Menertibkan Pengamen dan Pengemis di Objek Wisata Kota Padang

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 08 Oktober 2019 15:36:56 WIB



Oleh Yal Aziz

PERSOALAN menjamurnya pengamen dan pengemis di Kota Padang perlu menjadi perhatian serius, baik oleh pemerintah daerah, maupun tokoh masyarakat, baik itu dari alim ulama, maupun para ninik mamak. Kenapa? Karena persoalan pengamen dan pengemis ini di Kota Padang, sudah bisa dikatakan "penyakit masyarakat yang sudah akut dan kronis."

Secara sederhana bisa kita pahami, bahwa profesi pengemis merupakan aktifitas seserang yang meminta belas kasihan dengan berakting mengiba-iba. Gaya dan intonasinya, sudah diatur sedemikian rupa, dengan tujuan muncul rasa iba dan kasihan.

Sedangkan pengamen,  beraktifitas meminta-meminta dengan bernyanyi atau bermain musik dengan alat musik seadanya. Tujuannya, selain menghibur, juga mengharapkan belas kasihan dari setiap orang yang mereka kehendaki, diberbagai objek wisata.

Secara sosiologis dan psikologis, kita belum mengetahui benar, apakah para pengemis ini benar-benar orang kurang mampu, atau hanya orang-orang yang malas bekerja keras dan mereka  bisa melakukan akting berbagai cara dan gaya. 

Berdasarkan tanyangan di salah satu  televisi di Indonesia yang pernah mengungkap persoalan pengemis ini, ternyata penghasilan pengemis tersebut cukup besar dan di kampung halamannya. Bahkan, ada pengemis tersebut yang  memiliki rumah mewah dan berpetak-petak sawah, dikampung halamannya. 

Diakui, memberi sedekah kepada fakir miskin memang dianjurkan ajaran agama, tetapi kalau memberi sedekah kepada pengemis berarti memberikan kesempatan kepada mereka untuk bermalas-malasan, sehingga menjadikan mengemis sebagai profesi.

Kini sudah saatnya kita instropeksi diri dan ikut menertibkan para pengemis ini yang berkeliaran di berbagai objek wisata di Kota Padang. Soalnya, dalam KUHP Pasal 504 telah dengan tegas ada larangan untuk mengemis.  "(1)   Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu. (2)   Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan."
 
Begitu juga dengan Pasal 505 KUHP."(1)   Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (2)   Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan."

Selanjutnya Pemda DKI Jakarta,  juga membuat larangan mengemis sebagaimana diatur di dalam Perda DKI Jakarta Nomor  8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Bahkan di dalam Pasal 40 Perda DKI 8/2007, tak hanya mengatur mengenai larangan untuk mengemis, tetapi juga melarang orang memberi uang atau barang kepada pengemis.
 
Selain itu, dalam upaya menanggulangi gelandangan dan pengemis, pemerintah juga telah menerbitkan PP Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Bahkan PP Nomor 31 Tahun 1980 juga dijelaskan definisi gelandangan dan pengemis.


Jadi, mengemis dan menggelandang merupakan tindak pidana pelanggaran. Larangan mengemis atau menggelandang diatur dalam Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP maupun di dalam Perda, seperti halnya di wilayah DKI Jakarta, yaitu dengan Perda DKI 8/2007. Sanksi pidana secara umum untuk kegiatan menggelandang dan mengemis diatur dalam KUHP, namun Pemerintah Daerah dapat menetapkan peraturan soal larangan mengemis dan menggelandang. 

Khusus di Kota Padang, kita berharap walikota dan anggota dewan yang terhormatnya juga menentukan sikap tegas masalah menjamurnya para pengemis dan sekaligus persoalan pengamen. Tujuannya agar objek wisata aman dan nyaman dari gangguan pengemis dan poengamen.  Semoga!!! (penulis wartawan tabloidbijak.com dan ketua smsi sumbar)