Sekilas Sejarah Basilek jo Barandai Minangkabau

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 31 Agustus 2018 09:59:01 WIB



BARAJA BASILEK (Belajar ilmu beladiri silat). Meskipun tak ada catatan pasti tentang sejak kapanya orang Minangkabau belajar silat, yang jelas dari beberapa literatur dijelaskan, olahraga  silat merupakan seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kenapa? Karena masyarakat Minangkabau bisa dikatakan juga memiliki tabiat yang suka merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. 

Jadi sangat wajar, jika setiap anak nagari di Sumatera Barat belajar silat sebagai salah satu modal sebelum pergi merantau. Maksudnya, setiap anak nagari Minang yang akan merantau, tentu harus punya bekal untuk menjaga diri. Kemudian, belajar silat untuk pertahanan nagari terhadap ancaman dari pihak luar.

Namun sangat disayangkan data ilmiah tentang asal muasal silat tersebut tak punya catatan ilmiah juga. Bahkan, katanya, tradisi silat diturunkan secara lisan dan menyebar dari mulut ke mulut, diajarkan dari guru ke murid, sehingga catatan tertulis mengenai asal mula silat sulit ditemukan. Sejarah silat dikisahkan melalui legenda yang beragam dari satu daerah ke daerah lain. 

Legenda Minangkabau misalnya, menjelaskan silat (silek) diciptakan oleh Datuk Suri Diraja dari Pariangan, Tanah Datar di kaki Gunung Marapi pada abad ke-11. Kemudian silek dibawa dan dikembangkan oleh para perantau Minang ke seluruh Asia Tenggara. 

Begitu juga dengan cerita rakyat mengenai asal mula silat aliran Cimande, yang mengisahkan seorang perempuan yang mencontoh gerakan pertarungan antara harimau dan monyet. Setiap daerah umumnya memiliki tokoh persilatan (pendekar) yang dibanggakan, misalnya Prabu Siliwangi sebagai tokoh pencak silat Sunda Pajajaran, Hang Tuah panglima Malaka, Gajah Mada mahapatih Majapahit[butuh rujukan] dan Si Pitung dari Betawi.

Secara historis, perkembangan beladiri silat  mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum penyebar agama Islam pada abad ke-14 di nusantara. Kala itu pencak silat diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau atau pesantren. Silat menjadi bagian dari latihan spiritual.  Dalam budaya beberapa suku bangsa di Indonesia, pencak silat merupakan bagian tak terpisahkan dalam upacara adatnya. Misalnya kesenian tari Randai yang tak lain adalah gerakan silek Minangkabau kerap ditampilkan dalam berbagai perhelatan dan acara adat Minangkabau.

Sama juga halnya dengan prosesi pernikahan adat Betawi, yang juga  terdapat tradisi “palang pintu”. Maksudnya, peragaan silat Betawi yang dikemas dalam sebuah sandiwara kecil. Bahkan, acara tersebut  biasanya digelar sebelum akad nikah, yaitu sebuah drama kecil yang menceritakan rombongan pengantin pria dalam perjalanannya menuju rumah pengantin wanita dihadang oleh jawara (pendekar) kampung setempat yang dikisahkan juga menaruh hati kepada pengantin wanita. Maka terjadilah pertarungan silat di tengah jalan antara jawara-jawara penghadang dengan pendekar-pendekar pengiring pengantin pria yang tentu saja dimenangkan oleh para pengawal pengantin pria.
 
Jadi secara fungsinya silat dapat dibedakan menjadi dua yakni sebagai; 1.Panjago diri (pembelaan diri dari serangan musuh), dan kedua parik paga dalam nagari (sistem pertahanan negeri).

Untuk dua alasan ini, maka masyarakat Minangkabau pada tempo dahulunya perlu memiliki sistem pertahanan yang baik untuk mempertahankan diri dan negerinya dari ancaman musuh kapan saja. Silek tidak saja sebagai alat untuk beladiri, tetapi juga mengilhami atau menjadi dasar gerakan berbagai tarian dan randai (drama Minangkabau).

