Memanusiakan Manusia di Lembaga Pemasyarakatan

Memanusiakan Manusia di Lembaga Pemasyarakatan

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 23 Juni 2020 16:21:15 WIB


Oleh Yal Aziz

DULU namanya penjara dan kini telah dirobah sebutannya dengan Lembaga Pemasyarakatan yang disingkat Lapas. Keberadaan Lapas ini sebagai tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.

Sedangan pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.

Kalau kita berbicara sejarah, sebenarnya konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962. Waktu itu tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, melainkan juga tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.

Pada tahun 2005, jumlah penghuni Lapas di Indonesia mencapai 97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141 orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya kelebihan kapasitas pada tingkat hunian Lapas.

Untuk itu wajar saja jika Lembaga Pemasyarakatan mendapat kritik atas perlakuan terhadap para narapidana. Kenapa? Karena kurangnya keseriusan pegawai Lapas menjalankan tugasnya untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana. Bahkan, ada tudingan kalau petugas Lapas memanfaatkan narapidana sebagai objek penambahan pendapatan atau yang dikenal juga dengan istilah pungli.

Yang ironisnya lagi,  Lapas juga disorot menghadapi persoalan beredarnya obat-obatan terlarang di kalangan napi dan tahanan, serta kelebihan penghuni dan rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam penjara. Persoalan tersebut terjadi karena lemahnya pengawasan dari lembaga yang membawahi Lapas.

Kini sudah saatnya memanfaatkan k eberadaan Lapas yang tak hanya sebagai tempat pembinaan mental narapidana, tetapi juga menjadi ajang untuk menciptakan wirausaha dengan berbagai keahlian. Tujuannya agar selepas masa hukumannya, narapidana mampu untuk hidup mandiri dengan hasil kerjanya sendiri.

Caranya, bisa saja dinas tenaga kerja menjalin kerjasama dengan kementerian kehakiman untuk melakukan pembinaan persiapan kerja bagi setiap narapidana, sehingga narapidana begitu lepas atau bebas. bisa menjalankan kehidupan sebagaimana masyarakat biasa.

Kita pun berharap epada anggota dean yang terhormat DPRD Provinsi SUmatera Barat untuk berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan untuk mencari masukan, serta melihat secara langsung kondisi di Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Tujuannya tentu, agar anggota dewan yang terhormat punya inisiatif untuk memikirkankan kerjasama dengan lembaga pemasyaratan. Dan yang tak kalah pentingnya, agar anggota dewan yang terhormat memperhatikan berbagai persoalan narapdana, mulai dari tempat tdur sampai kepada masalah makanan dan gizi serta masalah kesehatan. Semoga? (Penulis wartawan tabloidbijak.com Plt Ketua JMSI Sumbar)