MINANGKABAU, USAH TERLEMPAR KE RUANG ABSTRAK , BILA KITA HANYA TINGGAL SKETSA
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 17 Maret 2015 03:26:19 WIB
Kreasi bukan pelenyap. Idealnya, kreasi adalah penyempurna dan pelengkap. Dalam mengkreat sesuatu, ada yang tabu dan ada yang setengah tabu dan ada yang "merdeka", tanpa melukai dinding publik.
Ketika sunting dimodivikasi di ruang imajinasi, yang tercipta adalah abstrak. Kemudian, ia kita sepakati menjadi sketsa. Apakah ia sebuah kreasi? Ya. Tapi, kreasi yang bagaimana? Sekalipun ia tetap berpijak pada sedikit akar, tapi ia telah menjadi kreasi yang ingkar pada keorisinilan.
Kini, kreasi seperti menjalar dan melukap ketabuan di ruang mana-mana. Ruang budaya, ruang sosial, ruang ekonomi, ruang moral, ruang politik, bahkan dengan setengah gila para kreator coba-coba merayap ke ruang keniscayaan. Terkadang ia menikam dada berkulit tipis dan menggoda keyakinan. Saat itulah, jantung hati bertali rapuh, dihoyaknya keras! Yang lemah putus, yang lunak mati!
Dan, seperti apakah cinta kita pada Minangkabau? Apakah seperti apa dan bagaimana yang ada dalam pikiran, hati dan akal masing-masing?
Yang pasti, Minangkabau bukanlah sebuah agama. ia ada karena kesepakatan bersama. Kesepakatan ada karena rasa. Rasa senasib. Rasa seperangai. Rasa seiya dan sekata.
Keseiyaan adalah tuah, ia bertuah pada sekata. Ia bulat. Bulat yang tak seperti bola salju; tapi adalah bulat yang "membumi"- mencakam ke tanah memberi kehidupan seperti air. Ketika itu, ia menjadi ranah; Ranah Minang Tacinto.
Dari dulu-dulu, dari segala tambo, dari segala pepatah-petitih; Minangkabau istimewa. Keisitimewaan mana yang bukan untuk diminta-minta, tapi keisitimewaan yang diakui. Lawiknya sati, rantaunya bertuah!
***
Hati-hati bermain di kamar imaji. Hati-hati menari bermusik ilusi. Hati-hati!
Pandang menyudahi, mata mengakhiri. Berakhirlah dengan mata hati, jangan dengan mata kaki. Terkilir kita nanti.
***
Dunia kini hiruk pikuk dengan "abstraksi". Energi gelap mengoyak segala yang ada dan teradakan. Ketika grativikasi mengkhianati bumi, kita seakan tersungkur dalam diri sendiri. Tak sadar, dalam dingin; kita membusuk. Lalu terurai menjadi radiasi. Manakala kita menengadahkan tangan di langit tak bertonggak, nyaman terasa arasy gagah berdiri; tunduklah bulan, tunduklah matahari!
Segala ada pasti mati, tak terkecuali matahari. DzatNya yang tak serupa dan tak seperti, tetap kekal abadi !
***
Aku tak bisa menyembunyikan kekaguman menyaksikan betapa kreatifnya nenek moyang kita mengarsiteki " Rumah Gadang 9 Ruang". Tak berpaku besi atau baja, bertupang kayu di tempat yang tepat, ia gagah dan kuat berdiri. Tak lapuk dek hujan, tak lekang dek paneh, tak runtuh dek gempa.
Ketika gempa bumi tak meruntuhkannya, namun gempa " pikiran" di ruang masa yang tajam; diam-diam melapukkannya. Terkadang ditinggalkan, lalu tersungkur sendiri; melapuk. Tonggak tuo dikumpulkan "kolektor" dikreasi menjadi "bangunan baru".
Saya rindu, gonjong yang bukan sketsa. Tapi adalah gonjong yang benar-benar beratap ijuk, berukir jati, bukan beton yang direlif. Saya, gamang; bila bangunan rumah gadang menjadi sketsa milenium yang lenyap tak sampai seribu tahun! (Pinto Janir)