Mengenang Mantan Rektor UIN Imam Bonjol Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 18 Agustus 2020 12:13:11 WIB


Mengenang Mantan Rektor UIN Imam Bonjol Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A

Oleh Yal Aziz

 

"BAGAIKAN disambar petir disiang bolong". Begitulah kira-kira kondisi saya ketika mendapatkan informasi tentang  wafatnya, Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, sekitar pukul 15.30 WB, 30 Agustus, 2018 lalu. Kenapa? Karena sebelumnya saya tak menyangka dan menduga,--- Da Juddin begitu saya memanggilya--, telah pulang kekampung akhirat menghadap Sang Khalik, dalam usia 64 tahun.

 

Banyak sekali kenangan bersama almarhum ketika kami sama-sama menuntut ilmu di Perguruan Thawalib Padang Panjang, yang memulai sistem pendidikannya dengan pengajaran berhalaqah jauh sebelum tahun 1900-an di bawah asuhan Syekh Abdullah Ahmad di Surau jembatan Besi Padang Panjang atau Masjid Zu’ama. Kemudian, 1911, Dr. H. Abdul Karim Amarullah (seorang ulama besar, ayah dari buya Hamka merubah sistem halaqah menjadi sistem klasikal. 

 

Mungkin karena Thawalib Padang Panjang memakai sitem klasikal itu pulalah membuat orang tua saya, almarhum Haji Abdul Aziz  mengantarkan saya menjadi salah seorang santri, 1971 lalu, bersama Rahmad Wartita SH, yang sekarang menjadi salah seorang penasehat hukum atau pengacara kondang,di Kota Padang. 

 

Sudah menjadi kegiatan rutin di lingkungan  asrama Thawalib Padang Panjang, setiap sore ada permainan olahraga voli, dan saya bersama Rahmat ingin pula belajar bermain voli. 

 

Sesampainya di lapangan voli, saya dan Rahmat Wartira bertemulah dengan almarhum  Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, yang masih muda, berbadan kekar dan kuat. Bahkan waktu itu, saya diangkatnya dan dilemparkan kepada temannya kanda Bakri, yang juga sama-sama  berasal dari Pesisir Selatan dengan almarhum. 

 

Rasanya, kita bisa  bayangkan berapa kuatnya fisik dan tenaga almarhum, sewaktu muda.  Bahkan waktu itu, adakalanya dilemparkannya ke atas dan kemudian disambutnya lagi. Begitulah setiap sore kalau saya dan Rahmat Wartita ikut belajar bermain voli.

 

Kenangan lainnya, setiap kembali dari musim libur sekolah, saya kembali ke Kota Pekanbaru, Riau bersama Rahmat Wartira dan almarhum pulang kampunkg ke Air Haji, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Begitu bertemu lagi di asrama, saya selalu diajak makan dengan sambal Rendang Lokan, khas Pesisir Selatan. Yo sabana lamak (enak benar).

 

Setelah menyelesaikan pendidikan di Thawalib Padang Panjang, 1978, saya meneruskan pendidikan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN)yang sekarang berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). 

 

Sesampainya di kampus IAIN Imam Bonjol, saya ketemu lagi dengan almarhum, Prof Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, yang waktu itu mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan saya mahasiswa Fakultas Dakwah. Sedangkan Rahmat Wartira melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum, di Kota Bukittinggi.

 

Tetapi pertemaun kami di kampus, tidak semesra waktu di asrama Thawalib Padang Panjang. Kenapa? Karena masing-masing kami disibukan dengan masalah kuliah. Namun kalau kebetulan bertemu, almarhum Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, selalu menyebutkan kepada teman-temannya se fakultas, kalau saya yuniornya yang sering diangkat dan dilemparkan sebelum memulai latihan bermain voli. 

 

Waktu berlalu dan hari berganti hari dan akhirnrya saya pun meraih gelar serjana dengan embel-embel (drs), 1984 dan selanjutnya melamar di Harian Kompas Gramedia Grup sebagai wartawan dan ditugaskan dianak perusahaanya, di Harian Sriwijaya Post yang bermarkas di Kota Palembang, Sumatera Selatan dan ketemu juga dengan alumni IAIN almarhum Zaili Asril mantan pemimpin umum Harian Padang Ekpres. 

 

Setelah mengundurkan diri dari Kompas Graedia Grup, 1999, saya kembali ke Kota Padang menerbitkan mingguan Tabloid Bijak, bersama pengacara kondang Haji Abdul Kadir Usman, Fahkrul Rasyid HF dan Indra Sakti Nauli.

 

Begitu ketemu dengan almarhum di Kampus IAIN Lubuk Lintah, saya ditawarinya kuliah S2 dan katanya sayang kalau kuliah tidak dilanjutkan. Waktu itu almarhum menjadi  Direktur Pasca Sarjana IAIN IB, setelah menjadi rektor ke-14, 2007 sampai 2011.

 

Di akhir hayatnya, akibat serangan jantung dalam perjalanan menuju RS Siti Rahmah, 30 Agustus, 2018, almarhum menghembuskan nafas terakhrinya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Padang, sebagai saksi, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah kampus III IAIN Imam Bonjol, 2007.

 

Waktu itu banyak fitnah yang berhamburan setelah almarhum meninggal dunia, dari orang-orang yang tidak senang dengannya, waktu menjadi rektor. Jujur dan mohon maaf, kalau di kampus IAIN itu,  fitnah sudah merupakan kebiasaan buruk para intelektual muslim dan civitas akademika, jika akan memilih rektor. Kata tegasnya, menuduh tanpa fakta dan bukti, adalah fitnah, yang lebih kejam daripada pembunuhan. Selamat jalan kanda  Prof Dr Sirajuddin Zar, MA, semoga berbahagia di alam sana, bersama Allah dan rasulnya. (Penulis pemimpin Umum Tabloidbijak.com)