Perang Dagang AS dan China

Perang Dagang AS dan China

Artikel () 20 Mei 2019 19:51:05 WIB


Entah sudah berapa lama terjadi perang dagang antara AS dengan China. Hal ini ternyata memberikan dampak negatif kepada pelaku perang tersebut. harian Bisnis Indonesia edisi 16 Mei 2019 dalam salah satu halamannya menulis berita dengan judul “Kala China Kehilangan Momentum”. Disebutkan di situ bahwa China mengalami perlambatan ekonomi. hal ini dijelaskan dengan melambatnya investasi dan penjualan ritel. 

Akibat pengumuman Trump yang menaikkan tarif impor dari China sebesar 200 miliar dolar AS atau setara dengan kenaikan tarif dari 10% menjadi 25% di Mei 2019 turut mengagetkan produsen di China.

Pertumbuhan output industri diberitakan melambat menjadi 5,4% secara tahunan per April di mana rekor perbulan dicapai 8,5% sebelum April. Dan akibat tarif impor tinggi yang dikenakan AS serta permintaan global yang melemah, ekspor China menurun.  

Sementara itu penjualan ritel di China merupakan yang terburuk sejak Mei 2003. Pertumbuhannya hanya 7,2% secara tahunan. Padahal secara bulanan, di Maret angkanya 8,7% dan April 8,6%. Selain itu, penjualan mobil China juga turun 14,6%.  

Di China, investasi masih ditopang oleh negara, di saat pihak swasta mulai mengalami kelesuan. Yang tetap menjadikan ekonomi China bertahan adalah belanja infrastruktur pemerintah. Pertumbuhannya stabil di angka 4,4%. 

Di tengah perang dagang antara AS dengan China, ekonomi Indonesia pun turut mengalami kelesuan. Neraca dagang Indonesia mengalami defisit 2,5 miliar dolar AS, di mana di sektor migas defisitnya sebesar 1,49 miliar dolar AS.

Selain itu, pertumbuhan impor barang konsumsi mengalami kenaikan sebesar 24,12%, menjadi 1,42 miliar dolar AS. Sementara impor bahan baku/penolong naik 12,09% menjadi 11,33 miliar dolar AS. Impor barang modal juga mengalami kenaikan 6,78% menjadi 2,35 miliar dolar AS. 

Dampak dari kondisi ini berimbas kepada pasar modal. Indeks harga saham gabungan mengalami penurunan. Dan investor banyak yang melepaskan dananya, terutama investor asing. Setidaknya dalam 3 hari investor asing telah melepaskan dananya sebesar 2,15 triliun di pasar modal. 

Beranjaknya investor asing dari pasar modal Indonesia, membawa dana mereka keluar. Hal ini berdampak kepada penurunan harga saham. Turunnya harga saham ikut mencerminkan nilai perusahaan yang ada di pasar modal. Sedikit banyaknya ikut mempengaruhi persepsi terhadap perusahaan milik pemerintah yang telah go public. Bayangkan jika saham mereka dihargai rendah di pasar modal. Ini akan memberikan persepsi yang kurang baik di mata internasional. Namun demikian, saya melihat masih tetap ada perusahaan pemerintah yang sudah go public memiliki nilai saham yang baik, meskipun mengalami penurunan akibat penjualan massif oleh investor asing. 

Sebagai negara yang menganut sistem makroekonomi terbuka, kita memang harus siap menerima risiko terjadinya perang dagang seperti AS dengan China. Namun, harus juga dilakukan antisipasi agar ekonomi nasional tidak ikut melemah dan memburuk. Semoga itu tidak terjadi. (efs)

Referensi: Bisnis Indonesia, 16 Mei 2019

ilustrasi: shutterstock dot com