9 Ramadan Proklamasi Kemerdekaan

9 Ramadan Proklamasi Kemerdekaan

Artikel () 02 Mei 2020 23:12:06 WIB


Pada saat saya membuat tulisan ini, bertepatan dengan tanggal 9 Ramadan 1441 Hijriyah atau 2 Mei 2020. Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 Hijriyah. Aura Ramadan sangat terasa mewarnai seputar proklamasi kemerdekaan. Tak heran pembukaan UUD NRI Tahun 1945 ada kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” di dalamnya.  

Saya mencoba menelusuri bagaimana suasana menjelang pelaksanaan proklamasi kemerdekaan RI yang terjadi di bulan Ramadan tersebut. Penelusuran paling mudah melalui mesin pencari seperti Google mendapati cerita bahwa menjelang pagi dilakukan proklamasi, sahur dilakukan oleh para proklamator dan pejuang yang terlibat di dalamnya. Maka ketika proklamasi dibacakan, semuanya (yang beragama Islam tentunya) sedang dalam kondisi puasa.  

Jika kita coba rasakan kondisi saat itu dan dibandingkan dengan kondisi saat ini, ada semacam kesamaan yang berbeda bentuk. Dulu di bulan Ramadan, rakyat sedang dalam kondisi terjajah. Kekejaman penjajah bisa menyebabkan nyawa melayang. Kini, kondisi penyebaran wabah Covid-19. Jika tidak mematuhi aturan dan anjuran dari pemerintah dan ulama, nyawa bisa melayang terinfeksi Covid-19. Meskipun tidak semua yang terkena Covid-19 akan meninggal, karena ada juga yang sembuh.  

Dulu, dalam suasana terjajah, menjadi orang terhina. Kita tidak memiliki senjata lengkap. Sedangkan penjajah memiliki senjata lengkap, siap menyiksa atau menembak orang yang dianggap sebagai ancaman. Tapi kini kondisi merdeka, tidak lagi terhina. Akan tetapi terkesan ada yang kurang mensyukuri kemerdekaan. Yaitu mereka yang menganggap tidak perlu keluar rumah pakai masker, tidak perlu cuci tangan, tidak mau mematuhi jaga jarak fisik dan sosial. Bahkan nekat masih melakukan salat berjamaah di masjid atau musala, padahal kerumunan atau keramaian akan berpotensi menularkan Covid-19.  

Di kondisi merdeka, kita punya pemerintahan dan juga ulama. Dulu di masa penjajahan ulama tegas menyatakan melawan penjajah meski taruhan nyawa. Kini ulama memfatwakan jangan salat berjamaah di masjid dan musala agar tidak terjadi penularan, supaya tidak ada nyawa yang melayang, malah dilawan oleh sebagian masyarakat.  

Pemerintah sudah membuat aturan di masa darurat kesehatan dan penerapan PSBB. Namun justru dilanggar dan diabaikan. Nikmat kemerdekaan yang seharusnya digunakan untuk banyak bersyukur dengan cara mematuhi aturan terkait darurat kesehatan dan PSBB, justru dijauhi. Emosional lebih mengemuka dibanding rasional. Maka jumlah orang yang positif Covid-19 makin bertambah. Pertambahannya pun tidak lagi berasal dari luar, tetapi dari transmisi lokal. Yaitu penyebaran yang dilakukan oleh warga lokal.  

Proklamasi kemerdekaan yang dilakukan di bulan Ramadan menunjukkan bahwa di tengah kondisi terjajah saja, ternyata Allah Swt memberikan rahmatNya berupa kesempatan memproklamasikan kemerdekaan. Maka di saat merdeka seperti sekarang, dan di bulan Ramadan, bukan tidak mungkin Allah Swt pun mengubah suasana pandemi menjadi kembali normal.  

Pasti ada syaratnya agar Allah Swt mengubah keadaan ini. Misalnya, masyarakat mematuhi aturan PSBB atau darurat kesehatan. Di antaranya memakai masker ketika keluar rumah, rajin mencuci tangan, menjauhi keramaian atau kerumunan, menjaga jarak fisik dan sosial, menjaga kebersihan dan kesehatan. Jika hal tersebut tidak dilakukan, mustahil Tuhan memberikan pertolongannya kepada kita.  

Bulan Ramadan adalah saat di mana doa-doa dikabulkan dibanding bulan yang lain. Kita bisa memperbanyak doa agar kondisi saat ini bisa berganti kepada suasana yang normal atau lebih baik. Tapi Tuhan selain mendengar doa hambanya juga menghendaki perubahan dari hambaNya. Maka, itu tergantung kita, apakah mau mengubah kondisi saat ini atau tidak. (efs)  

ilustrasi: shutterstock