Kerangka Makroekonomi 2019
Artikel () 26 Mei 2018 23:17:09 WIB
Judul tulisan ini tidak hendak menguraikan apa saja kerangka makroekonomi yang dimaksud. Karena terkesan ilmiah dan mungkin membosankan. Tapi saya hanya mencoba menyampaikan ulasan dari berita yang ditulis oleh Bisnis Indonesia edisi 25 Mei 2018 yang berjudul, “Rencana APBN: DPR Sepakati Kerangka Makro 2019”.
Judul berita ini cukup menarik, karena pada saat ini di tengah masyarakat kurs rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika. Di samping itu terjadi kenaikan harga Pertalite yang sebelumnya juga menngalami kenaikan di tahun yang sama, di tengah gencarnya masyarakat berpindah dari premium ke pertalite.
Kembali ke berita yang ditulis oleh Bisnis Indonesia, disebutkan bahwa sebagian besar fraksi di DPR menyetujui kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) yang diajukan pemerintah kepada DPR. Dua fraksi yang menyatakan tidak setuju adalah PAN dan Gerindra.
Adapun poin-poin yang disampaikan pemerintah di antaranya adalah, pertumbuhan ekonomi 5,4-5,8%, inflasi 3,5% +/-1%, nilai tukar rupah terhadap dolar AS Rp13.700-14.000, suku bunga SPN 4,6-5,2%.
Pro kontra dalam menanggapi asumsi yang disampaikan pemerintah ini tidak hanya di DPR RI, tetapi juga di kalangan ekonom. Saya sendiri melihatnya sebagai suatu hal yang realistis dan optimis.
Hal yang realistis di antaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang selama beberapa tahun belakangan berada di angka 5 persenan. Angka ini menandakan bahwa ekonomi Indonesia tidak buruk, namun juga tidak sangat baik, dan tetap bisa memberikan pengaruh positif kepada masyarakat luas.
Sementara inflasi yang ditargetkan di bawah 5% juga bisa dikatakan realistis. Sudah beberapa tahun angka inflasi tergolong rendah. Dan ini sudah seharusnya dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi untuk menjalankan usaha atau kegiatannya. Inflasi rendah ini juga menguntungkan masyarakat secara umum.
Yang perlu diberi peran besar adalah pihak swasta, karena kontribusi mereka selama ini cukup besar, baik dari usaha mikro, usaha kecil, maupun usaha menengah.
Salah satu hal yang positif menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru Indonesia adalah pariwisata. Dan pariwisata Indonesia memiliki pengaruh besar meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan munculnya kegemaran leisure time yang memiliki potensi pengeluaran cukup besar, dianggap mampu menjadi penggerak ekonomi.
Di sisi lain, tidak juga dinafikan adanya fenomena pelemahan daya beli akibat kenaikan tarif listrik atau pencabutan subsidi listrik, dan kenaikan harga pertalite yang tadinya sangat disukai masyarakat ketika harganya masih lebih terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.
Dengan plus minus ini, maka yang terbaik adalah memanfaatkan momemntum positif dengan dukungan kondisi ekonomi yang masih baik. Sedangkan adanya kekurangan atau dampak negative dari kondisi yang ada perlu dicari jalan keluarnya.
Satu hal yang tak kalah penting adalah komunikasi pemerintah kepada masyarakat perlu diperbaiki agar tidak terjadi salah paham yang cenderung kontraproduktif dan bahkan bisa memicu munculnya informasi yang tidak benar. Hal ini menyebabkan tidak tersampaikannya berbagai kemajuan pembangunan kepada masyarakat dan bisa dimaknai sebaliknya akibat ulah penyebar informasi yang keliru. (efs)
Referensi: Bisnis Indonesia, 25 Mei 2018
ilustrasi: freefoto.com