Pemprov Sumbar Harus Ambil Alih Pengelolaan PSP

Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 07 Maret 2017 11:10:50 WIB


Pemprov Sumbar Harus Ambil Alih Pengelolaan PSP

Oleh: Noa Rang Kuranji

Kondisi klub PSP (Persatuan Sepakbola Padang) saat ini cukup memprihatinkan. Betapa tidak, sebagai mantan klub perserikatan, PSP kini terpaksa berlaga di Liga Amatir atau Liga 3 (wilayah Sumbar) yang merupakan kasta terendah dalam kompetisi PSSI. PSP kini sejajar dengan Persepar Pariaman, Persepak Payakumbuh, Persiju Sijunjung, Pespessel Painan atau PS GAS Sawahlunto.

Padahal, dulunya PSP cukup dipandang dalam kancah sepakbola tanah air dan menjadi ikon sepakbola Ranah Minang karena telah banyak melahirkan pemain-pemain hebat hingga memperkuat Tim Nasional (Timnas) di era 50-an sampai 80-an. Seperti kiper Ahmad Terbang, libero Oyong Liza, Suhatman Imam, gelandang Tukijan Teguh sampai striker mungil dan lincah Irawadi Uska alias Codot (almarhum).

Menyebut nama PSP Padang, mengingatkan kita pada sejarah panjang persepak- bolaan tanah air, sebab PSP Padang memang bukan tim kemarin sore, Pandeka Minang (julukan PSP) terlahir lebih dulu dari republik ini, pada tahun 1928. Artinya, sebelum Indonesia merdeka, PSP sudah ada.

Tahun 1928, dengan nama Sport Vereniging Minang (SVM) yang diketuai oleh Dr. Hakim dalam ini bernaung organisasi sepak bola Padang yang dikenal engan Ilans Padang Electal (IPE), yang menjadi cikal bakal lahirnya PSP Padang.

Usia IPE tiak berlangsung lama, karena Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengubah dan membentuk organisasi pesepak bolaan Padang pada tahun 1935 dengan nama Voetballbond Padang En Omstreken, masa ini diketuai oleh orang Belanda yang "gila bola" yaitu Meneer Vander Lee. Masa meneer ini pertandingan dimalam hari digelar di Lapangan Dipo (kini, Taman Budaya Padang).

Seiring dengan gejolak politik dalam negeri, pada tahun 1942, Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang. Aksi pertama Jepang adalah membumihanguskan segala hal yang berbau Belanda, tak terkecuali VPO. Keganasan negeri matahari terbit ini menyebabkan tak ada prestasi sepak bola padang yang mencuat baik secara tim maupun individu.

Kendati demikian, kehadiran Jepang itu ada hikmahnya. Ketika itu St. Mantari bersama tokoh-tokoh sepak bola Padang lainnya berinisiatif mengganti nama VPO menjadi Persatuan Sepak bola Padang, dan Yusuf St. Mantari menjadi ketua umum pertama dengan nama PSP. Ternyata pada masa itu, Jepang sama sekali tidak mengusiknya. dalam catatan itu pula nama PSP dipakai untuk pertama kalinya.

Ismail Lengah muncul sebagai ketua umum PSP periode 1950-1953 yang kemudian diteruskan oleh Ahmad Husein (1955-1957). Masa ini dibangun Stadion Imam Bonjol yang merupakan stadion kebanggaan warga Padang.

Dekade 1953 ini, pemain yang memperkuat PSP menjadi pemain yang bermaterikan tim PON III Sumatera Tengah di Medan berhasil mengukir prestasi yang mengejutkan. Dengan materi Pemain Ahmad Terbang, Ibrahim Kijang, Mahmud Endah, mereka berhasil merebut juara III di PON IV.

Kala itu, Sumatera Barat bernama Sumatera Tengah dan di PON IV pun pemain Pandeka Minang mendominasi skuad Sumatera Tengah dan berhasil mencapai final. Sayangnya, di final, mereka ditaklukkan Sumatera Utara dengan skor 1-2. Efeknya jelas, pada tahun 50-an, pemain PSP banyak dipanggil untuk membela tim nasional, seperti Yus Etek, Mizarmi, Lim Tek An, dan Arifin.

Di era itu, PSP sering menjamu klub-klub asing, seperti klub beken Austria, Salzburg FC, FC Lokomotiv Moskwa, Mozambik Afrika, dan klub Red Star Belgrade asal Yugoslavia yang pernah juara Liga Champions UEFA pun pernah datang.

Pada tahun 1953-1959, persepak bolaan terhenti karena terjadinya gejolak PSSI. Baru pada tahun 1959-1966, PSP Padang kembali melahirkan pemain yang membela Merah Putih. Selain Yus Etek yang masih bertahan, muncul nama-nama baru seperti Sagar Koto, Zulfar Djeze dan Oyong Liza, kapten timnas di era itu, yang menjadi andalan timnas.

