berbatas jua. Ia berbatas ruang dan waktu. Bila waktunya tiba, masa pensiunnya datang, ruangnya beralih, kursi kekuasaannya lenyap.
Masa pensiun baginya adalah masa 'menakutkan'. Masa di mana daya hormat orang akan tak lagi sekuat daya hormat semasa ia berjabatan. Konyolnya, ia lupa, bahwa semasa berjabatan dulu, ia bukan tipe orang bermasyarakat. Ia hanya bekerja atas perintah sistem belaka. Lebih dari itu, bukanlah urusannya.
Harapannya, dengan menjadi anggota dewan terhormat, maka "kehormatannya" tetap langgeng! (Pinto Janir)