Tukang Palak dan Seks Haram Musuh Utama Wisata Sumbar

Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 13 April 2017 11:01:48 WIB


Tukang Palak dan Seks Haram Musuh Utama Wisata Sumbar 

 Oleh: Noa Rang Kuranji

Sebagai masyarakat Sumatera Barat (Sumbar), kita tentu ikut bangga dengan program “Destinasi Wisata Halal” di Ranah Minang yang dicanangkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar dalam dua tahun terakhir ini.

Betapa tidak, keindahan pesona alam yang dimiliki Sumbar merupakan sebuah berkah dari Illahi yang harus kita syukuri. Sehingga tidak heran, kebanyakan para wisatawan setelah berkunjung ke Ranah Minang mengaku terkesan dan menilai objek-objek wisata di Sumbar termasuk terbaik kedua di Indonesia setelah Provinsi Bali.

Bahkan, Menteri Pariwisata (Menpar) RI, Arief Yahya dan Presiden Jokowi sendiri ikut terkesima menyaksikan keindahan alam yang dimiliki Sumbar serta makanan khas “Rendang Padang” yang telah mendapatkan pengakuan dunia. Saking terkesannya dengan alam Ranah Minang, Presiden Jokowi pun sempat dua tahun berturut-turut datang ke Sumbar, yakni tahun 2015 dan 2016 lalu.

Pada tahun 2015, Presiden Jokowi sengaja datang ke Sumbar untuk meresmikan “Kawasan Mandeh” di Kabupaten Pesisir Selatan menjadi wisata unggulan baru di Sumbar. Gugusan pulau yang terdapat tidak berapa jauh dari lokasi Pantai Carocok Painan itu membuat Presiden dan Menpar kagum. Bahkan, orang nomor satu di Republik di Indonesia itu menilai jika dikelola dengan baik akan bisa mengalahkan wisata yang ada di Pulau Dewata Bali.

"Saya kaget waktu masuk kawasan ini. Saya lihat dari atas (pesawat, red) betapa anugerah Allah kepada kita. Keindahan itu patut kita syukuri," ujar Jokowi saat memberikan sambutan di kawasan Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan ketika itu.

Jokowi pun mengusulkan kawasan Mandeh itu dijadikan sebagai kawasan wisata keluarga. Yang berkaitan dengan bahari, wisata pulau dan selam. Sehingga, pendapatan masyarakat bertambah. Perekonomian masyarakat akan lebih bagus.

"Dari pengalaman di tempat lain, itu bisa berlipat, sampai lima kali pendapatan income kita," ucap Jokowi optimis.

Namun, dia meminta gubernur Sumatera Barat dan bupati Pesisir Selatan untuk musyawarah dengan masyarakat sekitar. Merumuskan Mandeh untuk dijadikan apa. Soalnya, untuk menciptakan sebuah kawasan wisata yang bagus, pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama dan saling menguntungkan.

"Sekali lagi tolong ditanyakan ke masyarakat. Dimusyawarahkan, kawasan yang sangat indah ini mau dijadikan apa," pesan Presiden saat itu.

Tahun 2016 silam, Presiden Jokowi beserta isterinya kembali datang ke Ranah Minang dalam rangka melaksanakan sholat idul fitri bersama warga Kota Padang. Meski tujuan utamanya berhari raya bersama masyarakat, namun selama tiga hari dua malam beliau di Sumbar ketika itu masih menyempatkan diri untuk berkunjung ke sejumlah lokasi objek wisata yang ada di daerah ini. Seperti pergi ke Istano Basa Pagaruyung di Batusangkar, melihat keindahan Pantai Pariaman dan Pantai Padang.

Memang, ketika para tamu penting itu datang, seluruh lokasi objek wisata yang akan dikunjunginya sudah diseterilkan aparat keamanan yang ada di Sumbar, termasuk puluhan Paspampres yang selalu setia mendampingi Presiden dan Wakil Presiden kemana pun pergi.

Sehingga tidak pernah kita mendengar, presiden dan pejabat penting lainnya kena palak atau kena peras oleh sekelompok pemuda setempat yang berada di lokasi-lokasi wisata tersebut. Para preman tukang palak itu seolah-olah hilang di telan bumi dalam waktu sekejab.

Namun, ketika yang berkunjung ke lokasi-lokasi wisata itu masyarakat biasa, baik yang datang dari luar dan dalam Sumbar sendiri, rata-rata mengeluh dan merasa tidak nyaman akibat ulah segelintir oknum yang mencari keuntungan pribadi tersebut. Modusnya pun beragam, mulai dari penetapan harga karcis dan parkir yang cukup tinggi, hingga harga makanan yang mencekik pembeli.

