Mengenal Alat Tangkap Pancing Tonda

Mengenal Alat Tangkap Pancing Tonda

Artikel NONONG HANUGRAH, A.Md(Dinas Kelautan dan Perikanan) 25 Mei 2016 09:27:57 WIB


Pancing tonda adalah alat penangkapan ikan tradisional yang umumnya di gunakan oleh nelayan tonda untuk menangkap ikan tuna dan pelagis lainnya di laut. Alat tangkap ini memiliki kontruksi yang sama dengan alat tangkap pancing ulur seperti: tali, mata pancing dan umpan, dan dapat dioperasikan pada perairan yang sulit terjangkau oleh alat tangkap lainnya. Pancing tonda merupakan salah satu alat penangkap ikan yang diberi tali panjang dan ditarik oleh kapal atau perahu (Sudirman, 2004). Alat tangkap ini terdiri dari seutas tali panjang, mata pancing dan umpan. Umpan yang di pakai adalah umpan buatan(Ayodhyoa, 1981). Banyak bentuk dan macam pancing tonda (troll line) yang pada prinsipnya adalah sama (Subani & Barus, 1989). Secara umum pancing tonda menarik dan menurunkan satu atau berbeberapa tali pancing denga memakai umpan buatan yang di letakan di belakang kapal yang bergerak. Umpan atau pemikat di rancang dengan warna yang terang atau menyerupai ikan umpan sehingga menarik ikan pemangsa untuk menyambarnya (Von Brandt, 1984). Alat tangkap ini ditujukan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis yang biasa hidup dekat permukaan, mempunyai nilai ekonomis tinggi dan mempunyai kualitas daging dengan mutu tinggi (Gunarso, 1998).

Pancing tonda ini bukanlah hal yang baru bagi nelayan di indonesia. Alat tangkap ini adalah alat penangkapan ikan yang  populer di kalangan nelayan, karena harganya relatif murah dan pengoperasiannya  mudah, untuk menangkap ikan di dekat permukaan perairan. Menurut Ayodhyoa (1984) pancing tonda dikelompokan ke dalam alat tangkap pancing dengan beberapa kelebihan yaitu:

  1. Metode pengoperasian relatif sederhana
  2. Modal yang diperlukan lebih sedikit
  3. Dapat menggunakan umpan buatan
  4. Syarat-syarat fishing ground relatif lebih sedikit dan dapat bebas memilih
  5. Ikan yang tertangkap seekor demi seekor, sehingga kesegarannya dapat terjamin.

Sedangkan kekurangan dari alat pancing tonda adalah

  1. Jumlah hasil tangkapan lebih sedikit dibandingkan alat tangkap yang lain
  2. Keahlian perseorangan sangatlah berpengaruh pada penentuan tempat, waktu dan syarat-syarat lain.

Dalam pengoperasiannya, pancing tonda menggunakan umpan untuk menarik ikan agar tertangkap. Umpan di kelompokan menjadi dua jenis, yaitu umpan alami dan umpan buatan. Nelayan pancing tonda jarang  menggunakan umpan alami, karena mudah lepas dan rusak. Berdasarkan data Ditjen Perikanan (1998) jenis umpan alami yang biasa di gunakan adalah layang (Decapterus sp), kembung (Rastleriger sp),  bandeng (Chanos chanos ), belanak (Mugil sp), lemuru (sardinella longiceps) dan tembang (sardinella fimbriata).  Sifat umpan alami memiliki banyak kekurangan, sehingga para nelayan pancing tonda, lebih memilih menggunakan umpan buatan pada operasi penangkapan  ikan. Menurut Ruivo vide Hendrotomo (1989).  Umpan buatan yang biasa dipakai berasal dari bulu ayam yang halus, sendok, tali plastik, karet plastik dan bahan lainnya yang memiliki sifat yang menyerupai umpan asli baik ukuran, bentuk, warna dan gerakannya pada saat berada di dalam air. Umpan berfungsi untuk memberikan rangsangan (stimulus) yang bersifat fisik maupun kimia, sehingga dapat memberikan respon pada ikan tertentu.

Berikut alasan penggunaan umpan buatan pada pancing tonda yaitu:

  1. Harga relatif murah dan mudah didapat.
  2. Dapat dipakai berulang-ulang
  3. Dapat di simpan dalam waktu yang lama
  4. Warna dapat memikat ikan
  5. Ukuran dapat disesuaikan dengan bukaan mulut ikan

Umpan buatan yang digunakan pada penelitian ini adalah umpan yang berasal dari benang sutra yang terbentuk menjadi benang berumbai-berumbai. Benang sutra ini berasal dari kokon (air liur atau ludah ulat sutera) yang dikumpulkan, kemudian diolah dengan sederhana dan canggih oleh mesin atau tangan (1992).

