INSPIRASI UNTUK PEMBANGUNAN BUKITTINGGI (Sebuah Dialog untuk Kota Wisata Kota Perjuangan Kita)
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 23 Juni 2015 02:46:08 WIB
“ Bung, tak ada yang tak bisa kita lakukan bung kalau andaikata kita mulai dengan niat dan itikad yang baik. Bila kita mulai dengan kesungguhan. Bila kita mulai dengan kerja keras. Bila kita mulai dengan semnagat heroik. Bila didukung oleh orang banyak. Tak ada yang tak bisa kita lakukan Bung, kalau niat sudah besar dan tertancap kuat dalam pikiran dan hati dalam segala pengetahun dan keyakinan , Marapi Singgalang pun bisa kita pindahkan”, ujar H Febby dalam perumpaan untuk mewujudkan tekad yang kuat.
Seperti janji saya dini malam tadi yang saya tuliskan di status FB saya, bahwa saya akan menuturkan kembali kekhawatiran-kekhawatiran seorang H Febby DT Bangso Putiah bila kopi Bukik Apik hanya tinggal nama akibat digulung angin globalisasi yang berkisai bak badai di tengah pasar kita.
Olala, baru saya ingat; tiga hari nan lalu, Budi anak lelaki Inyiak Nasrul Siddik (alm) mengirimkan saya berbungkus-bungkus kopi 100% asli dari Bukik Apik. Inyiak Nasrul Siddik dulu pemimpin umum dan pemimpin redaksi Mingguan Canang, di tempat mana saya pernah bekerja selama 12 tahun. Inyiak Rang Birugo, istri beliau nak rang Bukik Apik. Beliau tak saja saya anggap sebagai induk semang, tetapi lebih dari itu, beliau sudah seperti Bapak Angkat oleh saya, anak-anak beliau sudah seperti saudara saya sendiri.
Nah, kopi Bukik Apik kiriman Budi itulah yang menemani ngopi saya di kopi pagi hari ini.
Dulu saya sering ke Bukik Apik bertandang ke rumah Inyiak Nasrul Siddik. Terakhir saya ke sana bersama Pak Muslim Kasim (kini Wagub Sumbar) sewaktu Pak Muslim hendak berniat maju jadi bakal calon gubernur Sumbar 2010-2015. Inyiak bukan hanya seorang sastrawan, bukan hanya wartawan hebat, tapi adalah juga seorang budayawan yang berpikir besar bagi pembangunan dan kemajuan Minangkabau. Maksud kami ke sana adalah menangguk pikiran-pikiran Inyiak bagi kejayaan Minangkabau. Dan masa itu akhirnya ‘memaksa’ Pak Muslim menjadi wakil gubernur dan berpasangan dengan Pak Irwan Prayitno. “ Untuk mengubah keadaan ini, ya Pak Muslim harus jadi pemimpin”, begitu dulu kata Inyiak. Tapi ya itu tadi, keadaan politik pada masa itu tak memungkin Pak MK untuk jadi gubernur , karena sulit partai saja.
Menulis dan menuturkan soal perkopian, terutama soal kopi Bukik Apik memang membuat kenangan saya melayang jauh sekali. Bagi saya, kopi adalah kenangan.Kopi adalh sumber inspirasi. Papa saya juga pecandu berat kopi.Mirip dengan saya kini. Tanpa mengopi, payah saya untuk menulis. Maka stok yang tak boleh habis di rumah saya adalah kopi.Dan stok lain yang tak boleh habis di muka saya adalah rokok. Kopi dan rokok, adalah ‘hidup’ saya. Wajar saja bila H Febby bercakap-cakap tentang kopi, saya akan bersemangat sekali menanggapinya.
Saya dengan H Febby memang sangat akrab sekali, bahkan sudah seperti dunsanak, mirip seperti hubungan saya dengan Inyiak Nasrul Siddik dan Pak Muslim Kasim.
