PEMBERONTAK PIKIRAN

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 11 Desember 2015 11:05:38 WIB


catatan pinto janir

Dan seorang yang selalu terhina dan senantiasa tersudutkan, namun tidak melakukan perlawanan diri, di saat itu kecendrungannya adalah menjadi orang kalah sejati atau pecundang kekal. Semestinya ketika hinaan dilemparkan ke batang dirinya, dengan bijak ia menerima hinaan itu sebagai sebuah motivasi untuk mengukuhkan dirinya sebagai seorang petarung atau pejuang kehidupan.

Seseorang menjadi matang karena penjelajahan hidupnya. Di tiap detik di ruang waktu ia melakukan sesuatu yang lain dan baru. Sementara detaknya menjadi buku, lalu menjadi pengetahuan dalam keyakinan yang ia niscayai sendiri.

Keniscayaannya adalah keniscayaan teruji dari satu ke pengalaman kepada pengalaman yang lain. Tiada jenuh ia melakukan sesuatu. Ia lemparkan pikiran-pikirannya ke ruang publik di tengah alam yang gelisah.

Kemudian ketika sebagian massa di ruang massa menolaknya, ia tak gentar. Ia tak surut untuk terus menyampaikan pikiran-pikiran yang niscayai. Ia tak pernah merasa terdesak, yang ada dalam pikirannya adalah melawan massa yang melawan pikirannya yang lain. Dan saat itu ia menjadi 'pemberontak' pikiran yang matang.

Sampai suatu saat ia dan pikirannya diakui, lalu zaman mencatatnya menjadi orang besar dan menjadi seorang tokoh.

Begitulah riwayat orang besar dan tokoh, dan itu tidaklah sederhana.

Dan seorang yang selalu terhina dan senantiasa tersudutkan, namun tidak melakukan perlawanan diri, di saat itu kecendrungannya adalah menjadi orang kalah sejati atau pecundang kekal. Semestinya ketika hinaan dilemparkan ke batang dirinya, dengan bijak ia menerima hinaan itu sebagai sebuah motivasi untuk mengukuhkan dirinya sebagai seorang petarung atau pejuang kehidupan.

Salah satu alasan mengapa seseorang menjadi petarung dan pejuang adalah karena terlalu sering merasa terhina dan terpojokkan.

Ketika hinaan diterima dengan bijaksana, maka ia menjadi kekuatan dan menjadikan diri sebagai seorang petarung atau pejuang tangguh.

Untuk itu, sikapi hidup ini dengan sungguh-sungguh dan serius, karena hidup adalah kesungguhan dan keseriusan yang cerdas.

Apakah kita akan menjadi orang besar, tokoh, pejuang atau petarung atau bahkan pecundang?

Jawabnya; ayo bertanya pada diri sebelum matahari terbit di barat, sebelum bulan belah untuk kedua kalinya!

 

SELAMAT JALAN BANG LEON...
PUISIKU MENANGIS
SASTRAKU DUKA

 

"Bila tak ada kata terucapkan, sedikit senyum kan jadi bulan dan matahari" ( Bang Leon Agusta).

 

Aku mengenal dan jumpa Bang Leon ketika aku masih remaja-remaja dulu.

 

Pada gempa 2009 dulu, aku dan sejumlah sastrawan, budayawan dan seniman yang antara lain (kalau tak salah) ada Bang Muhammad Ibrahim Ilyas, ada (alm) Asbon Budinan Haza, ada Uda Emeraldy Chatra, bercakap-cakap pada sebuah paviliun (kamar) yang ada di Taman Budaya.

 

Ketika asik berbincang-bincang, tiba-tiba gempa datang menggoyang. Bumi seperti berdarak-darak. teringat anak dan bini yang tinggal di Airtawar (dekat bibir pantai) reflek aku melompat dan langsung tancap gas mengendarai mobilku. Ajaib, dalam macet; aku tiba juga akhirnya di rumah. Lalu, kularikan anak bini ke tempat yang kwasan yang lebih tinggi.

 

Dan aku tidak tahu, kemana Bang Leon dan abang-abang seniman 'melarikan diri' dari gempa itu.

 

Dua tahun yang lalu, Bang Leon menyempatkan diri hadir dan membacakan puisi "Huesca" dalam konser Puisiku.

 

Itulah pertemuan penghabisanku dengan Bang Leon. Dan aku memang lebih banyak berada di Bukittinggi ketimbang di Padang. Karena aku dan keluarga berpindah ke kota wisata itu sejak musim gempa yang merumaskan perutku.

 

Sekitar setengah jam yang lalu, aku buka FB. Aku terpukul membaca status dari bang Syarifuddin Arifin Dua: " menjenguk budayawan Leon Agusta di kediamannya Telukkabung Padang, yg wafat sore (10/12) tadi di RSUP M Djamil".

 

Sehari tadi, aku asik membuat taman di pekarangan rumah adikku. Aku selesai bekerja membuat taman sekitar pukul setengah dua tadi. HP-ku, entah di mana letaknya, aku tak tahu. Aku lterlalu arut dalam karya taman batu artifisial. Dalam rinai pun aku mengaduk semen. Yang kutahu, lima ekor ikan koiku mati terhirup air semen yang jatuh ke kolam ketika aku bekerja.

Lelah benar rasanya, mendengar kabar duka itu. Sehingga, sulit rasanya aku menyusun kata. Bang Leon adalah sastrawan besar, dari Minangkabau untuk Indonesia. Cara bicara bang leon yang sangat 'romantis' itu terbayang kembali di ruang mataku. Bagiku, bagi kita, Bang Leon adalah sumber inspirasi. Bagiku, bagi kita; bang Leon adalah kebanggaan bersama.

Leon Agusta, yang kadang-kadang 'kuper-abang-kan' dan kadang-kadang 'kuper-om-kan' itu kini telah tiada. Beliau pergi dalam usia 77 tahun.

" Bila tak ada kata terucapkan, sebanyak doa akan jadi surga bagimu, Bang!"

Selamat jalan Bang...
Puisiku menangis,sastraku duka!