Menyikapi Ota di Lapau
Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 20 Juli 2020 14:44:35 WIB
Oleh: Yal Aziz
BAGI sebagaian masyarakat di nagari-nagari Sumatera Barat, kebiasaan berkumpul di Lapau (warung, kedai) sudah bisa dikatakan merupakan kebiasaan sebelum pergi ke sawah, kebun dan aktifitas lainnya. Bahkan, seusai shalat subuh, masyarakat tersebut telah memanfaatkan Lapau untuk bertemu dan bercerita tentang berbagai kehidupan. Begitu juga seusai shalat magrib.
Jadi Lapau diberbagai nagari di SUmatera Barat, tak hanya sebagai tempat serapan pagi, tapi juga telah menjadi akjang dialog dan diskusi.
Bagi petani sawah, masyarakat tersebut akan bercerita tentang bibit padi sawah, pupuk organik yang baik dan bagus, serta hama yang menyerang tanaman padinya. Begitu juga dengan petani yang memanfaatkan tanahnya untuk bercocok tanam, seperti terong, lobak, cabe dan komoditi tanaman lainya.
Dari dialog di Lapau tersebut, para petani tak hanya bercerita masalah hasil tanamannya, tapi juga berciloteh masalah hama dan harga jual. Di Lapau tersebut, masyarakat juga memanfaatkan untuk saling bertukar informasi dan pengalamannya bercocok tanam dan bahkan sampai kepembicaraan politik tentang partai dan calon anggota legislatif dan calon presiden. Bahkan, Lapau sudah bisa dikatakan sebagai ajang untuk bertukar informasi.
Berita atau lebih cocok disebut ‘kabar’ bohong, saat ini bertebaran di media-media sosial (medsos). Perdebatan di dunia nyata memang tidak bisa dikatakan steril dari informasi bohong. Namun di dunia nyata lebih jelas sumbernya, siapa yang berkata atau mengatakan. Dengan demikian ada yang bertanggung jawab. Di samping itu, perdebatan di dunia nyata baik yang sifatnya formal maupun non-formal, lebih mudah ditangkal jika memang bohong. Caranya, cukup sampaikan bukti atau data yang faktual.
Tidak demikian halnya dengan perdebatan yang terjadi di dunia maya (medsos). Yang namanya dunia maya semuanya sulit dideteksi. Memang, setiap medsos ada akun pemiliknya. Namun butuh kerja keras dan waktu yang lama untuk membuktikan siapa pemilik medsos tersebut. Sehingga yang kita lihat bahkan kita rasakan sendiri, semua kabar atau informasi tersedia. Mulai dari yang benar-benar nyata (jelas kebenarannya) hingga yang bohong. Bahkan tidak sedikit yang melengkapinya dengan ujaran kebencian (hate speech).
Berbeda dengan media massa yang diproduksi oleh para wartawan, netizen atau warganet--sebutan untuk pengguna medsos tidak dibekali dengan sikap skeptis. Wartawan diharuskan skeptis--sikap untuk tidak percaya atas informasi yang diperolehnya. Dengan sikap skeptis itu, seorang wartawan harus melakukan verifikasi sebelum berita disiarkan di media massa. Verifikasi baik itu melalui cek dan ricek, turun langsung ke lapangan untuk melihat lokasi atau menemui narasumber, bertujuan tidak hanya agar berita itu berimbang, tapi juga untuk memperoleh kebenaranya yang sesungguhnya.
Sementara netizen dan warganet, tidaklah demikian. Para netizen umumnya ingin menjadi yang ‘pertama’. Ketika memperoleh informasi di grup medsos di mana bergabung, ia langsung menyebarkan (share) informasi tersebut ke grup lainnya, hanya untuk menjadi yang ‘pertama’ tanpa memverifikasi kebenaran informasi tersebut.
Kondisi ini yang betul-betul dimanfaatkan oleh ‘produsen’ berita bohong dan ujaran kebencian. Banyak warganet yang tidak sadar telah dimanfaatkan oleh produsen hoaks dan hate speech ini. Sedih kita melihat warganet seperti ini. Namun karena pemahaman yang sedikit membuat mereka menerima informasi bohong itu begitu saja dan menyampaikan ke lain hanya untuk dikatakan, mereka yang pertama mendapat informasi tersebut.
Pada sisi lain, sebenarnya ada warganet yang tahu dan sadar bahwa informasi yang diterimanya bohong. Namun karena fanatismenya yang berlebihan pada satu pihak atau golongan yang membuatnya ‘tuli’ dan ‘buta’ akan kebenarannya. Pada warganet golongan ini verifikasi itu mereka jalankan. Namun verifikasi yang mereka lakukan bukan mencari kebenaran melainkan ‘membenarkan’ kelompok atau golongannya. Jika ada informasi yang masuk mereka akan memverifikasi dengan dasar menguntungkan atau setidaknya berpihak pada keyakinan kelompok dan golongannya. Jika tidak sesuai informasi tersebut dibuang ke kotak sampah. Namun sebaliknya, jika menguntungkan akan segera disebarkannya.
Kondisi yang sudah sangat menghawatirkan ini salah satunya hanya bisa dicegah melalui literasi media. Memang sulit untuk menghadapi warganet yang punya fanatisme buta. Tapi literasi media harus dilakukan. Oleh siapa? Oleh kita semua, setidaknya dari lingkungan kita masing-masing.
Kedepan kita berharap agar masyarakat kian cerdas dalam menyikapi setiap adanya inormasi dengan memakai tolak ukur antara logika bahasa dengan logika fakta. maksudnya, antara logika bahasa dengan logika aktanya klop ndak. Semoga. (Penulis wrtawan tabloidbijak.com dan berbagai sumber)