Jika Kartini Seorang Santri

Jika Kartini Seorang Santri

Artikel () 23 April 2018 18:46:38 WIB


Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati lahirnya Raden Ajeng Kartini. Wanita yang kemudian dijadikan sebagai tokoh atau pahlawan emansipasi wanita. Dalam pelajaran sejarah yang diberikan di bangku sekolah, cerita tentang RA Kartini tidak terlalu panjang. Kartini diceritakan sebagai wanita Jawa yang dipingit, kemudian menikah, lalu tak lama meninggal dunia. Kartini meninggal dalam usia 25 tahun. 

Dan dalam kehidupannya itu, Kartini rajin berkirim surat atau berkorespondensi dengan orang Belanda. Di antaranya yang terkenal dengan Rose Abendanon. Kartini merupakan seorang perempuan cerdas. Ini dibuktikan dari kemampuannya menguasai bahasa Belanda. 

Di samping itu Kartini dikenal sebagai orang yang kritis, baik kritis kepada peradaban Eropa maupun kepada situasi umat Islam pada masa itu. Salah satu yang dikritik Kartini adalah bahwa Alquran yang dibaca dalam bahasa Arab tidak ada yang menerjemahkan ke bahasa Jawa sehingga apa yang dibaca dalam Alquran maupun dalam salat tidak bisa dipahami apa artinya. Saking kesalnya Kartini terhadap kondisi demikian, ia tuangkan dalam tulisan suratnya kepada sahabatnya orang Belanda. 

Dalam buku yang ditulis oleh Taufiq Hakim yang berjudul “Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M” disebutkan bahwa ternyata kakek dan nenek Kartini dari pihak ibu adalah muslim yang taat. Ibu Kartini adalah putri dari seorang tokoh muslim yang taat. Dan kakek Kartini adalah seorang guru agama yang bernama Kiai Haji Mardirono. Sementara dari pihak ayah, Kartini adalah keturunan bangsawan, silsilahnya sampai ke Hamengkubuwana VI bahkan hingga Kerajaan Majapahit. 

Kartini menikmati Pendidikan ala Barat pada usia 12 tahun yaitu Europese Lagere School (ELS). Di ELS Kartini menjadi mampu menulis dan bicara dalam bahasa Belanda. Kartini mengalami masa pingitan yang merupakan tadisi Jawa pada waktu itu. Namun dalam pingitannya itu ia membaca koran Semarang De Locomotief berbahasa Belanda, berlangganan majalah Leestrommel yang juga berbahasa Belanda, majalah perempuan De Hollandsche Lelie yang juga berbahasa Belanda. Kartini sering mengirimkan tulisan ke De Hollandsche Lelie dan sering pula dimuat tulisannya itu. 

Buku bacaan Kartini di antaranya adalah “Max Havelaar dan Surat-surat Cinta” karya Multatuli, dan karya-karya terkenal lainnya berbahasa Belanda. Jika dalam pemikiran sosial dan peradaban Kartini berdiksusi dengan Pieter Brooshooft dan Rosa Abendanon, maka untuk masalah agama ia banyak mendapat pengetahuan dari Kiai Sholeh Darat. Pada pernikahan Kartini, Kiai Sholeh Darat memberikan kado berupa buku tafsir Alquran juz satu yang berjudul Faidh Al-Rahman. 

Pada sebuah pengajian yang diisi oleh Kiai Sholeh Darat di rumah Bupati Demak, Kartini pada saat itu hadir dan senang sekali mendengarkan uraian tafsir surat Al Fatihah yang disampaikan dalam bahasa Jawa. 

Kartini yang sebelumnya membaca Al Fatihah tidak mengetahui apa arti ayat yang dibaca tiba-tiba merasakan kesenangan yang luar biasa ketika mengetahui makna yang dikandung oleh surat Al Fatihah. Karena pada masa itu Kolonial Belanda melarang Alquran diterjemahkan ke bahasa lokal. Pada waktu itu adalah dua tahun sebelum Kartini menikah. 

Maka setelah mendapatkan tafsir Al Quran tersebut Kartini sangat antusias mempelajari Islam. Kartini sangat mencintai Alquran dan semakin mencintai ajaran Islam. 

Hikmah yang bisa diambil dari uraian ini adalah, generasi saat ini terutama kaum perempuan bisa mencontoh Kartini yang memiliki daya kritis, senang membaca, memiliki kemampuan menulis, mampu berbahasa asing dengan baik, memiliki intelektualitas yang baik, mencintai Alquran, mencintai agamanya (Islam). Ini arrtinya Kartini sebagai wanita tidak hanya urusan dunia yang ia kuasai, namun urusan akhirat pun ia pelajari, karena setelah mempelajari Alquran justru ia semakin menemukan kesempurnaan hidup. (efs)

Referensi: Taufiq Hakim, “Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M”, Indes Publishing, Yogyakarta: 2016. 

ilustrasi: freefoto.com