ECONOMIC BASED TOURISM, KEGAGAPAN MENDEFINISIKAN ATAU MELAKSANAKAN?

Pariwisata ()


JURNAL PARIWISATA

 

ECONOMIC BASED TOURISM, KEGAGAPAN MENDEFINISIKAN ATAU MELAKSANAKAN?

H. Novrial, SE, MA, Ak, Sekdis Budpar Prov. Sumatera Barat

By : Nofiardi Syam

Saya sedikit skeptis saat pengumuman re-shuffle kabinet SBY lalu, pertama saat perobahan nama Departemen menjadi Kementerian yang bagi saya yang tidak punya background linguistik tidak menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan, sekurangnya untuk saat ini. Kedua, saya terperangah saat mendengar nama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai transformasi baru setelah substansi Kebudayaan kembali ke induknya Kementerian Pendidikan Nasional, dimana saya su’udzon dengan berfikir bahwa ini hanya sekedar balancing bobot substansi saja atau karena Menteri yang ditunjuk kebetulan adalah seorang Ekonom?

Sampai saat inipun saya masih belum bisa mendeskripsikan dengan tepat apa yang dimaksud dengan Ekonomi Kreatif, saat, jangankan Sumatera Barat, Indonesia pun belum dapat dikategorikan sebagai Negara yang memahami dan mengembangkan Ekonomi Kreatif yang saya hipotesakan sebagai produk ketiga setelah, barang, jasa. Produk kreatif biasanya diasosiasikan dengan jamahan informasi tekhnologi dalam proses pembuatannya. Saya langsung membandingkannya dengan City-State Singapura, yang dapat mengorganisir pelaku ekonominya sebagai “paperless marketing office”, dengan memanfaatkan unit produksi entah di Negara mana, spare-part nya entah dipasok dari mana, packingnya entah dimana, shipment/ trans-shipment entah dimana/ kemana dan terakhir buyer/ konsumennya entah siapa. Kalau benar komparasi saya tersebuta harus, saya pasti lemas dan mumet memikirkan kenapa Pariwisata harus di-blend dengan Ekonomi Kreatif.

Daripada pusing memikirkan sesuatu yang jauh diatas kemampuan akademis dan pengalaman saya, maka saya mencoba untuk meyederhanakan definisi Ekonomi Kreatif dalam Kepariwisataan Sumatera Barat itu sebagai “produk-produk bernilai ekonomi apa saja yang sudah disiapkan Sumatera Barat untuk dihidangkan/ ditawarkan baik ke wisatawan nusantara apalagi wisatawan mancanegara sehingga mereka meninggalkan (baca menghabiskan) semua uangnya secara riil di Sumatera Barat”. Mungkin banyak yang tidak sependapat dengan definisi ngawur saya tersebut, namun saya akan ngotot mempertahankan thesis saya tersebut sampai mendapatkan thesis baru yang lebih menyakinkan dari orang-orang yang paling kompeten. Kalaulah saya saat ini masih kekeuh dengan definisi tersebut, maka kepusingan tersebut akan tambah menjadi-jadi memikirkan apakah Sumatera Barat siap untuk mengembangkan Pariwisata berbasis Ekonomi Kreatif dengan realita yang dapat kita lihat di setiap destinasi dan aktifitas yang ada.

Sebagai penjabaran kepusingan tersebut saya mencoba melihat data kunjungan wisatawan tahun 2010, terdata 33.594 wisatawan mancanegara dan 5.261.941 wisatawan nusantara yang mengunjungi Sumatera Barat, dengan lama tingal 4,34 hari untuk wisman dan 3,28 untuk wisnu, dengan pengeluaran/ hari USD.261/ Rp.2.610.000,- bagi wisman dan Rp. 570.967,- bagi wisnu. Saya nekat mencoba menghitung berapa kasarnya pertambahan fresh-money bagi Sumatera Barat, dari wisman 33.594 orang x 4,34 hari x Rp. 2.610.000,- = Rp.380.532.675.600,- dan dari wisnu 5.261.941 orang x 3,28 hari x Rp.570.967,- = Rp.9.854.414.507.586,- atau kalau dijumlahkan menjadi Rp.10.234.947.183.186,-. Sebuah angka yang sangat fantastis kalau memang bisa dihitung dengan formula sesederhana itu, dan pasti siapapun akan sepakat kalau Pariwisata memang pantas menjadi tulang punggung perekonomian Sumatera Barat saat ini dan masa mendatang. Walaupun ini merupakan kengawuran kedua saya dalam tulisan ini, namun dengan tingkat validitas 60 persen saja dari data dan angka tersebut, angka Rp. 6 trilyun pastilah membuat semua orang tersentak kaget.

Saya ingin melanjutkan imajinasi liar saya dengan melihat koneksitas tipologi budaya wisatawan dengan pengeluarannya, dimana menurut saya penerbangan udara pastilah pilihan yang paling reasonable saat ini bagi semua wisatawan manapun untuk datang ke Sumatera Barat. Hotel berbintang, atraksi kelas dunia (seringkali berupa minat khusus seperti surfing, TdS, arkeologi dan lain-lain) bus pariwisata executive, branded-restoran, high-class cendera mata adalah pilihan utama wisatawan mancanegara, sementara wisatawan nusantara mungkin lebih memilih wisma, mobil charteran, restoran lokal yang spesifik, destinasi-destinasi yang sudah mereka kenal sebelumnya dan cendera mata dengan harga yang terjangkau. Kalaulah thesis saya inipun benar, maka dengan mudah dapat dihitung berapa riil fresh-money yang benar-benar “tinggal” di Sumatera Barat. Biaya penerbangan akan kembali ke head-quaternya, biaya akomodasi hotel berbintang dan branded restoran hanya akan merembes separonya untuk tenaga kerja dan pasokan lokal, dan kalau mau jujur pasti porsinya tidak akan lebih dari 50 persen.

 Saat ini saya sedang termangu memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk memperbesar jumlah dana yang dibelanjakan/ ditinggalkan wisatawan di Sumatera Barat, produk-produk ekonomi kreatif apa yang harus diproduksi/ ditampilkan/ disuguhkan sehingga wisatawan dengan ikhlas dan senang memperbesar jumlah pengeluarannya disini, apa yang harus dilakukan untuk memperbanyak variasi produk sehingga baik wisatawan mancanegara dengan selera high-class nya maupun wisatawan nusantara dengan selera nasionalnya dapat terpenuhi semuanya, sehingga semua yang mengunjungi Sumatera Barat ingat bahwa Sumatera Barat adalah “unforgettable destination where you can pay dan buy everything happily ”. Saya tidak begitu peduli definisi orang lain, setidaknya untuk saat ini saya sudah mempunyai definisi sendiri tentang Pariwisata berbasis Ekonomi Kreatif, mudah-mudahan saya tidak begitu keliru……..