Keakraban saya dengan tiga tokoh tersebut karena pikiran yang sama.Yakni, sama-sama berpikir untuk kejayaan Minangkabau. Ya setidaknya, kami tak rela-rela amat bila ‘jalan di asak orang lalu’ bila Minangkabau ‘tenggelam’ atau hanyut di arus masa yang kadang tiba bak galodo yang menghancurkan atau melenyapkan tapian mandi tempat kita berkecimpung.
Ya, begitulah!
NAN DIA SEDERHANA
PIKIRANNYA TIDAK
Sebagai seorang pengusaha, Febby anak muda yang sukses. Dia terlahir sebagai pengusaha, bukan karena ‘turunan’nya, bukan karena rang tua berpusaka lawas. Tapi, asli karena tulang 8 kerat yang ia ‘palasahkan’ dalam pikiran-pikiran kratif, jernih dan gigih. Sejak masa SMA saja ia sudah pandai mencari duit sendiri. Hebat, dia di mata saya!
Pergaulannya pun ‘mengindonesia”. Saya sering diajaknya ke beberapa orang-orang berpangkat tinggi di Indonesia. Ia berkawan dengan beberapa menteri. Ia pula yang pertama kali mengusung Jusuf Kalla sebagai Presiden. Ia kumpulkan kawan-kawannya Ketua PKB di Propinsi seluruh Indonesia. Lalu, ia disain sebuah Deklarasi di Makassar untuk mengikrarkan JK sebagai pemimpin Indonesia—yang kemudian JK menjadi Wapres berpasangan dengan Jokowi.
SOSOK GIGIH
Walaupun Febby tak pernah meninggalkan kota Bukitting—lahir, sekolah,berkuras hingga kini tetap di sini---tapi mata saya pergaulannya tetap ‘tinggi’. Cara ia bergaul tak pula berpantang-pantang benar. Bahkan dengan siapa saja ia gampang dekat dan bersahabat. Ia, tak sombong. Bawaannya sederhana sekali. Kalaupun ada yang tak sederhana dalam hidupnya, saya rasa itu hanya soal “pikirannya” saja. Pikiran Febby memang tak sederhana. “ Kita harus berani berpikir besar Bung. Kalau kita tetap berpikir kecil, hasilnya juga kecil. Mana bisa pula mengubah nagari bila dari hari ke hari kita hanya berpikir kecil dan takut berpikir besar!” jawab H Febby.
Saya ingat, apa yang pernah disampaikan seorang pengusaha ternama di Sumbar, H Nelson: “ Febby itu seorang sosok anak muda yang gigih dan pantang menyerah untuk mewujudkan pikiran-pikirannya!”
BUKITTINGGI MINDED
Terkadang Febby terlalu Bukittinggi ‘minded’. Sedikit-sedikit Bukittinggi-sedikit-sedikit Bukittinggi. “ Ba-a awak indak kamamikiakan Bukittinggi,Bung...di sini awak lahir, di sini awak berkuras, di sini awak hidup, di sini awak berpikir. Tak tertinggal-tinggalkan nagari ini dek awak. Hingga kini awak hidup dan berusaha di sini!” kata H Febby.
Bagi H Febby, Bukittinggi adalah tempat lahirnya. Bagi saya, Bukittinggi juga tempat kelahiran, tapi kota tempat lahirnya rang rumah saya. Nan saya rang Sikumbang Alai Gunuangpangilun Padang, nan papa saya rang Tanjuang asal Duriankapeh Tiku. Nan mertua perempuan saya rang Caniago Pasarberingin Lubuakbasuang.Mertua lelaki saya rang Sikumbang Padanglua (tepatnya di muka kantor PLN itu benar).
Wah kalau soal mengkaji asal berasal, bisa panjang ini kaji, bisa lupa kita mengulas soal kopi.
Ohya, sebelum soal kopi, soal Bukittinggi dululah kita kupas-kupas.
Bukittinggi kini, sejak gempa meletus, menjadi tempat tinggal saya dan keluarga. Di kota ini anak-anak saya bersekolah. Dulu kami tinggal di Padang. Rumah kami di Padang hanya berjarak puluhan meter dari bibir pantai. Dabur ombak, terdengar sampai ke kamar rumah kami. Anak-anak saya trauma gempa. Biar aman, saya ajak saja mereka tinggal di Bukittinggi.
