Mewaspadai Perdagangan Manusia dan Pekerja Anak
Artikel () 28 September 2018 10:03:23 WIB
Harian Republika edisi 28 September 2018 dalam salah satu halamannya menulis berita berjudul “20 Perempuan Hampir Jadi Korban Perdagangan Orang”. Dalam berita tersebut diceritakan bahwa mereka disekap oleh perusahaan jasa penyalur TKI di kawasan Jakarta Timur. Di antara mereka ada yang disekap hingga 3 bulan.
Penemuan kasus 20 perempuan ini bisa terungkap setelah dilakukannya sidak (inspeksi mendadak) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama sejumlah instansi. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak juga menginformasikan bahwa sudah banyak calon TKI yang akan dikirim ke luar negeri secara illegal yang bercerita bahwa mereka ditipu.
Melihat kasus ini, maka tentunya kita harus semakin waspada. Saat ini iming-iming bekerja di luar negeri dengan tawaran gaji menggiurkan sering ditelan mentah-mentah. Banyak yang tertipu karena biasanya mereka hidup sendiri-sendiri, tidak punya teman atau tidak bergabung di komunitas. Sehingga mereka mudah tertipu.
Maka salah satu solusinya adalah mengaktifkan diri atau bergabung di komunitas pemberdayaan perempuan atau komunitas lain yang jelas statusnya dan riil memberikan manfaat positif. Di samping itu bagi pemerintah dan aparat, yang selama ini sudah bekerja keras memerangi perdagangan manusia ini semoga semakin bisa meningkatkan lagi kinerjanya. Dan juga menelurkan inovasi dalam memerangi perdagangan manusia.
Jika kita melihat secara lebih dalam, perdagangan manusia tidak kalah jahatnya dengan terorisme atau radikalisme. Sangat sedih rasanya jika teman kita atau saudara kita ada yang mengalami kasus perdagangan manusia ini. Bisa dibayangkan jika ibu kehilangan anaknya, pasti lebih sakit dan lebih sedih dibanding kehilangan perhiasan atau harta.
Berbicara tentang anak, ada satu kasus yang juga patut menjadi perhatian kita bersama yaitu ditemukannya anak-anak Indonesia yang dipenjara di Australia. Majalah Tempo edisi 10-16 September 2018 menjadikan topik utamanya dengan judul “Anak Indonesia di Bui Australia”.
Anak-anak asal Indonesia dipenjara di Australia karena dituduh membawa imigran gelap dari Timur Tengah. Dan ketika diperiksa pihak keamanan Australia dengan alat khusus dinyatakan umur mereka sebagai orang dewasa, bukan anak-anak. Dan ironisnya anak-anak itu tidak membawa tanda pengenal. Sehingga ketika dianggap sebagai orang dewasa tidak bisa membantah.
Sebagian anak-anak yang di penjara itu berasal dari keluarga miskin. Mereka bekerja di pelabuhan sebagai kuli angkut, anak buah kapal, atau buruh nelayan. Mereka ini tidak bersekolah. Tergiur iming iming uang besar maka mereka ikut ajakan nahkoda kapal yang ternyata membawa imigran gelap. Ketika di laut kapten kapal kabur, maka anak-anak ini terpaksa atau dipaksa menjadi nahkoda oleh para imigran. Dan akhirnya ditangkap aparat keamanan Australia.
Belajar dari kasus ini, semoga kita dijauhkan dari hal demikian. Dan jika menjadi kepala keluarga atau orangtua, sebaiknya anak-anak kita tidak disuruh bekerja. Karena selain zalim, rawan akan perdagangan manusia atau tindak kejahatan lain.
Oleh sebab itu, sebagai manusia kita harus hidup bermasyarakat, berkomunitas, membuat jejaring. Di samping itu tetap mesti banyak belajar. Akses internet yang kian mudah didapat adalah salah satu jalannya. (efs)
Referensi:
Republika, 28 September 2018
Majalah Tempo edisi 10-16 September 2018
ilustrasi: freefoto.com