PSP Padang mengikuti turnamen HUT PSSI di Jakarta pada tahun 1982. PSP dimotori Suhatman Imam dengan pemain lainnya seperti Marvin Efeni, Arif Pribadi dan Tukijan. Hasilnya tidak mengecewakan, PSP mampu menjadi kampiun pada turnamen yang diselenggarakan badan sepak bola tertinggi di Indonesia itu setelah menundukkan PSA Ambon 3-2. Tropi plus sebuah mobil dibawa pulang ke Padang.

Masih pada tahun 1980-an, persisnya di era kepemimpinan Syahrul Ujud (walikota Padang waktu itu), kali pertama PSP masuk ke Divisi Utama. Pada tahun itu pula berdiri stadion yang iberi nama Stadion Agus Salim yang merupakan bekas arena pacuan kuda.

PSP diarsiteki oleh Jenniwardin (1986-1987). Sayangnya, PSP tak mampu mengimbangi tim-tim perserikatan lainnya. Alhasil, tim PSP yang bermaterikan permain seperti: Dahlan, Mai Aldi, Hendra Susila dan Delfi Adri menemui nasib tragis, terlempar ke Divisi I (sumber ensiklopedia bahasa, red).

Di era kepemimpinan Ketua Umum PSSI, Azwar Anas (mantan Gubernur Sumbar) tahun 90-an, PSP berhasil bangkit dan sempat mengikuti kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia tahun 1997-2001. Setelah itu degradasi kembali ke Divisi I dan terus terjun ke Divisi II di tahun-tahun berikutnya.

Tahun 2007, saat Ketua Umum PSP dijabat Yusman Kasim (Wakil Walikota Padang saat itu), prestasi PSP sempat bangkit kembali. Mereka berhasil menembus Divisi Utama (kasta kedua) setelah kasta tertinggi kompetisi PSSI berubah menjadi Liga Super Indonesia (Indonesian Super League). Tiga tahun kemudian, PSP kembali anjlok. Malah terjun ke jurang paling dalam yakni terpaksa bermain di Divisi III (Liga 3) yang merupakan kasta terendah sampai sekarang.

Ketua Umum PSP saat ini, Mahyeldi Ansharullah (Walikota Padang) yang menggantikan Yusman Kasim sejak 2010, mulai melakukan evaluasi total. Tapi setelah tujuh tahun berjalan, hasilnya masih nihil. PSP tetap berkutat di kasta terendah kompetisi PSSI.

Lalu, bagaimana solusinya untuk mengangkat kembali prestasi PSP?

Menurut penulis, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar harus turun tangan membantu untuk menyelamatkan PSP. Soalnya, Pemerintah Kota (Pemko) Padang tampaknya sudah kewalahan mencari solusi yang tepat untuk menyelamatkan PSP tersebut. Meski hampir tiap tahun dibantu dengan dana hibah APBD Kota Padang (rata-rata Rp2 miliar), tetap saja belum membuahkan hasil yang positif.

Artinya, suntikan dana dari Pemprov Sumbar sangat dibutuhkan guna menyelamatkan PSP agar kembali ke kasta tertinggi sepakbola nasional. Setidak-tidaknya, Pemprov Sumbar harus membantu dana Rp10 miliar dan merangkul pihak sponsor yang ada di daerah ini. Barulah PSP bisa bergerak dengan leluasa dan mencari pemain-pemain hebat.

Kalau kita ingin PSP kembali bangkit dan berjaya di tingkat nasional, kita perlu belajar dengan Provinsi Riau saat dipimpin Gubernur Saleh Yazid tahun 2000-an awal dan dilanjutkan Gubernur Rusli Zainal di era berikutnya.

Ketika itu, tim sepakbola kebanggaan masyarakat Riau, PSPS Pekanbaru sedang terpuruk di kasta terendah. Walikota Pekanbaru saat itu, Herman Abdullah tampak sudah kewalahan untuk menyelamatkan PSPS dan akhirnya jabatan Ketua Umum PSP diserahkannya kepada gubernur. Para pengusaha besar di Riau pun dirangkul dan menjadi penyandang dana tetap PSPS.

Perlahan-lahan tapi pasti, PSPS pun berhasil bangkit dan sukses bermain di Liga Super Indonesia sekitar tahun 2005. Bahkan, mereka mampu merekrut pemain bintang Timnas kala itu seperti Hendro Kartiko (kiper), Sugiantoro (libero), Bima Sakti (gelandang) dan Kurniawan Dwi Yulianto (striker). Animo masyarakat Riau pun langsung naik dan tidak mau ketinggalan untuk menyaksikan laga tim kesayangan mereka.

Nah, tidakkah kita ingin seperti mereka? Kalau kita ingin, sudah saatnya PSP Padang tersebut dikelola oleh Pemprov Sumbar. Bisa saja Ketua Umum PSP nanti Gubernur atau Wakil Gubernur Sumbar. Mumpung PSP sedang bermain di Liga Amatir tidak ada salahnya Pemprov Sumbar ikut turun tangan membantu. Semoga jadi kenyataan. Amin.. (*)