Nagari sebagai Sumber Data: Menenun Kedaulatan dan Integrasi Digital dari Solok untuk Indonesia
Artikel Dedi Oscar Adams, M.I.Kom.(DINAS KOMUNIKASI, INFORMATIKA DAN STATISTIK) 25 Oktober 2025 10:46:10 WIB
Oleh: Lizda Handayani, M.Kom.
Ketika berbicara tentang transformasi digital di tingkat lokal, pikiran banyak orang langsung tertuju pada kota besar dengan infrastruktur yang lengkap dan sumber daya yang melimpah. Namun, perubahan besar kadang justru berawal dari akar yang paling dalam — dari nagari-nagari kecil yang belajar mengenali dirinya melalui data.
Itulah yang kini mulai tumbuh di Kabupaten Solok: kesadaran bahwa data adalah aset nagari, bukan sekadar alat administratif.
Dari Catatan ke Data
Lahirnya kesadaran baru di banyak nagari di Kabupaten Solok, data dulunya dipandang sebagai urusan pemerintah pusat. Kartu keluarga, laporan kependudukan, atau data bantuan sosial dianggap sekadar formulir yang harus dikirim ke kabupaten. Namun kini paradigma itu bergeser. Melalui penerapan OpenSID (Sistem Informasi Desa/Nagari terbuka), perangkat nagari mulai mengelola sendiri data mereka — siapa warganya, bagaimana kondisi sosialnya, apa potensi ekonomi yang dimiliki, hingga infrastruktur apa yang masih kurang.
Data yang dulu tercecer di lemari arsip kini hidup dalam sistem digital yang bisa diakses dan diperbarui oleh nagari sendiri. Kepala jorong atau perangkat nagari tidak lagi sekadar menjadi pengumpul data, tapi juga pengelola pengetahuan lokal.
Dari sini, nagari menjadi lebih mandiri dan lebih peka terhadap dinamika sosialnya.Namun kemandirian itu tidak berarti menutup diri. Justru dari sinilah konsep integrasi data berdaulat menemukan bentuknya. Integrasi yang menghargai kedaulatan.
Banyak yang salah paham bahwa integrasi data berarti menyerahkan seluruh data lokal ke pusat. Padahal, yang diupayakan Kabupaten Solok adalah model integrasi yang menghormati kedaulatan data nagari.
Setiap nagari tetap menjadi pemilik sah datanya, sementara kabupaten, provinsi, dan pusat hanya menerima data agregat sesuai kebutuhan kebijakan. Melalui OpenSID, nagari dapat mengekspor data penduduk, fasilitas publik, potensi ekonomi, dan kondisi sosial ke portal integrasi kabupaten. Data itu diolah menjadi indikator dan peta tematik yang membantu perencanaan pembangunan. Pemerintah kabupaten tidak perlu “mengambil” seluruh data warga; cukup membaca sinyal dan tren yang dikirim dari nagari.
Dengan mekanisme ini, nagari tetap memegang kendali. Data sensitif — seperti identitas pribadi, kepemilikan tanah, atau riwayat bantuan — tidak meninggalkan server lokal tanpa izin. Sementara kabupaten tetap memperoleh gambaran utuh untuk merencanakan intervensi sosial yang tepat sasaran.
Inilah bentuk “kedaulatan data digital” yang relevan dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah — sebuah prinsip bahwa setiap kebijakan harus berakar dari kesadaran dan kemandirian lokal.
Jembatan digital antar tingkatan pemerintahan integrasi data nagari–kabupaten–provinsi–pusat bukan perkara teknis semata. Ia memerlukan arsitektur kelembagaan dan komitmen politik yang konsisten.
Pemerintah Kabupaten Solok melalui Dinas Komunikasi dan Informatika misalnya, berperan sebagai jembatan. Data yang berasal dari OpenSID di masing-masing nagari dikonsolidasikan ke portal kabupaten dengan format standar. Dari situ, data bisa diteruskan ke provinsi dan pusat melalui kanal resmi seperti sistem Satu Data Indonesia.
Langkah ini tidak hanya mempermudah sinkronisasi laporan pembangunan, tetapi juga menghilangkan tumpang tindih dan duplikasi. Banyak sekali kebijakan nasional yang gagal tepat sasaran karena basis datanya tidak konsisten antara lapangan dan dokumen resmi.
Dengan model integrasi yang dibangun dari nagari, Kabupaten Solok menawarkan pendekatan yang lebih organik: membangun dari bawah ke atas (bottom-up data governance).
Misalnya, data sanitasi yang dikumpulkan oleh operator OpenSID di Nagari Lembah Anai dapat langsung terhubung dengan sistem kabupaten untuk memetakan kebutuhan air bersih. Dari peta itu, kabupaten bisa menyalurkan program pembangunan sumur bor di titik-titik yang benar-benar membutuhkan, bukan berdasarkan perkiraan di atas kertas.
