Pahlawan dan Trauma Perang

Pahlawan dan Trauma Perang

Artikel () 21 November 2019 09:55:00 WIB


Perayaan Hari Pahlawan tahun ini (2019) bagi masyarakat Sumbar sedikit-banyaknya ada perbedaan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan kepada Ruhana Kudus, yang berasal dari Sumatra Barat. 

Saya mencoba melihat kisah Ruhana Kudus ini dengan penelusuran di dunia maya. Dari internet dapat diketahui bahwa Ruhana Kudus adalah sosok yang fokus dalam kemajuan kaun wanita. Hal ini dibuktikan dengan pendirian sekolah khusus wanita yang memberikan keterampilan khusus kepada para wanita agar mereka semakin berdaya. Kisah Ruhana Kudus dalam memberdayakan wanita pada masanya ini masuk dalam koran berbahasa Belanda sehingga namanya pada saat itu juga dikenal oleh orang-orang di Belanda. 

Di samping itu Ruhana Kudus juga seorang penulis dan wartawan yang pada masanya kiprahnya sudah dikenal dengan baik. 

Selain pemberian gelar pahlawan untuk Ruhana Kudus, hal yang juga cukup menarik bagi saya terkait momen hari pahlawan tahun ini adalah sebuah tulisan di Majalah Historia. Dalam versi onlinenya ada sebuah tulisan yang cukup menarik bagi saya yang berjudul, “Trauma Serdadu Belanda”. 

Di paragraf awal disebutkan bahwa kekejaman perang di Indonesia membuat banyak prajurit Belanda stress dan mengalami gangguan jiwa hingga usian senja. Saya memang baru mengetahui bahwa ternyata penjajah itu ada juga yang mengalami stress dan gangguan jiwa hingga hari tuanya. 

Jika melihat film-film buatan Amerika yang berkisah tentang perang, ada adegan yang memperlihatkan bahwa tantara Amerika ketika di medan perang mengalami stress dan gangguan jiwa. 

Tetapi jika dikaitkan dengan kondisi hari ini, ada juga berita atau kisah tentang tantara yang stress atau mengalami gangguan jiwa. Tapi yang ini agak lain, karena mereka membunuh anak-anak. Itulah kisah tantara Israel yang stress atau mengalami gangguan jiwa akibat membunuh anak-anak. 

Kembali ke tentara Belanda yang stress, Historia menulis bahwa anak seorang tentara  Belanda yang pernah melakukan kekejaman di Sulawesi Selatan menceritakan bahwa ayahnya hingga usia tua masih diwarnai trauma dan penyesalan terhadap perbuatannya. Sang anak juga menceritakan bahwa teman-teman ayahnya sesama tantara yang terjun di perang Indonesia juga mengalami hal yang sama seperti ayahnya. Bahkan ada yang menjadi gila beneran.   

Dan ternyata, di Belanda ada pembuatan film documenter tentang kisah nyata para tantara Belanda yang mengalami stress di masa tua akibat kekejaman yang dilakukan di Indonesia. Sehingga bagi public Belanda sendiri tidak merupakan hal yang aneh jika ada tantara yang stress. 

Historia juga menceritakan tentang tentara Belanda yang melihat anak gadis memeluk ibunya yang tertembak bersama adiknya oleh senjata Belanda sehingga tentara itu merasakan kepedihan hingga hari tuanya. 

Para tentara Belanda yang pernah bertugas di Indonesia dan merasakan kepahitan dalam bertugas tidak ingin menceritakan kisah mereka kepada siapapun di hari tua mereka. 

Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa penjajahan memang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan seperti yang tersebut dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945. 

Itu artinya, perbuatan menjajah termasuk kepada sesame anak bangsa sendiri kelak akan memberikan dampak buruk di kemudian hari. Oleh sebab itu, masih di bulan hari pahlawan ini, sudah selayaknya kita menjadi pahlawan masa kini seperti yang menjadi tema perayaan hari pahlawan tahun ini. Jangan sampai kita malah menjadi penjajah yang menyiksa orang lain, karena dampak buruknya akan kita tanggung di kemudian hari. (efs)

Referensi: historia.id

ilustrasi: freefoto dot com