Memerangi Rentenir
Artikel () 22 Oktober 2020 10:42:49 WIB
Harian Media Indonesia edisi 16 Oktober 2020 dalam salah satu halamannya memuat tulisan dengan judul, “Pembiayaan Perangi Rentenir telah Mencapai Rp10 Triliun”. Diuraikan di tulisan tersebut bahwa dalam rangka bulan inklusi keuangan (Oktober 2020) OJK (Otoritas Jasa Keuangan) memperkenalkan program kredit melawan rentenir.
Sudah 19 Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) menerapkan program tersebut. sebab usaha mikro kecil dan menengah memilih rentenir karena kecepatan dalam memperoleh uang. Namun mereka juga sadar bahwa bunga dari rentenir sangat mahal.
OJK mendorong pemerintah daerah bersinergi dengan Bank Pembangunan Daerah mengucurkan kredit berdasarkan tiga generic model dalam rangka memerangi rentenir.
Pertama adalah kredit harus cepat, kapanpun bisa diakses. Kedua, murah. Ketiga cepat dan murah. Inilah yang harus dilakukan untuk memenangi perang melawan rentenir.
Target awal, dananya hanya 2,8 triliun rupiah. Kemudian berkembang menjadi 10 triliun rupiah. OJK berkeinginan agar masket share yang dikuasai rentenir selama ini terhadap usaha mikro dan kecil bisa diambil oleh pemerintah daerah dan Bank Pembangunan Daerah.
Apa yang diprogramkan oleh OJK dan disambut di daerah ini semoga bisa semakin membesar dalam realisasi pemberian kreditnya. Karena hal ini sangat jelas dan nyata membantu para pelaku mikro dan kecil yang banyak terjerat rentenir.
Kita mungkin saja tidak menyadari bahwa selama ini sangat banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang terjerat rentenir. Sehingga kehidupannya tidak bisa meningkat. Padahal seharusnya bisa meningkat. Tapi karena harus membayar bunga yang mahal kepada rentenir, maka uang yang seharusnya bisa disimpan justru dihisap rentenir.
Menghadapi rentenir bukanlah hal yang mudah. Saya pernah mendapat cerita bagaimana lembaga keuangan mikro seperti BMT mendapat serangan dari rentenir karena konsumen mereka beralih ke BMT.
Semoga apa yang dilakukan OJK mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Terutama mereka yang selama ini gencar mengkampanyekan “anti riba”. Jangan sampai “anti riba” hanya ditujukan kepada bank konvensional, tetapi rentenir yang sebenarnya menghisap justru tidak menjadi arah tujuan gerakan anti riba.
Jika hari ini sudah 10 triliun yang awalnya 2,8 triliun rupiah, maka ke depannya semoga bisa meningkat lebih besar. Sehingga semakin banyak usaha mikro dan kecil yang tertolong. Apalagi di masa pandemi, di mana daya beli menurun. Tentunya tidak mudah bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk bertahan hidup. (efs)