SYAMSUL BAHRI SUTAN BASA : Petani PHT Berpenghasilan Rp 48 Juta

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 22 September 2014 08:54:16 WIB


Sebelum mengikuti PHT, banyak budidaya yang ia lakukan tak pas di lahan. Ada-ada saja kendala bertanam. Ada-ada saja hama dan penyakit yang membuat ia gagal panen yang pada akhirnya kehidupannya tak ubahnya dari senin ke Kamis. Kehidupan gali lubang tutup lubang selalu saja menjadi warna bagi kehidupan sehari-harinya.

 

       Syamsul Bahri Sutan Basa, usia 54 tahun. Anak 4 orang. Dua anaknya sarjana tamatan ITP dan STAIN.Anak ketiganya kuliah di Akademi Kebidanan. Satunya lagi masih sekolah di SMA. Syamsul yang sering dipanggil Basa ini adalah warga kelurahan Ganting Padangpanjang.

            Ia menghidupi kelurganya di atas lahan padi dan palawija seluas 1,5 hektar. Ia ikut program PHT pada tahun 1986. Berkat PHT, Basa menjadi petani sukses dengan pendapatan bagus. Tak ada cermin kemiskinan dalam kehidupannya. Dia telah menjadi petani berpitih padat.

            Katanya, sebelum mengikuti PHT, banyak budidaya yang ia lakukan tak pas di lahan. Ada-ada saja kendala bertanam. Ada-ada saja hama dan penyakit yang membuat ia gagal panen yang pada akhirnya kehidupannya tak ubahnya dari senin ke Kamis. Kehidupan gali lubang tutup lubang selalu saja menjadi warna bagi kehidupan sehari-harinya.

            Dan bagaimana pula kisah sukses petani PHT ini?

            “ Setelah mengikuti PHT saya baru tahu dengan apa dan bagaimana budidaya itu. Bila dulu, pengendalian hama itu adalah secara tradisional saja, pengetahuan mana yang diperoleh dari turun temurun. Dari Inyiak ka anduang, dari anduang ka abak, dari abak baru ka awak.

            Lucunya dulu tikus itu mitosnya tak boleh diburu atau dibantai atau dihabisi. Tikus itu punya kekuatan mistik. Mereka juga punya nenek moyang. Bila satu tikus dibunuh, maka serangannya akan meningkat. Akan makin banyak. Dan akan makin membahayakan bagi tanaman kita. Makanya, tikus dibiarkan saja. Solusinya waktu itu adalah dengan doa tulak bala. Atau untuk sementara menghentikan masa bertanam hingga serangan tikus selesai. Ya, begitulah dulunya itu.

            Sejak PHT, mitos itu telah kami tinggalkan. Kami dberi tahu cara mengendalikan hama tikus, hama wereng dan hama lain serta penyakit tanaman yang lainnya. Dengan pengetahuan PHT, cara bercocoktanampun jadi terencana dalam jangka panjang maupun jangka pendek, termasuk pula dengan budidaya dan jenis komoditi tanaman itu sendiri.

            Teknologi PHT telah meminimalisir hama dan penyakit tanaman. Produksi kami para petani menjadi sehingga melepaskan kami dari beban hidup yang dulu senantiasa susah. Ekonomi kami berangsur-angsur membaik dengan meningkatnya produksi tanaman kami.

            PHT juga menjadi salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah.

            Karena PHT mengajarkan kami untuk hidup kreatif dan tak saja harus menunggu hasil padi di sawah, maka kami juga bertanam jagung. Ketika padi masak, jagung kami juga berbunga. Kami juga memelihara ternak sapi. Dari limbah jagung dan tahi kerbau kami buat pupuk kompos untuk dijual. Tiap 3 bulan, kami menghasilkan 60 ton pupuk olahan atau pupuk organik. Harga pupuk satu kilogram adalah Rp 8 ribu. Sekali 3 bulan kami menghasilkan uang sebanyak Rp 48 juta atau Rp 16 juta sebulan.

            Alhamdulillah, PHT telah membuka cakrawala kami para petani. Kami yakin, masa depan petani kita akan jauh lebih baik dari sekarang bila pemerintah senantiasa memberikan bimbingan dan binaan serta berbagai pelatihan teknologi pertanian kepada para petani kita. Sebenarnya juga, soal pertanian bukan soal modal semata, itu adalah soal peningkatan pengetahuan.

            Yang paling hebat dan luar biasa adalah ketika PHT berhasil mengatasi persoalan pertanian dalam bidang penanggulangan hama dan penyakit serta pupuk. Ketika biaya beli pestisida lenyap, biaya beli pupuk lenyap, bibit juga terjamin, pada saat itulah petani dengan senyum manis menyambut masa berpanen di depan mata!

            Terimakasih Pemerintah….(Pinmto Janir)

 


Berita Terkait Lainnya :