Ya, ternyata Bukiktinggi asik juga.
SEPERTI SINGGALANG DAN MARAPI
Kalau saya sedang mahota-hota dengan Febby, nyaris 70% dari konten ota itu tak jauh-jauh dari Bukittinggi. Saya memandang Febby seperti memandang Singgalang dan Marapi, karena di antara gunung gagah itulah kota ini terhampar. Saya kira nama sebuah hotel di kota Bukittinggi mungkin saja akronim dari “DI antara MErapi daN Singgalan”.
KOTA RUKO
Berkata H Febby, “ Bung Pinto, kalau kita tak hati-hati kota ini akan menjelma menjadi kota Ruko. Lihatlah nyaris di tiap tepi jalan ruko-ruko berdiri bak cendawan tumbuh yang lama-lama akan memenuhi kota berluas lima kali lima kilo meter bujur sangkar ini”.
Sekadar pembuktian, Febby mengajak-ngajak saya berputar-putar keliling kota. “ Ha, itu ruko, ini ruko.Itu ruko lagi.Ini ruko lagi!” ujar Febby dari atas mobil yang membawa kami berputar-putar.
“Sebenarnya tak masalah, Bukittinggi berbanyak ruko. Tapi alangkah baiknya bila pembangunan ruko ini ditata melalui Perda.Biar tampak tersusun dan cantik. Dibuat Perda Ruko. Misalnya, pada suatu kawasan, rukonyo mencerminkan bangunan berciri khas Minang. Pada kawasan lain bercirikan pembangunan ruko dengan disain kota lama. Semua diatur dengan apik dan cantik. Mengapa begitu? Karena, kota Bukittinggi adalah kota di atas citra dan bendera wisata. Kalau semua tertata, luar biasa!” ujar Febby.
Lalu saya dibawa-bawa H Febby masuk pasar. Jadi kami maota-ota sambil langsung berada di tempat atau objek yang sedang kami otakan itu. Pertama kami ke Pasar Bawah. Pasar tradisional yang ada di kota Bukittinggi. “ Lihatlah bung. Apa yang bung pikirkan tentang pasar ini?’ tanya Febby. Saya sengaja diam, lebih baik saya biarkan pikiran sahabat saya ini tercurah di Pasar Bawah.
MENGUPAS PASAR
“ Pasar ini bukan hanya sekadar tempat atau pusat aktivitas ekonomi belaka, tapi juga bisa dijadikan pasar pendukung objek wisata. Sedikit sentuhan saja, pasar ini jadi ini bung!” ujarnya.
“ Ji...”, kata saya memotong pikiran H Febby yang saya panggil “Ji” itu. “Carilah dulu kadai kopi di tangah pasar ini. Sambil mengopi kita bicara baru lamak terasa.Terang kira-kira.Terang pencalik-an. Kalau sudah ada kopi, nak berpikir besarlah. Akhirnya kami duduk pada sebuah petak kadai kopi.
“Bayangkan oleh Bung, bila pasar ini ditata ulang.Dinyamankan.Dibersihkan. Didisain menjadi Pasar Tradisional yang tak saja menjual kebutuhan hidup sehari-hari tapi juga menyediakan los khusus tempat orang menjual beragam benda-benda unik berbau tradisi. Saya yakin, pasar ini akan memberi daya tarik kepada para wisatan kita. Bertambah satu lagi objek kunjungan wisata di Bukittinggi”, ucap Febby.
MERAMAIKAN MASJID
Gara-gara maota ini putus juga waktu hingga masuk pula solat Zhuhur dibuatnya. Kami solat di masjid raya Suraugadang. “ Coba bung perhatikan, lai bara urangnyo jemaahnya. Tak lebih dari dua saf bung. Dari sekian banyak jemaah, lai berapa orang yang muda-muda atau yang remaja....?” Febby menggeleng-geleng surang.
“ Nagari kita adalah nagari Adat basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah. Saya khawatir filosofi ini hanya tinggal di bibir saja, saya khawatir bila filosofi ini tak tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat awak...”, kata Febby.