Namun kini, karena kamajuan tehnologi, boleh dikatakan sudah  langka juga anak nagari belajar silat. Khusus Kota Padang misalnya, mungkin hanya ada di Kecamatan Pauh, Kuranji dan Koto Tangah yang ada punya tapian tempat belajar silat. Khusus Pauh pun, rasanya bisa dibilang sudah langka juga semenjak almarhum Syaf Gojo meningal dunia. Tapi di Kuranji, katanya masih ada juga anak nagari yang belajar silat di perguruan Singo Barantai, yang dilatih salah seorang gurunya bernama Zulhendri Ismet. 

Kemudian, dengan adanya cabang olaharaga pencak silat, otomatis olahraga leluhur ini masih dipelajari juga oleh anak nagari. Tapi, sifatnya hanya untuk pertandingan, baik di kejuaraan tingkat Sumbar, nasional dan internasional. 

Sedangkan Randai, bisa dikatakan sebuah tarian Minangkabau yang boleh dikatan mengadopsi gerakan-gerakan  silat.

Emral Djamal Dt Rajo Mudo (2007) pernah menjelaskan bahwa pengembangan gerakan silat menjadi seni adalah strategi dari nenek moyang Minangkabau agar silat selalu diulang-ulang di dalam masa damai dan sekaligus untuk penyaluran "energi" silat yang cenderung panas dan keras agar menjadi lembut dan tenang. Sementara itu, jika dipandang dari sisi istilah, kata pencak silat di dalam pengertian para tuo silek (guru besar silat) adalah mancak dan silek. 

Kata mancak atau dikatakan juga sebagai bungo silek (bunga silat) adalah berupa gerakan-gerakan tarian silat yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukan.

Kata silek itu sendiri bukanlah untuk tari-tarian itu lagi, melainkan suatu seni pertempuran yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga gerakan-gerakan diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dan melumpuhkan lawan.]

Para tuo silek juga mengatakan jiko mamancak di galanggang, kalau basilek dimuko musuah (jika melakukan tarian pencak di gelanggang, sedangkan jika bersilat untuk menghadapi musuh). Oleh sebab itu para tuo silek (guru besar) jarang ada yang mau mempertontonkan keahlian mereka di depan umum bagaimana langkah-langkah mereka melumpuhkan musuh. 

Oleh sebab itu, pada acara festival silat tradisi Minangkabau, maka penonton akan kecewa jika mengharapkan dua guru besar (tuo silek) turun ke gelanggang memperlihatkan bagaimana mereka saling serang dan saling mempertahankan diri dengan gerakan yang mematikan. Kedua tuo silek itu hanya melakukan mancak dan berupaya untuk tidak saling menyakiti lawan main mereka, karena menjatuhkan tuo silek lain di dalam acara akan memiliki dampak kurang bagus bagi tuo silek yang "kalah". 

Namun dalam praktik sehari-hari, jika seorang guru silat ditanya apakah mereka bisa bersilat, mereka biasanya menjawab dengan halus dan mengatakan bahwa mereka hanya bisa mancak (pencak), padahal sebenarnya mereka itu mengajarkan silek (silat). Inilah sifat rendah hati ala masyarakat Nusantara, mereka berkata tidak meninggikan diri sendiri, biarlah kenyataan saja yang bicara. Jadi kata pencak dan silat akhirnya susah dibedakan. 

Saat ini setelah silek Minangkabau itu dipelajari oleh orang asing, mereka memperlihatkan kepada kita bagaimana serangan-serangan mematikan itu mereka lakukan. Keengganan tuo silek ini dapat dipahami karena Indonesia telah dijajah oleh bangsa Belanda selama ratusan tahun, dan memperlihatkan kemampuan bertempur tentu saja tidak akan bisa diterima oleh bangsa penjajah pada masa dahulu, jelas ini membahayakan buat posisi mereka.

Kedepannya, kita tentu hanya bisa berharap dan sekaligus menyarankan, agar silat tak hanya diajarkan kepada murid saat belajar di sekolah, tapi juga diajarkan diberbagai kelurahan dan disejalankan dengan program mangaji (belajar baca Al-Quran). Semoga (Penulis wartawan tabloidbijak.com dan berbagai sumber