Kartini dan Emansipasi

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 26 April 2019 00:00:00 WIB


SEANDAINYA Raden Ajeng Kartini masih hidup, so pasti pahlawan wanita dan tokoh emansipasi wanita ini akan tersenyum melihat peran dan peranan wanita dalam berbangsa dan bertanah air saat ini. Kenapa? Karena di era melenial sekarang ini telah banyak diantara wanita Indonesia yang punya peran dan peranan penting dalam hidup berbangsa, seperti adanya wanita yang menjadi menteri   bahkan di Indonesia pernah dipimpin seorang wanita sebagai presiden, yakni Megawati Soekarno Putri. 

Sesara sosiologis, wanita merupakan bagian terbesar dari masyarakat secara umum, sehingga secara umum juga menentukan keadaan suatu masyarakat. Akan tetapi, walau wanita merupakan bagian terbasar dari masyarakat secara umum, terdapat suatu kecenderungan yang bersifat bias gender, yaitu menganggap suatu pekerjaan hanya baik jika dikerjakan laki-laki. Kecenderungan masyarakat akan mengutamakan kaum laki-laki inilah yang mendorong timbulnya emansipasi wanita.

Emansipasi wanita, atau yang dikenal juga dengan feminisme, suatu pandangan yang menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan belakangan ini kian meningkat jumlahnya. Pada Desember 2011, Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang Kesetaran dan Keadilan Gender (KKG). RUU tentang Kesetaran dan Keadilan Gender ini merupakan respons terhadap berbagai kebijakan tetanng  gender, terutama UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.  

Kemudian penerapan UU tersebut dianggap belum mengakomodasi kebutuhan perempuan, padahal diskriminasi terhadap perempuan masih terasa di berbagai bidang (Antara, Desember 2011). RUU ini juga merespons pelaksanaan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Salah satu komitmen MDGs adalah mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender serta pemberdayaan perempuan yang sasarannya tercapai pada 2015 (Kompas, April 2011).

Secara statistik, penduduk Muslim di Indonesia 81.5% dari populasi atau setara dengan 240.271.522 jiwa (CIA, 2009).

Di Indonesia sendiri emansipasi wanita yang sangat terkenal adalah yang dilakukan Raden Adjeng Kartini. Raden Adjeng Kartini sendiri adalah seorang dari kalangan priyayi, atau kelas bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. 

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya sebagai pelopor kebangkitan perempuan, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. 

Sebenarnya, jauh sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajat wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemuliaan wanita. Bahkan Islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki. Semua sama di hadapan Allah SWT, dan yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. 

Secara historis pada awal berdirinya Islam telah banyak wanita-wanita yang berjaya, mereka adalah Aisyah binti Abu Bakar(wafat 58 H), Hafsah bintiUmar (wafat 45 H), Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H), Khadijah bintiKhuwailid (wafat 3 SH), Maimunah binti Harits (wafat 50 H/670 M), Ummu Salamah (wafat 57H/676 M), Zainab binti Jahsy (wafat 20 H), Fatimah binti Muhammad (wafat 11 H), Ummi Kultsum binti Muhammad (wafat 9 H/639 M), Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.) dan lain sebagainya. Merekalah yang telah memberikan suri tauladan yang sangat mulia untuk keberlangsungan emansipasi wanita, bukan saja hak yang mereka minta akan tetapi kewajiban sebagai seorang wanita, istri,anak atau sahabat mereka ukir dengan begitu mulianya.

Tidak diragukan lagi bahwa wanita di masa jahiliah tidak memiliki nilai sedikitpun dalam kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, yang tergantung kemauan penggembalanya. Mereka ibarat budak piaraan yang tergantung kemauan tuannya. Sesungguhnya, status sosial wanita menurut bangsa Arab sebelum Islam sangatlah rendah. Hingga sampai pada tingkat kemunduran dan keterpurukan, kelemahan dan kehinaan, yang terkadang keadaannya sangat jauh dari martabat kemanusiaan. Yang ironisnya, hak-hak mereka diberangus meskipun hanya menyampaikan sebuah ide dalam urusan hidupnya. Tidak ada hak waris baginya selama dia sebagai seorang perempuan. 

Sedangkan dalam islam kaum wanita memiliki kedudukan yang tinggi dan memiliki hak yang sama dalam mengamalkan agama. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syariat sesuai dengan fitrah penciptaannya. Hal ini masuk dalam keumuman firman-Nya (yang artinya): “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah:286).

Islam juga telah mengabadikan nama wanita yang dalam bahasa Arab An-nisa kedalam salah satu surat dalam Al-quran, dan islam juga tidak melarang wanita untuk berperang atau berjihad di jalan Allah SWT melawan orang-orang kafir, dalam hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita terkemuka Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra berkata : ”Kami pernah bersama nabi SAW dalam peperangan, kami bertugas memberi minum para prajurit, melayani mereka, mengobati yang terluka, dan mengantarkan yang terluka kembali ke Madinah.

Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda : “Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan mujahid fi sabilillah. Mereka mengarungi permukaan lautan bagaikan raja-raja di atas singgasananya.” Lalu tiba-tiba Ummu Haram ra berkata: “Ya Rasulullah, doakan saya termasuk diantara mereka itu.” Lalu Nabi SAW mendoakannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam islam memang ada yang disebut emansipasi wanita dari zaman jahiliah dimana wanita diperlakukan buruk hingga ditinggikan kedudukannya dalam islam. 

Kini kita tentu berharap kepada tokoh-tokoh dan sosok wanita yang ada dijajaran menteri dan anggota dewan yang terhormat di DPR RI untuk terus berkarya untuk bangsa tanpa melupakan kodrat sebagai istri dan ibu rumah tangga yang punya tanggungjawab moral untuk melahirkan generasi Indonesia kedepan. 

Khusus wanita Minang, agar jadilah wanita yang taat beragama dan selalu bepegang teguh dengan adat dan budaya yang menjadi ciri khas wanita Minangkabau. (berbagai sumber-dan penulis wartawan tabloidbijak.com)