“Adakah dan apakah upaya kita meramaikan masjid?” Febby menggeleng-geleng lagi, “antahlah Bung oi !”
“Masjid kita megah-megah bung, jangan biarkan ia sepi jemaah. Saya cemas saja bilamana novel penulis besar A Navis benar-benar terjadi kini, yakni Robohnya Surau Kami!” bergumam lagi H Febby. Dan saya lebih banyak diam. Saya lagi sedang malas berpikir besar karena sedang memikirkan puisi saya yang kecil yang semalam saya abaikan. Belum selesai!
Daripada tidak, saya pancing saja bertanya.
Apa menurut Haji yang harus kita laksanakan?
“ Nah itu dia!”
Ondeh Mak, tinggi benar suara Haji Febby menyebut itu dia. Bahkan, ditepuknya pula pangkal paha saya. Terkejut saya dari lamunan puisi yang saya tinggalkan semalam.
“ Kita ramaikan masjid dan surau. Ramai dek nan mudo. Kita jadikan masjid pusat kegiatan kreativitas anak muda islami. Kita tiupkan ruh-ruh ‘masjid’ di tiap pelosok kelurahan ini. Kita nyalakan semangat remaja di masjid. Kita jadikan masjid tak hanya sebagai pusat ibadah, tapi juga pusat anak-anak muda berpikir dan berkreativitas. Misalnya, di masjid kita taruh radio pemancar komunitas remaja masjid. Kita didik dan kita bina para remaja masjid untuk menyampaikan pikiran islaminya melalui corong radio. Kita lahirkan dai-dai remaja. Kita gelar berbagai lomba islami. Tak ada salahnya, karena bung adalah seorang jurnalis seorang pengarang, seorang penulis, seorang budayawan, Bung adakan di sini pelatihan menulis atau jurnalis bagi para remaja kita. Tak apa-apa bila bung apungkan kembali konsep Jurnalisme Islam yang pernah Bung papatkan pada saya dulu. Kalau remaja masjid pintar menulis, itu hebat Bung. Bung kan tahu, kini tak hanya sekadar perang ekonomi, tapi juga perang paham dan ideologi. Untuk memerangi paham Barat,kapitalisme, yahudi, kita perlu menyiapkan anak muda Islam yang piawai menulis. Nah, bung, pasti ramai masjid oleh anak-anak remaja kita !”
Mendengar apa yang disampaikan H Febby itu saya teringat pada 20 tahun silam. Ketika saya menjadi ketua pemuda di Gunungpangilun dan membina remaja masjid di masjid Ikhlas kampung saya, saya pernah melaksanakan pelatihan jurnalistik remaja masjid dan berharap di masjid juga ada majalh dinding, dan ada radio masjid tempat anak muda menyampaikan pikiran-pikiran dan dakwah.
Karena sepandangan itulah yang membuat saya dan H Febby akrab.
Lama juga kami bercaka-cakap seusai solat Zhuhur di masjid raya Suraugadang itu.
KOTA TAMAN BUNGA
Selanjutnya kami kembali berputar-putar keliling kota.
H Febby menunjuk ke berapa ruang di tengah kota.
“ Coba bung bayangkan, sekiranya di situ kita tanam bunga dalam warna warni yang mempesona. Kita disain taman kota dalam cita rasa. Bayangkan, taman kota Bukittinggi secantik taman bunga di Singapura atau taman bunga di Belanda. Taman bunga bukanlah taman yang mempersempit ruang, tapi adalah taman yang memperlapang pandangan dan sejuk di hati. Di sini taman di sana taman di mana-mana taman berbunga, apakah menurut bung itu bukan sebuah puisi?” retorik H Febby.
