Melihat Jejak Sang Proklamator Ditanah Bencoolen
Pariwisata EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 04 Januari 2021 12:43:08 WIB
Bengkulu, Diskominfo
Rumah kecil berornamen kayu dan dikelilingi hamparan rumput hijau luas dengan aneka tanaman bunga terlihat begitu mencolok dibanding bangunan yang ada disekitarnya. Pos penjagaan yang terletak didepan menandakan rumah tersebut bukan bangunan sembarangan. Ya, inilah rumah pengasingan Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno atau lebih akrab dipanggil Bung Karno saat dirinya dibuang Belanda ke tanah Bengkulu pada masa perjuangan kemerdekaan.
Puluhan orang tampak berlalu lalang dalam bangunan yang lebih menyerupai komplek tersebut. Ada yang sibuk membaca tulisan-tulisan terpampang didalam rumah. Lebih banyak lagi sekedar berfoto selfie dengan memorabilia si empu rumah. Petugas berseragam terlihat mengawasi dengan ketat agar pengunjung tidak berbuat hal aneh selama berada dalam kawasan ini.
Bangunan tersebut terdiri dari ruang kerja, kamar pribadi, kamar tamu dan kamar anak-anak. Pada beranda belakang, ada bangunan terpisah yang diperuntukkan sebagai dapur, kamar mandi dan gudang. Sebab zaman dahulu, rumah utama dan ruang lainnya memang terpisah. Ditemani Diki (39), salah seorang petugas yang berjaga ditempat tersebut, tim Diskominfo Sumbar yang berkunjung akhir 2020 lalu diajak berkeliling bangunan sembari diberi penjelasan mengenai histori bangunan.
"Jadi inilah rumah kediaman yang dulu pernah ditinggali Bung Karno semasa pengasingan di Bengkulu pada 1938-1942.
Awalnya rumah ini milik seorang saudagar Tionghoa penyuplai bahan pokok Belanda. Saat Bung Karno tiba, Belanda mengontraknya untuk dijadikan tempat tinggal beliau," ujar Diki memulai cerita.
Yang luar biasa, meskipun Bung Karno sebagai seorang yang sedang dalam pengasingan, orang buangan maupun tahanan politik, tapi terlihat bahwa Belanda sangat menghargainya. Terbukti rumah semewah ini pada zaman itu difasilitasi untuk ditempati.
Ketika datang ke Bengkulu selama masa pengasingan, Bung Karno turut ditemani keluarga dan kerabat, yaitu istri keduanya Inggrit Ganasih serta dua putri angkat yang bernama Ratna Gioni, dan Sukarti atau Kartika. Sedangkan kerabat yang menemani adalah A. M. Hanafi.
"Awal Bung Karno sampai diasingkan ke Bengkulu salah satunya permintaan Inggrit Ganasih. Tahun 1934-1938 Bung Karno dibuang ke Ende. Disana beliau sempat kritis karena terjangkit malaria. Waktu itu, Bu Inggit mengirim surat untuk berkomunikasi dengan Mohammad Husni Thamrin, supaya mendesak pihak Belanda agar menempatkan Bung karno ditempat yang lebih layak. Akhirnya Belanda memilih Bengkulu sebagai pengasingan berikutnya," sebutnya.
Saat menyusuri ruang kerja, Diki menjelaskan koleksi-koleksi buku bacaan Bung Karno sangat luar biasa, kurang lebih sekitar 320 buah. Buku-buku tersebut secara tidak langsung merupakan sumber inspirasi ilmu selama dia berada di pengasingan.
Seperti diketahui, dizaman itu sepertinya lebih mudah mendapatkan emas daripada buku. Buku yang didapat berasal dari sahabat-sahabat yang ada di sekitar Bengkulu. Mengirimnya pun tak mudah, harus hati-hati agar tidak diketahui Belanda. Terdapat beberapa macam buku, tentang botani, filsafat, musik, bahkan semacam Al-Kitab atau perjanjian lama.
"Walaupun Bung Karno seorang muslim yang taat, beliau juga mempelajari kitab agama lain dari segi filsafatnya. Karena banyaknya bahasa yang dikuasai, buku-buku disini pun memiliki beragam bahasa. Selain itu juga terdapat orasi politik pertama kali Bung Karno yang sangat terkenal, 'Indonesia menggugat'," terang Diki.
Tetapi, lanjut dia meski banyak buku yang beliau baca, bacaan utama Bung Karno tetaplah Al-Qur’an. Sebab fadilah dari membaca Al-qur’an sangat banyak. Disamping itu Al-qur’an juga merupakan sumber inspirasi terbaik, juga menceritakan masa lalu dan masa yang akan datang.
