Belajar Ilmu Padi ke Jepang (1)

Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 11 November 2015 09:10:53 WIB
Negeri Yang Ramah Tanpa Sampah
Siapa yang tak kenal dengan Jepang? Tentu saja nama Jepang tak asing lagi di telinga kita. Hampir semua mobil dan sepeda motor yang berlalu-lalang memadati jalan-jalan di Indonesia, mulai dari kota-kota besar hingga pelosok kampung adalah buatan Jepang. Sebut saja Toyota, Mitsubishi, Daihatsu, Nissan, Honda, Yamaha, Kawasaki dan lain-lain. Berbagai peralatan elektronik yang sehari-hari kita pakai seperti Sony, Sharp, Sanyo, Toshiba, dan sejumlah merek terkenal lainnya juga buatan Jepang. Sungguh tak terhitung jumlahnya dan nilai rupiahnya.
Ternyata tak hanya sampai di situ, Jepang juga unggul dalam budidaya padi. Beras Jepang terkenal paling unggul cita-rasanya dan Jepang mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan beras meski lahan pertanian yang dimiliki sangat terbatas. Harga beras Jepang dua kali lipat dibanding harga beras Indonesia. Berikut adalah catatan perjalanan kami dalam rangka Latihan Budidaya Padi di Balai Penelitian Pertanian Perfektur Kagawa yang difasilitasi oleh JICA tahun lalu.
Suasana Jepang mulai terasa saat kami memasuki pesawat milik ANA (All Nippon Airlines), salah satu maskapai penerbangan terbesar milik Jepang. Pramugari berwajah khas Jepang dengan mata sedikit sipit menyambut kami dengan ramah sambil membungkuk badan, salam khas ala Jepang. Suasana bersih, rapi dan serba teratur segera terasa saat berada dalam pesawat jumbo jet 777 berbadan lebar yang akan mengantarkan kami ke Negeri Sakura tersebut. Penumpang yang umumnya warga negara Jepang terlihat duduk dengan tertib dan sopan.
Karena kami berangkat sore dari Jakarta, tak lama berselang kami disuguhi jamuan makan malam. Menu yang dihidangkan malam itu adalah bento, paket makanan yang sangat populer di Jepang. Bento adalah makanan siap saji ala Jepang. Biasanya bento menggunakan wadah kotak persegi empat yang terbuat dari melamin berwarna-warni menarik dan dihiasi grafis khas Jepang sehingga unik dan menarik bentuknya.
Di dalam kotak tersebut biasanya terdapat lima atau enam sekat sehingga bisa memuat lima atau enam macam menu makanan. Biasanya bento terdiri dari satu porsi nasi atau mie (ramen dalam bahasa Jepang), beberapa macam lauk, sayuran dan buah dan tak lupa lengkap dengan supitnya. Komposisi susunan menu sangat beragam, tergantung selera produsen dan pesanan konsumennya. Namun bento nampaknya sangat populer karena praktis dan cepat penyajiannya. Kalau di Indonesia mungkin mirip dengan pola penyajian nasi kotak.
Saya sempat tertegun saat memasuki toilet pesawat, saya mengira telah salah masuk ke kokpit (ruang kendali) pesawat. Setelah melirik kembali ke tulisan yang tertera di pintu baru saya yakin bahwa saya tidak salah kamar, ruangan itu benar toilet adanya. Saya ragu karena pemandangan di toilet tersebut sangat berbeda dengan toilet yang biasa kita lihat. Ruangan itu bersih luar biasa, tak ada setetespun air atau selembar sampah pun yang tercecer disana. Di dinding terlihat sejumlah panel-penel dan tombol-tombol yang berfungsi untuk mengoperasikan toilet.
Tidak ada kran air di sana, untuk cebok, membilas, menyetel panas air, mengatur tekanan air, mengeringkan, membuka dan menutup jamban toilet dan kebutuhan lainnya diatur secara elektronikis dan serba otomatis. Tinggal pencet tombol. Peralatan yang ada di sana umumnya menggunakan stainless steel atau dilapisi teflon sehingga tampak selalu bersih dan mudah dibersihkan. Belakangan baru saya tahu bahwa merupakan aib jika seseorang menumpahkan air atau menyerakkan sampah di toilet. Orang yang demikian di cap sangat memalukan dan kampungan.