“ Bung, tak ada yang tak bisa kita lakukan bung kalau andaikata kita mulai dengan niat dan itikad yang baik. Bila kita mulai dengan kesungguhan. Bila kita mulai dengan kerja keras. Bila kita mulai dengan semnagat heroik. Bila didukung oleh orang banyak. Tak ada yang tak bisa kita lakukan Bung, kalau niat sudah besar dan tertancap kuat dalam pikiran dan hati dalam segala pengetahun dan keyakinan , Marapi Singgalang pun bisa kita pindahkan”, ujar H Febby dalam perumpaan untuk mewujudkan tekad yang kuat.
Gila...gila...gila!
“Dan mengapa kita tak pernah berpikir untuk mencarikan tempat baru bagi Kebun Binatang. Karena tak layak lagi kebun binatang itu ada di tengah kota. Kebun Binatang harus kita pikir-pikirkan mencari tempat pindahnya di pinggir kota Bukittinggi. Kita jadikan kawasan kebun binatang sekarang menjadi kawasan bebas pandang yang penuh taman bunga, dan hijau”ujar Febby.
BILA KOPI BUKIK APIK MENDUNIA
Kemudian kami berjalan-jalan terus hingga sampai ke Bukik Apik!
Kata H Febby, Bukik Apik adolah salah satu ‘nagari’ yang melegenda di Bukiktinggi bahkan menggema di Sumbar, malah di Nusantara. Mengapa? Karena kopinya.
Dulu di Bukik Apik ini banyak industri-industri rumah tangga yang menghasilkan kopi. Kopinya harum. Tak dicampur-campur dengan jagung. Kopinya halus. Kopinya kental. Kopinya nikmat. Tapi itu dulu?
“ Kalau kopi Bukik Apik terhimpit di pasaran, itu harus menjadi buah pikir kita. Apa yang harus kita lakukan untuk kembali membangkitkan kopi Bukik Apik yang nyaris tenggelam? Tak ada pilihan lain, harus ada campur tangan pemerintah untuk melindungi eksistensi kopi Bukik Apik di pasaran. Mereka harus kita bantu dengan berbagai peralatan untuk memproduksi kopi. Mereka harus kita bantu dalam pemasaran dan pengemasan. Mereka harus kita bantu dalam berbagai program perdagangan”, ulas H Febby.
“Bukiktinggi dan Bukik Apik, Bukik Apik dan kopinya, bukan tak mungkin menjadi salah satu ikon kota wisata. Coba bung bayangkan bila sekiranya hotel-hotel di kota Bukiktinggi ini memakai kopi Bukik Apik bagi tamunya. Kita kemas kopi Bukik Apik dalam kemasan modern itu. Tiap-tiap acara resmi dan kopi pagi di mana saja, yang ada adalah kopi Bukik Apik. Di pintu masuk Bukik Apik kita bikin gerbang megah bertuliskan : Selamat Datang di Bukik Apik, kampuang Kopi Kota Wisata ! “ ujar Febby.
“ Bung, tampaknya saja itu yang ide kecil bung!”
“ Bukan JI, ini ide besar”, sanggah saya.
Saya meyakini ini ide besar. Karena bila kopi Bukik Apik mendunia, itu akan mengangkat ekonomi masyarakat. Bahkan saya berpikir agak lebih jauh sedikit. Di Bukik Apik ini ada pabrik kopi yang modern dan besar. Ia kuasai pasar kopi international. Uniknya, unit usaha kopi ini menjadi milik bersama rang sa Bukik Apik, dikelola oleh“nagari”.
Bila kopi Bukik Apik mendunia, tentu puisi saya makin hangat!
“ Berita adalah matahari bagi pembaca. Ia harus mencerahkan, bukan menggelapkan bukan memberi kabar petakut tapi adalah kabar yang menginspirasi banyak orang. Setajam apapun menulis, jangan seperti pisau melukai. Sekuat apapun menusuk, jangan seperti duri yang menyansam..! Tak pernah berita buruk yang melahirkan kebaikan-kebaikan. Mulailah menulis berita dengan niat yang benar, bukan dengan kebencian-kebencian....”, pesan Inyik Nasrul suatu kali pada saya. Dan pesan beliau lagi, seorang wartawan jangan pernah meminta atau menginginkan perlakuan-perlakuan istimewa, sombong itu tak perlu! (PintoJanir)