Pemerintah Perlu Membentuk Lembaga Pengelola Anak Yatim
Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 26 Januari 2017 10:34:26 WIB
Pemerintah Perlu Membentuk Lembaga Pengelola Anak Yatim
Oleh: Noa Rang Kuranji
Indonesia sudah 72 tahun merdeka. Sampai saat ini dasar negara dan pedoman hidup bangsa Indonesia tidak pernah berubah, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tapi ada satu hal yang sering terlupakan oleh pemerintah negara yang berpenduduk sekitar 250 juta jiwa tersebut. Yakni, mengurus anak yatim.
Padahal, dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dengan jelas disebutkan, bahwa anak yatim dan orang-orang terlantar dipelihara oleh negara. Tapi kenapa sampai kini pemerintah Republik Indonesia tidak pernah serius memperhatikan nasib anak yatim? Apakah ini tidak pembangkangan terhadap amanah UUD 1945?
Terus-terang, sejak zaman Orde Lama dipimpin Presiden Soekarno hingga Orde Reformasi yang dipimpin Presiden Jokowi saat ini, belum pernah kita mendengar dan melihat ada sebuah lembaga resmi pemerintah yang mengurus masalah anak yatim tersebut.
Pemerintah tampaknya seperti berlepas tangan dan menyerahkan masalah anak yatim itu kepada masing-masing umat beragama. Misalnya, kalau anak yatim beragama Islam diserahkan pengelolaannya kepada umat Islam, anak yatim beragama Kristen diserahkan kepada umat Kristen, anak yatim beragama Hindu diserahkan kepada umat Hindu, anak yatim beragam Budha diserahkan kepada umat Budha dan anak yatim beragama Konghuchu juga diserahkan kepada penganut Konghuchu. Apakah memang demikian maksud dari implementasi Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 itu?
Ini yang menjadi tanda tanya besar dalam benak penulis dan mungkin juga sebagian besar warga negara Indonesia. Anehnya, para pemimpin di negara tercinta ini yang mayoritas muslim juga tak satu pun yang berani bicara, baik yang di pusat maupun yang di daerah. Mereka hanya sibuk menjalani rutinitas pemerintahan sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya. Apakah sebenarnya yang terjadi?
Kalau dibilang tidak tahu, rasanya tidak mungkin. Karena rata-rata pemimpin kita orang pintar dan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Lalu, kalau dibilang takut, takut dengan siapa? Pedomannya kan sudah jelas, yakni UUD 1945. Kecuali kalau Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 itu dirobah atau dihapus, boleh saja pemerintah berkilah bahwa mengurus anak yatim itu bukan tanggungjawab negara.
Dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh Negara, tetapi pada kenyataannya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Padahal, semua kita tahu bahwa sebutan anak yatim itu berlaku umum. Tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang susah saja, tapi untuk seluruh manusia tanpa memandang agama, harta, pangkat dan jabatannya. Yang jelas, apabila seorang bapak meninggal dunia, maka anak-anaknya otomatis akan menyandang gelar anak yatim. Tidak peduli apakah dia itu anak seorang pejabat, konglomerat, aparat keamanan, penegak hukum, kaum bangsawan, kaum dhuafa, seniman, wartawan dan lain sebagainya.
Seseorang dapat dikatakan sebagai anak yatim apabila ia masih berusia dibawah 18 tahun dan belum terikat dengan suatu perkawinan, karena jika ia belum berusia 18 tahun tetapi telah melakukan perkawinan maka ia dapat dikatakan telah dewasa. Maka status anak yatimnya pun otomatis hilang. Penanganan masalah anak yatim merupakan masalah yang harus dihadapi oleh semua pihak, bukan hanya orang tua atau keluarga saja, tetapi juga setiap orang yang berada dekat anak tersebut harus dapat membantu pertumbuhan anak dengan baik.
Mengenai anak terlantar banyak hal yang sebenarnya dapat diatasi seperti adanya panti-panti yang khusus menangani masalah anak terlantar tetapi karena kurangnya tenaga pelaksana dan minimnya dana yang diperoleh untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut maka kelihatannya panti-panti tadi tidak berfungsi dengan baik. Tetapi sekarang semakin banyak yayasan-yayasan serta lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap anak melakukan berbagai kegiatan seperti belajar bersama dengan menggunakan fasilitas yang tersedia seperti perpustakaan keliling yang bertujuan untuk menjadikan anak-anak terlantar menjadi orang yang berguna dan lebih baik lagi.
Sebagai seorang muslim, selain Pancasila dan UUD 1945, Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW sudah pasti menjadi pedoman hidupnya. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’un yakni surat ke-107 juga disebutkan bahwa orang-orang yang menghardik atau tidak peduli dengan anak yatim itu sama dengan pendusta agama.
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim juga disebutkan:
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Dari Sahl bin Sa’ad r.a berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Saya dan orang yang memelihara anak yatim itu dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya serta merenggangkan keduanya.”
Daud a.s berkata: “Bersikaplah kamu kepada anak yatim sebagaimana seorang bapak yang penyayang.”
Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Saya dan orang yang memelihara anak yatim di surga, seperti ini (sambil merenggangkan jari telunjuk dan jari tengah).”
Jadi menurut penulis, dengan adanya dasar dan pedoman di atas, sudah sepatutnya pemerintah Republik Indonesia membentuk lembaga resmi yang mengelola masalah anak yatim ini. Tujuannya, supaya nasib dan masa depan anak yatim di negeri ini lebih terjamin. Jangan cuma diserahkan pengelolaannya kepada orang perorang atau kelompok masyarakat yang ada selama ini.
Sama halnya ketika pemerintah membentuk Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), sebelumnya bernama LAZIS (Lembaga Amal Zakat, Infak dan Sedekah) atau BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah) dengan tujuan untuk lebih memperhatikan nasib orang miskin di bumi pertiwi tercinta ini.
Mudah-mudahan, melalui tulisan ini dapat membuka pintu hati para pemimpin di negeri ini, termasuk para pemimpin yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Amin ya rabbal’alamin. (*)