Tugas Perempuan Minang dalam Rumah Tangga
Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 22 November 2018 15:58:42 WIB
SECARA budaya dan adat ketimuran atau budaya Ranah Minang, seorang perempuan yang telah menikah atau menjadi istri, tugasnya mengasuh anak atau mengrus keluarga, termasuk mengurus masalah makan dan pakaian suaminya. Bahkan, sejak prasejarah, kegiatan memasak dan tinggal di rumah merupakan urusan perempuan. Sedangkan urusan laki-laki berburu dan bekerja. Sehingga banyak pandangan yang mengatakan bahwa, percuma saja perempuan berhasil dalam karier jika keluarganya berantakan. Oleh karena itu, tolok ukur kesuksesan bagi perempuan masa kini adalah apabila keberhasilan membangun karier dibarengi dengan kesuksesan mengelola rumah tangganya.
Kemudian pengaruh budaya dan tradisi ketimuran menjadikan perempuan-perempuan Minangkabau mampu berperan menjalankan tugas ganda, baik sebagai ibu rumah tangga dalam fungsi pengasuhan anak dan keluarga di sektor domestik sekaligus sebagai wanita pekerja yang sejajar dengan laki-laki di sektor publik.
Perempuan secara kodrat telah dilengkapi dengan kekuatan-kekuatan yang tidak dimiliki laki-laki, sekalipun dalam kehidupan rumah tangga. Secara tioritis, pada umunya seorang lelaki memiliki peran lebih tinggi. Mendefinisikan kesuksesan bagi perempuan Minangkabau masa kini khususnya yang sudah menikah, tidaklah mudah. Namun demikian, paling tidak emansipasi bagi perempuan tidak lagi dimaknai sebagai ‘keinginan perempuan untuk sederajat dengan laki-laki’, tetapi lebih ke arah kebebasan untuk memilih jalan hidup.
Selanjutnya dalam proses menentukan jalan hidupnya tersebut perempuan menggunakan otaknya untuk berpikir, maka perempuan juga harus bertanggung jawab atas pilihannya. Secara kodrati, perempuan mempunyai tugas melahirkan anak, dan secara budaya perempuan mempunyai tugas mengasuh anak.
Maksudnya secara kodrat, sesuatu yang diberikan Allah yang tanpa bisa ditolak lagi, sementara budaya mengasuh anak apalagi tunduk kepada laki-laki adalah merupakan suatu pilihan dan bukan bukan kodrat. Makanya ketika memasuki jenjang perkawinan, banyak kepentingan perempuan yang kemudian saling berbenturan karena semua tampak menjadi begitu kompleks.
Konflik batin terjadi saat seorang perempuan ”dituntut” menjadi ibu yang bertanggung jawab atas keberadaan anak dan tetap utuhnya rumah tangga, tetapi di sisi lain mereka dihadapkan pada keinginan untuk meraih kemajuan dari balik dunia kerja. Kondisi ini memunculkan dilema yang bisa menjadi perangkap bagi perempuan. Mereka kemudian seolah-olah harus memilih salah satu: keluarga atau karier?
Kini ada persoalan utama yang harus dipahami. Maksudnya, keberhasilan dalam karier dan dalam rumah tangga bukan dua hal yang bertolak belakang. Artinya, bukan mustahil kesuksesan dalam kedua hal ini dicapai bersama.
Jadi, bila pasangan suami istri punya ambisi untuk sukses dalam kedua hal ini, sepakati bersama dulu apa yang diinginkan. Dan revisi kesepakatan tersebut dari waktu ke waktu.
Definisikan apa yang dimaksud dengan kesuksesan dalam karier dan apa yang dimaksud dengan berhasil mengurus rumah tangga. Ini penting agar di belakang hari tidak terjadi saling menyalahkan. Karena, walau kini perempuan dituntut berperan di luar rumah, bila tidak ada frame yang sama antara suami dan istri, bisa terjadi suami menyalahkan istri. Biasanya, memang, istri dianggap paling bertanggung jawab atas urusan rumah tangga.
Perlu juga dipikirkan konsekuensi-konsekuensi dari kesepakatan berdua. Kalau mau mengejar ambisi di karier, misalnya, berapa jam dalam sehari akan digunakan untuk bekerja? Dan, bagaimana dengan anak-anak? Sangat perlu disadari bahwa kemampuan manusia terbatas.
Pikirkan juga kemungkinan terburuk. Bisa jadi salah satu tidak optimal, atau mungkin keduanya tampak optimal, tapi hanya dari luar. Misalnya, dari luar kelihatan tidak ada masalah: perkembangan anak bagus, bicaranya lancar, dan di sekolah pintar. Tapi kalau kita bicara soal perkembangan emosi dan kepribadian anak, ternyata ada sesuatu yang hilang. Ini hanya bisa dirasakan anak, tetapi belum tentu dapat ia ekspresikan. Kalau kita tidak intens bersama anak dan tidak peka, masalah ini tidak akan terdeteksi.
Karena itu, harus ada pengganti kita yang bisa diandalkan. Dia bisa pembantu, babysitter , atau kerabat. Bahkan kakek-nenek bisa jadi back up atau malah mungkin saja jadi pengasuh utama. Ini penting agar kebutuhan anak akan attachment terpenuhi. Namun, bagaimanapun, orang tualah yang berperan agar anak tak kehilangan attachment yang penting untuk perkembangan emosional anak.
Selain attachment, momen-momen penting seperti menyaksikan anak saat pertama kali bisa berjalan, menemani anak masuk sekolah pertama kali, atau melihat pementasan pertamanya di sekolah, patut diprioritaskan. Untuk kesejahteraan emosional dikaitkan dengan peran orang tua, momen-momen ini bisa dirasakan sebagai momen yang indah dan bermakna. (berbagai sumber dan penulis wartawan tabloidbijak.com)