Pancing tonda umunya dioperasikan dengan kapal kecil, jumlah nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 4-6 orang yang terdiri dari satu orang nahkoda merangkap fishing master, satu orang juru mesin dan 2-4 orang ABK yang masing-masing mengoperasikan satu atau lebih pancing pada saat operasi penangkapan berlangsung. Pada umumnya panjang perahu berkisar antara 5-20 meter dengan ruang kemudi dibagian depan kapal (haluan) dan dek tempat berkerja berada di bagian belakang kapal (buritan) (Sainsburry 1971). Kapal yang digunakan pada pengoperasian penangkapan ini adalah perahu motor tempel dan perahu kayu dari jenis congkleng (perahu bercadik) yang memiliki panjang 11 meter dan terbuat dari bahan kayu (DKP Sumatra Barat 2011). Kecepatan perahu pada saat menonda mempengaruhi keberhasilan penangkapan sesuai dengan tujuan ikan sasaran.  Kapal untuk menangkap ikan pelagis jenis ikan umpan, kecepatan menonda harus lambat (1-3 knot). Waktu penangkapan ikan cakalang dan tuna muda di pagi hari dengan kecepatan perahu sekitar 4-5 knot, dan pada siang hari kecepatan menonda sekitar 7-8 knot (Nugroho, 1992).

Hasil tangkapan utama untuk tonda perairan permukaan yaitu tongkol,cakalang, tenggiri, madidihang, setuhuk, alu-alu, sunglir, beberapa jenis kwe. Hasil tangkapan lapisan dalam terutama berupa cumi-cumi, sedangkan untuk lapisan dasar terutama manyung, pari, cucut, gulamah, senangin, kerapu, dan lain lain (Subani & Barus, 1989). Jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain: baby tuna, cakalang, tenggiri, dan lainnya melalui bagian belakang maupun samping kapal yang bergerak tidak terlalu cepat dilakukan penarikan sejumlah tali pancing dengan mata-mata pancing yang umumnya tersembunyi dalam umpan buatan. Ikan-ikan akan memburu dan menangkap umpan-umpan buatan tersebut, hal ini tentu saja memungkinkan mereka untuk tertangkap (Gunarso, 1998).

Secara global, terdapat 7 spesies ikan tuna yang memiliki nilai ekonomis penting, yaitu albacore (Thunnus alalunga), bigeye tuna (Thunnus obesus), Atlantic bluefin tuna (Thunnus thynnus), pacific bluefin tuna(Thunnus oreintalis), southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), yellowfin tunam (Thunnus albacares), dan skipjack tuna (Katsuwonus pelamis), kecuali pacific bluefin dan southern bluefin tuna, kelima spesies tuna lainnya hidup dan berkembang di perairan Samudra Pasifik, Atlantik, dan Hindia (Dahuri, 2008). Penyebaran jenis-jenis tuna tidak dipengaruhi oleh perbedaan bujur melainkan dipengaruhi oleh perbedaan lintang (Nakamura, 1969). Di perairan Indonesia, yellowfin tuna dan bigeye tuna didapatkan di perairan pada daerah antara 15o LU–15o LS, dan melimpah pada daerah antara 0-15o LS seperti daerah pantai Selatan Jawa dan Barat Sumatera (Nurhayati, 1995). Penyebaran ikan-ikan tuna di kawasan barat Indonesia terutama terdapat di perairan Samudra Hindia. Pada perairan tersebut terjadi percampuran antara perikanan tuna lapis dalam, yang dieksploitasi dengan alat rawai tuna, dengan perikanan tuna permukaan yang dieksploitasi menggunakan alat tangkap pukat cincin, gillnet, tonda dan payang (Sedana 2004). Menurut Dahuri (2008), ikan madidihang dan mata besar terdapat di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Sedangkan, albacore hidup di perairan sebelah barat Sumatera, selatan Bali sampai dengan Nusa Tenggara Timur. Ikan tuna sirip biru selatan hanya hidup di perairan sebelah selatan Jawa sampai ke perairan Samudra Hindia bagian selatan yang bersuhu rendah (dingin).

 

By : Cici Anggara, S.Pi.MP