Prilaku bersih, tertib dan disiplin di Jepang ternyata tak hanya sekedar etalase atau tampilan sesaat untuk menghadapi lomba-lomba kebersihan atau berpacu untuk memperoleh piala atau penghargaan seperti yang sering kita lakukan. Ke npelosok manapun di kita pergi di Jepang, tetap sama bersihnya, tak satu lembar pun sampah berserakan bisa kita temui.
Di salah satu objek wisata yang padat pengunjung saya melihat sebuah sungai yang cukup besar, lebarnya sekitar 15 meter. Saya lupa nama daerah itu, yang pasti di atas bukit di daerah itu terdapat kuil yang umurnya lebih 500 tahun. Daerah ini tak pernah sepi pengunjung. Hal ini terlhat dari banyaknya toko-toko penjual souvernir berjejer rapi sepanjang perjalanan menuju kuil.
Yang sangat kontras dengan pemandangan yang biasa saya lihat adalah tidak ada selembar sampah pundi sungai ini. Dari atas jembatan kita bisa melihat langsung dasar sungai karena air sungai sangat jernih, seperti air mata air yang baru saja keluar dari pergunungan saja layaknya. Dari atas jembatan saya bisa melihat puluhan ikan berwarna hitam sebesar paha berseliweran dengan bebas di dalam sungai. Saya tak tahu nama jenis ikan tersebut, bentuknya mirip ikas mas atau gariang di daerah kita. Mungkin sejenis ikan koi.
Sungai itu bersih karena selain karena tak ada yang membuang sampah ke sana, juga karena air comberan dari rumah-rumah masyarakat tidak bermuara ke sungai. Air comberan masing-masing rumah tangga disalurkan ke saluran khusus di bawah tanah. Karena itu di sini tidak akan pernah terlihat air comberan berbau busuk di depan rumah, juga tak ada istilah comberan mampat.
Satu lagi pemandangan yang menarik, jalan-jalan raya di ibukota Provinsi Kagawa Takamatsu terlihat sepi-sepi saja setiap hari. Tak ada macet di jalanan, tak ada antrian panjang, tak ada suara hiruk pikuk kendaraaan di jalan raya. Pagi hari ramai terlihat anak-anak berjalan kaki ke sekolah atau para pekerja juga berjalan kaki bergegas menuju tempat kerja masing-masing. Karena itu di sekolah-sekolah, kantor atau perusahaan yang dominan terlihat di tempat parkir adalah sepeda berjejer-jejer, hanya beberapa buah saja mobil terlihat dan nyaris tak ada sepeda motor.
Mungkin karena itu pula udara di sana selalu terasa sejuk dan segar, kesegaran di udara terbuka sama sejuk dan segarnya dengan di dalam ruangan ber AC. Berbeda dengan suasana di kota-kota besar di daerah kita, begitu keluar dari ruangan ber AC langsung suasana berbeda terasa, langsung tercium bau menyengat yang menyesakkan dada. Artinya tingkat polusi udara di sana masih jauh di bawah ambang batas.
Jumlah polusi udara akibat kendaraan bermotor di sini sangat minim karena penggunaan kendaraan bermotor di negara penghasil kendaraan bermotor terbesar di dunia ini justru sangat sedikit. Itu pun diatur dengan peraturan yang ketat, yaitu dengan pembatasan umur kendaraan dan standar emisi gas buangan. Begitu juga industri-industri besar yang terkenal banyak di Jepang, limbah buangan mereka baik berupa pada tan, cair dan gas, diatur dan diawasi secara ketat. Apalagi belakangan pabrik-pabrik yang banyak menimbulkan limbah dan pencemaran telah dipindahkan ke luar Jepang, yaitu umumnya negara ke tiga. Dengan demikian otomatis, pencemaran di Jepang dapat ditekan seminimal mungkin. Hm... nikmatnya menghirup udara segar dimana-mana.
Ah... baru saja menginjakkan kaki di Jepang, sudah banyak sekali pelajaran yang bisa ditimba. ***
Tak ada macet, tak ada antrian panjang. Suasana jalan raya di Kota Takamatsu, ibukota Provinsi Kagawa.