Dari situ, provinsi melihat pola yang sama di beberapa kabupaten, lalu mengusulkan program lintas wilayah. Pusat pun akhirnya mendapatkan data mikro yang akurat untuk menyusun kebijakan nasional yang berpihak kepada daerah.
Teknologi yang tumbuh bersama manusia meski berbicara tentang data dan sistem, namun inti dari gerakan ini tetaplah manusia. Digitalisasi nagari tidak mungkin berhasil tanpa SDM lokal yang melek teknologi dan memiliki rasa kepemilikan terhadap data. Petugas nagari di Solok kini bukan sekadar admin komputer, tetapi penjaga ekosistem informasi lokal. Mereka belajar menginput, memverifikasi, dan menganalisis data; bahkan sebagian mulai menggunakan dashboard OpenSID untuk memantau tren demografis atau kebutuhan bantuan sosial secara real time.
Namun tentu saja tantangannya besar. Masih ada nagari yang koneksi internetnya terbatas, atau perangkat kerasnya belum memadai. Ada juga kendala budaya — kekhawatiran sebagian tokoh adat bahwa digitalisasi bisa “menyederhanakan” realitas sosial nagari yang kompleks.
Tantangan-tantangan ini wajar, dan justru menunjukkan bahwa digitalisasi bukan proyek sekali jadi. Ia proses panjang yang memerlukan dialog antara teknologi dan tradisi.Karena itu, langkah paling bijak bukan mengganti cara lama secara radikal, melainkan menenun teknologi dengan kearifan lokal.
Dalam konteks ini, OpenSID bukan sekadar aplikasi, tapi jembatan antara cara pandang adat dan tata kelola modern.Menjadi sumber data, bukan sekadar objek data. Ada perubahan mendasar dalam cara pandang nagari terhadap dirinya. Dulu, nagari sering menjadi “objek” pengumpulan data oleh lembaga di atasnya — didatangi, diwawancarai, lalu ditinggalkan. Kini nagari mulai menjadi subjek data, pengelola utama yang memahami makna di balik angka.
Dengan kemampuan itu, nagari bisa menyusun prioritasnya sendiri. Mereka tahu berapa banyak keluarga yang butuh bantuan pendidikan, berapa kilometer jalan yang rusak, atau potensi ekonomi apa yang perlu dikembangkan. Data bukan lagi sesuatu yang “diminta dari luar”, tapi cermin untuk melihat diri sendiri.
Bagi pemerintah kabupaten, situasi ini adalah keuntungan besar. Perencanaan pembangunan menjadi lebih presisi, program sosial lebih cepat diterapkan, dan transparansi meningkat. Masyarakat pun melihat langsung bagaimana datanya digunakan untuk kebijakan nyata.
Di sisi lain, keterlibatan provinsi dan pusat dalam mendukung infrastruktur, pelatihan, serta standardisasi data memperkuat rantai integrasi. Tapi kuncinya tetap satu: nagari tidak boleh kehilangan kendali.
Dari Solok untuk Indonesia. Apa yang dilakukan Kabupaten Solok sebetulnya adalah miniatur dari mimpi besar Indonesia: pemerintahan berbasis data yang partisipatif dan berdaulat. Ketika nagari menjadi simpul data yang aktif, kabupaten memperoleh kekuatan baru dalam perencanaan, dan provinsi mendapat basis analisis yang akurat.
Akhirnya, kebijakan nasional pun lahir dari realitas lapangan, bukan asumsi statistik.Model semacam ini patut menjadi rujukan nasional. Dengan sistem terbuka seperti OpenSID dan komitmen menjaga kedaulatan data lokal, integrasi bukan lagi soal teknis, tapi soal kepercayaan — antara masyarakat dan negara.
Nagari-nagari di Solok telah membuktikan bahwa transformasi digital tidak harus datang dari kota besar atau pusat pemerintahan. Ia bisa tumbuh dari jorong, dari balai nagari, dari para operator data yang bekerja senyap namun berdampak besar. Dan mungkin, di sanalah masa depan pemerintahan digital Indonesia sedang dirajut — pelan tapi pasti, dari nagari yang mengenal dirinya melalui data.
Berita Terkait Lainnya :
- Provinsi Sumatera Barat Memperoleh Penghargaan Pokja AMPL Terbaik di Indonesia
- Peta Sebaran Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian di Indonesia
- Tim Satpol PP Sumbar melakukan Penyelamatan Korban Longsor di Solok Selatan
- Wakil Gubernur Sumatera Barat Meninjau Pelaksanaan Ujian Nasional di Kab. Solok & Kota Solok
- : Dishut Sumbar mendapat hibah kendaraan operasional dari BPDAS Indragiri Rokan.