Ada satu hal menarik dan mungkin hanya dialami tokoh sekelas Bung Karno saja. Sebagai orang pengasingan ternyata dirinya dibiayai oleh pihak Belanda. Jadi, selama di Bengkulu Bung Karno mendapat semacam kompensasi selama menjadi tahanan. Hal itu terbukti dengan adanya surat biaya perjalanan dan uang harian layaknya SPJ seperti yang kita temui saat ini.
Disalah satu ruangan, juga terpajang sebuah kostum Monte Carlo. Kostum ini adalah pakaian khas pertunjukan teater. Sebagaimana diketahui, Bung Karno seorang tokoh multitalenta. Teater merupakan salah satu media dalam mengkritisi pemerintahan Belanda, menyampaikan aspirasi politik, dan menyalurkan rasa patriotisme kepada pemuda-pemuda di sini.
"Pada saat itu salah satu hiburan yang sangat digemari adalah pertunjukan rakyat. Sandiwara Monte Carlo ini seperti seni teater yang berisi cerita-cerita, dengan skenario tertentu yang dimanfaatkan Bung Karno untuk perlawanan terhadap Belanda," ucap Diki.
Perjalanan sang proklamator di tanah Bengkulu memang penuh cerita, termasuk kisah pertemuan dengan penjahit bendera negara, Fatmawati. Diki menceritakan muasal perjumpaan presiden pertama RI itu dengan Fatmawati.
"Bu Fat adalah putri asli Bengkulu keturunan Minangkabau. Saat itu Bu Fat masih dalam usia yang sangat remaja, 16 tahun. Fatmawati merupakan teman dari anak angkat Bung Karno yang bernama Ratna Gioni. Ketika itu dalam ceritanya Bu Fat dan kedua orangtuanya silaturrahmi ke rumah Bung Karno. Selain silaturrahmi, ayah Fatmawati yang merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyah di kota tersebut mencoba membujuk Bung Karno agar menjadi bagian dari Muhammadiyah," beber Diki.
Akhirnya, sebagaimana yang diketahui, Fatmawati dipersunting Soekarno dan menjadi istri ketiga beliau serta berperan besar dalam mendampingi sang proklamator mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya dengan menjahit Bendera Merah Putih yang menjadi bendera negara.
Disamping muslim yang taat, Bung Karno juga seorang insinyur hebat. Selama di Bengkulu, dia sempat membangun beberapa rumah masyarakat dan mesjid. Tidak hanya membuat desain, ia juga merupakan motor (penggerak) dalam pembangunan mesjid ini.
"Sewaktu Bung Karno menjadi motornya, hampir semua masyarakat kota ini ikut serta. Jadi hebatnya beliau bisa mengubah pemikiran seseorang dan menggerakkan orang lain, beliau memang seorang motivator," ungkapnya tersenyum.
Masjid rancangan Bung Karno tersebut bernama Masjid Jami’ Bengkulu, dan sekarang masih ada dan telah menjadi cagar budaya. Disamping itu, Bung Karno juga pernah membuat suatu perusahaan mebel yang bernama Meubel Soeka Merindoe. Nama Suka Merindu ini sekarang menjadi salah satu nama kelurahan atau desa di Kota Bengkulu.
Terkait rumah pengasingan, Diki berharap pemerintah lebih masif menggiatkan sosialisasi dan publikasi agar masyarakat terutama generasi muda untuk mengunjungi cagar budaya sejarah.
"Perhatian pemerintah sebetulnya sudah bagus, namun seharusnya animo masyarakatnya yang lebih suka berkunjung ke tempat-tempat yang mengandung nilai budaya seperti ini daripada ke tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan. Karena banyak nilai-nilai positif yang diajarkan oleh museum ini. Terutama semangat juang orang-orang tempo dahulu. Karena adanya masa sekarang tak terlepas dari pendahulu," harapnya.
Diakhir pertemuan, Diki menitipkan pesan kepada setiap yang berkunjung ke rumah pengasingan Bung Karno ini.
"Pengunjung sebisanya dapat edukasi dalam membangun negeri ini ke arah lebih baik sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa, sekaligus dapat meneladani perjuangan mereka."
Rumah pengasingan Bung Karno dikelola oleh 2 (dua) instansi. Pertama dari balai pelestarian cagar budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang menaungi pelaksanaan dan perlindungan cagar budaya. Sementara dari segi pemanfaatannya dikelola oleh pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu. (EK/Diskominfo)
*Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumatera Barat*