Kendati masing-masing pemerintah kota dan kabupaten di Sumbar yang memiliki objek wisata tersebut telah membuat peraturan daerah (Perda) tersendiri, namun di lapangan tetap tidak berjalan dengan efektif karena kurangnya pengawasan terhadap oknum petugas yang nakal dan diduga bersekongkol dengan sejumlah preman setempat demi mencari keuntungan pribadi.

Penulis sendiri pernah mengalaminya ketika membawa keluarga berlibur sambil menikmati indahnya pemandangan objek wisata kawasan Lembah Anai saat Hari Raya Idul Fitri sekitar tiga tahun lalu. Di lokasi yang banyak terdapat kolam renang buatan pas di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi itu, petugas memungut parkir dari setiap pengunjung yang datang dengan seenak perutnya.

Untuk tarif parkir roda dua, mereka memungut sebesar Rp10 ribu dan roda empat sebesar Rp20 ribu. Alasan mereka dengan enteng, “Maklum, lagi hari raya pak,” jawab petugas parkir yang rata-rata masih berusia muda.

Kejadian serupa, juga sering dialami para pengunjung saat menikmati keindahan Pantai Padang dan beberapa lokasi objek wisata lainnya. Untunglah Pemerintah Kota (Pemko) Padang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwasata (Disbudpar) cepat bertindak setelah mendapatkan laporan ada pengunjung yang kena palak oleh oknum petugas parkir tahun 2016 lalu.

Saat itu, sebuah bus rombongan keluarga yang menggunakan plat luar Sumbar sedang parkir di kawasan Pantai Padang. Ketika hendak berangkat meninggalkan lokasi, mereka didatangi petugas parkir dan meminta uang sebesar Rp30 ribu. Padahal, menurut aturan Perda yang telah ditetapkan tarif parkir bus tidaklah sebanyak itu. Akhirnya, muncullah sebuah postingan tidak menyenangkan di medsos yang menyatakan bahwa ada pengunjung yang kena palak di kawasan wisata Pantai Padang. Informasi ini langsung direspon pihak Disbudpar Kota Padang dan mencoba menelusuri kebenarannya.

Dari hasil rekaman CCTV yang terpasang di sejumlah titik di kawasan Pantai Padang, pihak Disbudpar Kota Padang berhasil melacak pelaku. Selain memberikan sanksi yang tegas kepada oknum parkir, pihak Disbudpar Kota Padang langsung meminta maaf kepada pengunjung yang merasa dipalak dan mengganti kerugiannya. Langkah tegas dan preventif yang ditunjukkan petugas Disbudpar Kota Padang ini pantas ditiru oleh pemerintah kota dan kabupaten lainnya di Sumbar demi menjaga imej positif dunia pariwisata Ranah Minang di mata orang luar.

Selanjutnya, persoalan lain yang juga sering menghantui bahkan bisa merusak citra pariwsata Sumbar adalah keberadaan “bisnis seks haram terselubung” yang ada di sejumlah lokasi objek wisata yang ada di Sumbar ini. Contohnya di Kota Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh.

Sejumlah hotel atau tempat penginapan yang disediakan buat pengunjung wisata, sangat rawan disalahgunakan untuk berbuat mesum oleh oknum tertentu karena lemahnya pengawasan dari petugas setempat. Bahkan, ada juga yang menyediakan wanita penghibur atau PSK secara sembunyi-sembunyi.

Meski Pemprov Sumbar bersama pemerintah kabupaten dan kota sudah sepakat untuk membersihkan segala bentuk maksiat di lokasi objek wisata dengan melakukan razia petugas gabungan ke sejumlah hotel dan tempat penginapan yang ada, tetap saja praktek “bisnis haram terselubung” itu tidak bisa diberantas seratus persen. Penyebabnya diduga, bisnis haram tersebut mendapat bekingan dari oknum aparat keamanan tapi sulit untuk menangkapnya.

Nah, kalau kita ingin menciptakan kawasan wisata halal di bumi Ranah Minang tercinta ini, maka segala bentuk premanisme alias tukang palak dan praktek prostitusi (seks haram) harus dijadikan musuh utama dalam pembenahan ke depan. Semoga wisata Sumbar benar-benar terbebas dari perbuatan negatif tersebut. Amiiin... (*)