BALADA RIPPDA SUMBAR , mahzab asa lai masuak….

Artikel () 23 Oktober 2013 03:05:07 WIB


BALADA RIPPDA SUMBAR , mahzab asa lai masuak….

H. Novrial, SE, MA, Ak, Sekdisbudpar Provinsi

Rencana Induk Pengembamgan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Sumatera Barat, yang saat ini “disesuaikan” namanya menjadi Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Provinsi (RIPKP) Sumatera Barat 2010 – 2025 memang agak terlambat diusulkan menjadi Peraturan Daerah, karena kondisi keterlambatan yang sama tentang RIPPNAS oleh Pemerintah Pusat yang baru di sahkan medio Desember 2011 lalu. Dalam salah satu “arahan” dalam PP No. 50/ 2011 tentang RIPPNAS tersebut adalah bahwa RIPK Provinsi harus mengacu pada RIPPNAS dan RIPK Kab/ Ko juga harus mengacu pada RIPK Provinsi. Pengacuan ini tentu utamanya dalam kaitan sistimatika dan substansi dan roh RIPPNAS yang memang saat ini fokus mengacu pada pengembangan kepariwisataan berbasis kawasan dengan pendekatan aspek pengembangan destinasi, pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha dan industri serta pengembangan pemasaran. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebetulnya sudah menyelesaikan Naskah Akademis RIPPDA dengan acuan lama pada tahun 2010, dengan keluarnya PP diatas tentunya terpaksa harus menyesuaikan kembali baik dari sisi sistimatika maupun substansi pendekatan dimaksud.

Berbekal tekad dan ketersediaan dana yang terbatas di tahun 2013 ini, Disbudpar Provinsi segera memulai langkah-langkah strategis guna melakukan revisi total naskah akademis yang telah disusun sebelumnya, baik dari sisi sistimatika yang akan lebih banyak porsinya pada peta-peta digital dan penjabaran program/ kegiatan pokok per wilayah destinasi, maupun dari sisi pengembangan wilayah dengan skenario 4 pendekatan utama tersebut. Langkah pertama yang dilakukan tentunya adalah pengklasifikasian wilayah destinasi sebagaimana dilakukan dalam RIPPNAS dengan indikator-indikator yang telah dikaji dari beberapa landasan teori yang relevan. Klasifikasi dimaksud secara berurutan adalah; wilayah destinasi unggulan, yang benar-benar diakui oleh semua pihak sebagai destinasi terkemuka di Sumatera Barat; wilayah destinasi strategis, yang masih belum mempunyai beberapa indikator utama seperti wilayah destinasi unggulan; dan wilayah destinasi potensial, yang masih memerlukan intervensi penuh Pemerintah untuk pengembangannya. Ketiga wilayah destinasi tersebut tentu saja akan terdiri dari destinasi alam, destinasi budaya, destinasi buatan dan destinasi jasa/ industri yang ada di Sumatera Barat.

Pada kesempatan sosialisasi pertama kepada Kabupaten/ Kota, pendapat dan pemahaman yang mengemuka kebanyakan adalah keluhan terhadap usulan-usulan indikator yang dirasa akan memvonis daerah mereka masing-masing tidak berada pada klasifikasi wilayah destinasi unggulan, tetapi di klasifikasi strategis dan potensial, dengan berbagai argument seperti; visi dan misi Kepala Daerah yang di klaim mempunyai atensi sangat besar pada bidang kepariwisataan; amanat RPJMD masing-masing Kabupaten/ Kota; dokumen RIPPDA (ditunjukkan dalam bentuk eksekutif summary Naskah Akademis) yang telah disusun oleh beberapa Kabupaten/ Kota; besaran dan keunikan potensi keparwisataan di daerah masing-masing; prospek dan rencana yang luar biasa di masa depan serta yang terpenting adalah ketakutan kalau tidak termasuk kategori unggulan tidak akan mendapatkan dukungan program dan anggaran yang memadai dari Pemerintah Pusat dan Provinsi. Hampir semua Kabupaten/ Kota selain Padang, Bukittinggi dan Sawahlunto menyuarakan kekhawatiran yang seirama sehingga koor yang terdengar pada umumnya adalah “tolong dipertimbangkan dengan berbagai alasan kiranya kami dapat masuk dalam kategori wilayah destinasi unggulan Provinsi”.

Tim Ahli yang diminta membantu pada awalnya mungkin agak kaget juga, karena dalam tataran akademis, sangat terbiasa segala sesuatunya di klasifikasikan asalkan dengan indikator yang jelas dan biasanya yang tidak termasuk seeded pertama (unggulan/ utama) malah akan berupaya bagaimana supaya bisa segera masuk pada kesempatan berikutnya. Pada tataran administratif Pemerintahan, klasifikasi memegang peranan teramat penting untuk pengukuran kinerja daerah, kepala daerah dan birokrasinya. Contoh sederhana dapat dilihat bagaimana para Kepala Daerah berlomba-lomba untuk mendapatkan klasifikasi “Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)” untuk laporan keuangannya, berupaya jungkir balik untuk mendapatkan penghargaan “Adipura” atau “Adiwiyata”, dan juga mengerahkan segenap upaya dan kadang juga sedikit “kreatifitas” untuk meraih penghargaan “Wahana Tata Nugraha” bagi masing-masing daerahnya. Mendapatkan perhargaan sedemikian adalah anugerah kepastian untuk mendapatkan atensi baik berupa pimpinan yang semakin sayang atau kucuran program/ kegiatan/ anggaran yang jauh lebih besar dari biasanya. Masuknya suatu daerah kedalam kategori destinasi unggulan tentunya akan menimbulkan mimpi indah tentang perhatian lebih dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat, disamping atensi dari para pengambil keputusan daerah sendiri seperti DPRD Kabupaten/ Kota, bahwa memang pariwisata ini penting untuk didukung dalam program dan penganggaran yang jauh lebih besar dimasa mendatang.

Pemikiran berbeda muncul disaat subtansi diskusi antara Tim masuk kepada tema besaran peran pemerintah pada siklus pembangunan suatu daerah, dimana secara sederhana dapat dikatakan bahwa peran pemerintah akan semakin minimal seiring makin majunya suatu daerah, karena peran eksekutor itu akan beralih pada stakeholder lain yaitu dunia usaha dan kelompok masyarakat. Peran pemerintah akan optimal pada daerah-daerah yang belum berkembang karena masih diperlukan begitu banyak infrastruktur primer untuk percepatan pembangunan daerah, dan itu memang tugas pemerintah, lalu akan sedikit mengecil pada saat daerah tersebut sedang berkembang karena dunia usaha sudah mulai berperan mengambil porsinya, dan pada daerah maju mungkin saja pemerintah mengambil peran sebagai “totally facilitator”. Kembali ke klasifikasi daerah unggulan, strategis dan potensial, tentunya dapat dideskripsikan terkait peran pemerintah, dimana idealnya peran pemerintah akan paling maksimal pada daerah potensial karena daerah itu masih memerlukan dukungan sarana prasarana seperti akses jalan raya, sistim transportasi, amenitas utama objek wisata dan lain sebagainya, seperti misalnya pada daerah Kab. Pasaman Barat, Pasaman, Sijunjung, Darmasraya, dan Solok Selatan. Pada beberapa daerah strategis tentunya segala bentuk sarana prasarana utama sudah tersedia, walaupun belum optimal, amentitas objek wisata nya juga sudah mulai tertata, dan dunia usaha di bidang parwisata pun sudah mulai melirik dan ikut bermain dengan pola-pola investasi skala kecil menangah. Daerah-daerah ini mungkin seperti Padang Pariaman, Pariaman, Agam, Lima Puluh Kota, Payakumbuh, Tanah Datar, Kab Solok, Kota Solok dan Pesisir Selatan. Pada daerah-daerah unggulan seperti Padang, Bukittinggi, Padang Panjang, Sawahlunto dan Kab Kep. Mentawai hampir dipastikan popularitasnya sudah skala nasional, sudah dikenal baik oleh wisatawan maupun oleh dunia usaha bidang pariwisata, sehingga peran pemerintah sangat mungkin hanya pada fasilitasi pemasaran dan fasilitasi investasi, karena dunia usaha sudah meyakini bahwa daerah ini adalah daerah yang mempunyai daya tarik investasi. Dengan pemahaman-pemahaman sedemikian akhirnya kami yakin bahwa semua daerah akan berbalik arah 180 derjat mau mengakui daerahnya masih potensial, sebagaimana ilustrasi pada saat penetapan daerah miskin dulu, pertama malu mengaku sebagai daerah miskin, namun setelah tau bahwa kucuran program dan dana akan lebih banyak lagi di daerah miskin, maka semuanya berlomba-lomba mengaku miskin…


Berita Terkait Lainnya :